Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

“MKD Menghina Akal Sehat Kita”

17 Desember 2015   22:39 Diperbarui: 18 Desember 2015   10:53 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persidangan pemeriksaan pengadu, saksi yang dilaksanakan secara terbuka karena alasan transparansi dan keterbukaan, tapi ketika giliran pemeriksaan teradu, (mantan) Ketua DPR, SN, dengan alasan ada rahasia negara, kembali dilaksanakan tertutup. Kemudian belakangan ketahuan bahwa tidak ada rahasia negara yang disampaikan sang teradu. Akal sehat kita kembali menjadi barang mainan oleh para anggota majelis MKD.

Rahasia Negara

MKD menunjukkan sikap diskriminasi secara telanjang ketika sampai pada pemeriksaan sang teradu, SN. Awalnya MKD melakukan pemeriksaan terhadap pengadu, SS, dan saksi, MS melalui proses persidangan secara terbuka, ketika giliran pemeriksaan sang teradu, (mantan) Ketua DPR RI, SN, malah kembali menutup ruang bagi public untuk dapat mengakses setiap informasi yang muncul dalam persidangan. Demi alasan menjaga rahasia Negara, majelis MKD seakan tidak dapat berkutik untuk mengikuti kemauan dan ego seorang SN. Dalam perkembangannya klaim tentang ada rahasia Negara hanya merupakan isapan jempol semata, setelah salah seorang anggota majelis MKD, Faisal Akbar, membocorkan “rahasia negara” sebagaimana klaim SN kepada public.

Ternyata “rahasia Negara” yang dimaksud oleh SN adalah sebuah klarifikasi yang bersifat pembelaan yan hanya kembali mengulang dn mempersoalkan berbagai hal yang seharus sudah selesai. Misalnya, tentang legal standing sang pengadu, stayus rekaman, dan sebagainya. Sehingga yang ada adalah pembacaan “nota pembelaan” oleh seorang SN tanpa menyinggung dan atau menyebutkan sedikit pun informasi yang dimaksud dengan rahasia Negara itu. Oleh seorang Pakar Hukum Tata Negara, Refli Harun, menilai nota klarifikasi dibacakan oleh SN seperti nota pembelaaan dalam sebuah sidang pidana yang disusun oleh pengacaranya. Maka public kembali dibohongi, itu berarti akal sehat kita kembali dihina.

Kategori Sanksi Berat

Tak dinyana semua anggota MKD yang masuk barisan pembela SN memberikan pendapat akhir terhadap proses persidangan etik(a), “papa minta saham” dengan kategori sanksi berat, di luar pendapat salah seorang anggota majelis MKD dari Fraksi PDIP, M. Prakosa. Enam dari 17 anggota MKD memberikan keputusan akhir untuk “menghukum” SN dengan sanksi berat. Padahal public sangat tahu dan paham terhadap sepak terjang ke-6 anggota MKD ini, yang sejak  awal mula menghendaki dan berusaha mati-matian secara all out agar proses persidangan terhadap SN yang diduga melanggar etika ini tidak dilanjutkan.

Adalah menjadi sebuah pertanyaan bila secara ujug-ujug di akhir persidangan mereka hendak tampil menjadi pahlawan. Mereka seakan menunjukkan diri sebagai hero dan berusaha menipu public dengan memberikan hukuman atau sanksi dengan kategori berat.  Terjadi ketidaksinkronan dan paradoksal kesimpulan akhir dengan semua kekonyolan yang ditunjukkan selama persidangan berlangsung, terutama ketika pemeriksaan pengadu dan saksi. Maka yang muncul adalah kesan akal bulus untuk menyelamatkan patronnya melalui cara-cara culas yang memperkosa akal sehat.

Tidak ada paralelisme premis minor dan premis mayor dari argumentasi para anggota pembela SN. Mereka mencoba memkasa public untuk menerima logika sesat tanpa memikirkan komitmen untuk memperbaiki kondisi kebangsaan dan kemaslahatan yang lebih besar.

Misteri Putusan MKD

Satu hal yang membuat kita menjadi masygul sambil geleng-geleng kepala adalah sikap majelis MKD ketika mereka hendak merumuskan kesimpulan akhir sidang. Setelah semua pembacaan pendapat akhir anggota majelis MKD, yang kemudian akan dilanjutkan dengan rapat internal merumuskan keputusan sidang, tiba-tiba SN mengirimkan surat tembusan pernyataan pengunduran dirinya kepada MKD. Maka rapat internal yang sedianya akan merumuskan putusan akhir untuk memberikan sanksi kepada SN, berubah menjadi rapat membahas surat pengunduran diri SN. Hal itu dapat dibaca dari keputusan akhir MKD yang sangat ambigu, yang tidak secara tegas mengambil sikap.

MKD bukannya memberikan keputusan akhir, antara melanggar kode etik dengan kategori sanksi sedang atau sanksi berat, malah dengan genitnya menerima pengunduran diri SN. Sesuatu yang bukan menjadi domain majelis MKD. Soalnya MKD hanya menerima tembusan surat pengunduran SN, bukan ditujukan langsung untuk MKD. Artinya surat tembusan itu hanya bersifat pemberitahuan, bukan untuk memohon agar ditindaklanjuti. Karena itu, perlu ada klarifikasi lebih lanjut mengapa MKD tidak mengambil keputusan “menghukum” SN? Karena itu, ada yang menganggap bahwa MKD belum memberikan putusan terhadap pelanggaran etik(a) yang dilakukan oleh SN. Yang lebih lucu dan mengangkangi akal sehat kita adalah, surat pengunduran diri SN ditujukan kepada pimpinan DPR, kok yang mengabulkan adalah majelis MKD. Sungguh sebuah mesteri yang tak elok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun