Founding fathers telah menyepakati melalui konstitusi dan karena itu konstitusi menjamin setiap warga bangsa memiliki kesetaraan dan persamaan hak di depan hukum maupun pemerintahan.
Tidak ada seorang pun atas dalih mayoritas mengklaim keberhakkannya dengan terus menerus menebar permusuhan dan berusaha tanpa lelah dan letih menegasikan dan mengeliminir peran kelompok sosial dan politik lain yang kebetulan menyandang label minoritas.
***
Kembali ke topik awal, parade nazar politik. Sejak kemunculan Jokowi, kemudian diikuti sekarang “demam” Ahok, atmofsir politik Indonesia diwarnai oleh nazar politik. Sayangnya nazar politik itu dilakukan hanya karena bermotifkan niat untuk tidak mengharapkan kedua “bayi” itu lahir, hidup, berkembang, kemudian turut serta berkiprah dalam kontestasi perpolitikan nasional.
Mari kita runut berdasarkan kronologis nazar politik itu diniatkan, dilafalkan, dan kemudian “dideklarasikan” ke public.
Pertama, kita mulai dari pesta nasional pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu. Ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI memutuskan dan menetapkan hanya dua pasangan calon presiden (Capres) yang saling berhadap-hadapan (head to head), maka nuansa persaingan dan permusuhan itu pun merebak. Tidak hanya antar capres, tapi juga para pendukung dan volunteer.
Masih ingat politisi dan professor politik gaek, Amien Rais (AR)? Ya, seseorang yang setelah pergolakkan politik tahun 1998 yang menyebabkan Soeharto lengser ke prabon didaulat menjadi Tokoh Reformasi.
AR merupakan salah satu pentolan yang membentuk poros koalisi oposisi yang menurut istilah mereka disebut sebagai penyeimbang Pemerintah. AR juga merupakan barisan yang berdiri di garda paling depan berjuang untuk menyukseskan Capres mereka, Prabowo Subiyanto (PS) agar terpilih menjadi Presiden RI pascarezim Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) berakhir.
AR tak kenal lelah, dan juga tak malu-malu berdiri secara diametral vis a vis “menyerang” Jokowi. Berbekal data yang sumir senantiasa bersuara lantang meragukan ke-Islama-an Jokowi.
Sampai-sampai ketika Jokowi, ketika masih berstatus Capres, hadir memberi sambutan pada hajatan Muhammadiyah di Kalimantan, setelah turun dan AR naik menggantikan menyampaikan pidatonya, secara tersirat dan bahkan tersurat (masih saja) meragukan ke-Islamam-an Jokowi.
Bukan saja masalah keyakinan, tapi juga masalah pengakuan dan penghargaan yang diterima Jokowi ketika masih menjabat sebagai Walikota Solo. Sampai titik ini, saya masih merasa wajar keambiguan seorang AR.