Hal lain yang patut dikenang dari beliau adalah perhatian dan kepeduliannya untuk memberikan dan memperbaharui (up date) informasi terbaru menyangkut “kesejahteraan” pegawai. Meski hal itu sangat berkaitan langsung dengan kepentingannya. Tapi, pada sisi ini kita patut memberi respek dan mengangkat topi pada beliau. Beliau dengan sangat sabar menunggu di ruangan Staf Keuangan sambil mereguk sebatang rokok, siap menerima dan membagi informasi pertama dari Keuangan mengenai pembayaran tunjangan ini maupun itu. Sebuah “pengabdian” yang tidak semua orang bisa lakukan.
***
Ketika untuk pertama kali saya dan teman seangkatan direkrut dan diterima di LPMP Sulsel, pada 2002 akhir, sosok alm. Abdul Fattah, selalu hadir di ruangan menemani kami mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan untuk pengusulan menjadi calon pegawai. Beliau dengan santai menceritakan pengalamannya, tanpa merasa rikuh, kurang mendapat respon. Beliau seakan-akan tidak peduli terhadap ceriatanya, apakah dianggap rasional ataukah tidak, dan apa respon pendengarnya. Beliau tetap dengan santainya terus nyerocos dan ngoceh menceritakan berbagai “kelebihannya”. Kami, menanggapi semua cerita itu dengan senyum, tanpa harus memberi komentar lebih jauh. Bukan karena kami tidak ingin mendengar “cerita” beliau, tapi karena kami merasa masih sebagai orang baru di LPMP Sulsel.
Waktu pun terus berjalan, pertemanan kami semakin erat. Karena sebagai staf dan karyawan LPMP Sulsel, kami semua merasa bersaudara. Tak terasa sejak saya dan teman-teman seangkatan masuk bergabung di LPMP Sulsel, sudah lebih dari 13 tahun kami bersama. Dalam rentang waktu tersebut, jalinan kebersamaan dan kekeluargaan mekar dan mengkristal. Kohesivitas dalam rasa dan asa yang sama membuat kami merasa sebagai keluarga besar.
***
Saya menerima berita kepergian beliau, ketika sedang beristirahat di rumah. Serasa tidak percaya, informasi itu membuatku terkesima. Maka terbetik pula semburat kata (sambil bergumam), ternyata duka itu, belum lagi berlalu. Dengan serta merta saya bangun membasuh muka kemudian mengambil kunci kendaraan untuk mendatangi rumah duka. Tentu saja saya harus singgah dulu di kantor untuk bersama-sama teman-teman yang lain berangkat bersama. Singkat kata, dalam kesyahduan, kami tersadar, bahwa “batas hidup” itu ada. Dan itu menjadi rahasia Tuhan, Allah SWT.
Tidak ada yang perlu disesali, pun tidak perlu kita harus berspekulasi, bahwa semua kejadian (rentetan duka) ini berkaitan dengan “sesuatu” yang lain. Semua ini sudah menjadi iradah-Nya, tidak ada kekuatan yang lain yang dapat mencegah atau menghalanginya. Satu-satunya alasan yang dapat diterima akal sehat adalah bahwa musibah ini hadir bertepatan dengan keinginan kita bersama untuk melakukan “transformasi” menyeluruh.
Tidak perlu diratapi ketiga rekan kita yang telah “berpamit” pulang ke kampung abadi. Ikhtiar kita adalah mengiringi kepergian mereka dengan doa nan tulus, semoga ketiganya mengakhiri karya dan pengabdiannya di dunia maya ini, dengan akhir yang baik (khusnul khotimah). Diampuni segala dosa dan salah mereka, diterima amal ibadahnya, arwah mereka mendapatkan tempat yang layak/terbaik, dan kelak dibangkitkan di yaumil akhir, bersama orang-orang yang dimuliakan.