Salah Satu Suasana UKG di TUK SMKN 1 Suli Kab. Luwu
Oleh : eN-Te
Hampir satu bulan terakhir saya absen menulis artikel dan menayangkannya di kampung K ini. Ada beberapa alasan yang mungkin sebagai apologi untuk menjustifikasi ”ketidakhadiran” itu. Hal yang paling mungkin dijadikan alasan pembenar adalah berkaitan dengan kesibukan pada aktivitas utama (sebagai aparatus negara). Ya sebagai seorang PNS, saya harus bisa memisahkan kepentingan untuk meraih kesenangan pribadi karena dorongan ego untuk memuaskan hoby dengan kepentingan “melayani”.
Hal kedua yang membuat saya harus “menepi” sejenak dari hiruk pikuk berselancar ria di kampung K adalah karena kehilangan gairah (passion) dan suasana hati (mood) yang lagi malas menulis. Entah karena apa, dalam satu bulan terakhir saya seakan kehilangan gairah menulis, sesuatu yang sudah saya anggap sebagai hoby. Secara sekonyong-konyong saya seperti tidak ingin (lagi) menulis. Meski di lain pihak saya menyadari sepenuhnya bahwa banyak momentum yang seharusnya saya membuat tulisan, terpaksa saya lewatkan.
Terus mengapa tulisan ini bisa hadir di kampung K hari ini? Jawabnya, pertama, karena saya merasa ada yang hilang dari keseharianku bila membiarkan passion and mood sebagai alasan tidak lagi merangkai kata jadi kalimat, kalimat jadi paragraf, dan paragraf jadi artikel ala saya. Rupanya alasan passion and mood tidak relevan untuk menjelaskan mengurangi aktivitas yang sudah dianggap sebagai hoby. Kedua, kebetulan pada minggu kedua sampai minggu ketiga November 2015 kemarin, saya menjalankan tugas untuk mendampingi Bapak/Ibu guru yang akan melakukan Uji Kompetensi Guru (UKG) di salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Dan tulisan ini lahir terinspirasi dari proses “mendampingi” itu dan juga inspirasi karena sepintas melihat penjelasan salah seorang audiens, Prof. Dr. H. M. Wasir Thalib, M. S. (Kepala LPMP Provinsi Sulawesi Selatan), lembaga di mana diberi kepercayaan melaksanakan UKG dalam acara bincang-bincang di TVRI Sulawesi Selatan yang mengangkat tema tentang pelaksanaan UKG.
Pada acara tersebut hadir sebagai pembicara Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) dan (didampingi) Sekretaris Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan. Saya tidak terlalu mengikuti seluruh pembicaraan narasumber dan audeins yang membahas topik UKG itu sampai tuntas. Hanya saja ketika saya sedang menonton acara lain, dan pada saat jeda iklan, saya menekan tombol remote control untuk memindahkan ke chanel TVRI, terdengar penjelasan Kepala LPMP Provinsi Sulawesi Selatan (yang hadir sebagai salah seorang audiens) berkaitan dengan pelaksanaan UKG tahun ini. Ada hal yang menarik ketika ia menjelaskan mengenai pelaksanaan UKG itu. Terinspirasi oleh “ide” Prof. Wasir itu, maka saya kembali (ingin ) menulis dengan mengambil tema tentang UKG.
Nomenklatur UKG
UKG merupakan akronim dari Uji Kompetensi Guru adalah sebuah kegiatan ujian untuk mengukur kompetensi dasar tentang bidang studi (subject matter) dan pedagogik dalam domain content Guru. Kompetensi dasar bidang studi yang diujikan sesuai dengan bidang studi sertifikasi (bagi guru yang sudah bersertifikat pendidik) dan sesuai dengan kualifikasi akademik guru (bagi guru yang belum bersertifikat pendidik). Kompetensi pedagogik yang diujikan adalah integrasi konsep pedagogik ke dalam proses pembelajaran bidang studi tersebut dalam kelas (sumber).
UKG wajib diikuti semua guru dalam jabatan baik guru PNS maupun bukan PNS. Pelaksanaan UKG melibatkan berbagai instansi antara lain Ditjen GTK, LPMP, dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Mengapa Pemerintah merasa perlu melakukan UKG? Karena bagi Pemerintah, bahwa sebagai sebuah profesi, maka guru harus memiliki kompetensi yang dipersyaratkan sebagai tenaga profesional. Dalam rangka untuk mengetahui tingkat kompetensi guru sebagai tenga profesional, sebagaimana profesi lainnya, seperti dokter, bidan, advokat, maka perlu disiapkan sebuah wadah untuk mengukurnya, yakni melalui U(ji) komptensi.
Dasar hukum perlu dilakukan UKG ini diatur berdasarkan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, sampai kepada peraturan khusus yang langsung mengatur tentang pelaksanaan UKG, yakni Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 57 Tahun 2012 tentang UKG.
Pelaksanaan UKG bertujuan untuk mengukur beberapa hal berikut, yaitu : 1) untuk memetakan kompetensi guru (kompetensi pedagogik dan profesional); 2) untuk melaksanakan program pembinaan dan pengembangan profesi guru dalam bentuk kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan; dan 3) sebagai alat kontrol pelaksanaan penilaian kinerja guru. Dari ketiga tujuan itu berdampak pada tujuan berikutnya, yaitu 4) sebagai entry point sertifikasi guru dalam jabatan; 5) hasil UKG difokuskan untuk identifikasi kelemahan guru dalam penguasaan kompetensi pedagogik dan profesional. (baca: Pedoman).
Mengapa Nomenklatur Uji Perlu Diganti Dengan Pemetaan (Kompetensi Guru)
Menurut Prof. Wasir, setelah mengemukakan berbagai faktor dan fenomena yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan UKG, ia menyarankan sebaiknya nomenklatur “Uji” pada UKG diganti dengan istilah “pemetaan” sehingga menjadi Pemetaan Kompetensi Guru (PKG). Alasannya karena beberapa faktor faktual di lapangan ketika pelaksanaan UKG, di mana ditemukan beberapa masalah yang muncul selama berlangsung “ujian” dan gejala ketidakhadiran guru untuk mengikuti ujian.
Sebagaimana juga saya amati ketika mendampingi Bapak/Ibu guru dalam mengikuti “ujian”, teridentifikasi beberapa “perilaku” guru yang cukup membuat rasa prihatin dan juga sekaligus mengundang senyum kecut. Seperti “perilaku” yang berkaitan dengan persoalan teknis, yakni keterampilan mengoperasikan perangkat komputer. Sehingga yang muncul kemudian adalah gejala yang menunjukkan gagap teknologi, karena masih banyak guru di daerah (terpencil) yang belum begitu familiar dengan perangkat teknologi seperti komputer (PC maupun laptop).
Kondisi tersebut ditambah pula dengan masalah nonteknis. Bagi sebagian peserta UKG, istilah atau nomenklatur U(ji) itu saja sudah memberikan kesan “seram”. Karena istilah atau nomenklatur UGK berkonotasi ingin mengevaluasi dan mengukur kemampuan para guru berkaitan dengan hal yang kompetensi mereka. Dalam pandangan para guru, nomenklatur atau istilah U(ji) membawa dua kemungkinan konsekuensi, yakni LULUS dan TIDAK LULUS. Dua kemungkinan kosekuensi itu berarti pula akan memberi impilkasi. Sementera implikasi yang dipahami oleh sebagian besar peserta (para guru) adalah pada berlanjut-tidaknya pemberian tunjangan sertifikasi guru (bagi yang sudah bersertifikat pendidik maupun yang belum bersertifikat pendidik).
Misinformasi ini membawa pengaruh cukup sigifikan terhadap tingkat tekanan (stress) yang dialami para guru (peserta UKG). Sehingga tidak jarang, terlihat jelas raut wajah para guru ketika memasuki ruangan dan selama “ujian” berlangsung, merasa sangat cemas dan was-was. Mereka seakan-akan takut, jangan sampai hasil “ujian”-nya malah tidak mencapai passing grade (standar minimal). Karena yang mereka pahami bila hasil “ujian”-nya tidak mencapai target maka akan membawa konsekuensi pada ketidaklulusan, yang berarti berimplikasi pada berhentinya tunjangan sertifikasi guru yang selama ini mereka terima.
Kekhawatiran yang berlebihan itu mendorong para peserta (gur-guru) melakukan tindakan-tindakan yang “tidak terpuji”. Misalnya, meski sudah ada tata tertib dan ketentuan yang melarang peserta untuk membawa alat komunikasi (HP) dan fasilitas lainnya ke dalam ruang “ujian”, masih saja dilanggar. Dengan alasan sebagai alat untuk menghitung (kalkulator) masih banyak guru (peserta) yang berusaha mengelabui pengawas ruangan dengan membawa masuk HP dan buku-buku penunjang lainnya, misalnya buku tentang rumus (matematika dan fisika). Padahal sudah ditegaskan untuk tidak membawa semua alat komunikasi dan perangkat lainnya seperti buku, dan lainnya, selain alat tulis (pulpen).
Hal lainnya yang menunjukkan perilaku “tidak terpuji” bagi orang yang sedang diuji adalah tidak saling bekerja sama dan tidak mengajari kepada sesama. Akan tetapi banyak anomali yang ditunjukkan oleh para guru, tidak sebagaimana yang diajarkan di sekolah. Kepada para siswa yang akan menjalani sebuah ujian atau evaluasi, para guru bertindak seakan sebagai “petugas keamanan” yang setiap saat akan mengamankan siswanya bila berbuat curang, mencontek misalnya. Kegigihan mengajari siswa untuk bersikap jujur seakan hilang ketika mereka diperhadapkan pada kondisi yang sama sebagaimana dirasakan para siswanya. Sehingga menjadi hal yang tidak aneh, bila para peserta merasa tidak bersalah dan berdosa, seenaknya menghampiri peserta lainnya, hanya sekedar untuk mengetahui sampai di mana temannya sudah menyelesaikan pekerjaan (menjawab soalnya), atau berlagak sok tahu mengajari temannya.
Tekanan psikologis ini terbukti membawa petaka. Seperti peristiwa duka yang terjadi di salah satu Tempat Uji Kompetensi (TUK) di Kabupaten Tana Toraja (Tator). Salah seorang peserta UKG tersebut, diperkirakan sudah berusia di atas 55 tahun lebih, entah merasa kekhawatiran “tidak lulus”, sehingga menimbulkan stres yang berlebihan yang membuatnya pingsan sebelum memasuki ruang “ujian”. Peserta tersebut kemudian segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan, akan tetapi petaka tidak bisa ditolak, sehari kemudian yang bersangkutan meninggal dunia. Tragis nian, “keganasan” nomenklatur UKG malah menelan korban jiwa.
Di sinilah reasoning Prof. Wasir, sehingga mengusulkan kepada Sesditjen GTK untuk dapat mempertimbangkan mengubah atau mengganti nomenklatur UKG menjadi PKG. Meski hal itu harus didiskusikan lagi mengingat akronim yang sama sudah digunakan dalam hal Penilaian Kinerja Guru (yang juga disingkat PKG). Apalagi menurut Prof. Wasir, merujuk pada tujuan pelaksanaan UKG yang mencakup tiga hal, yaitu : pemetaaan kompetensi guru (kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional); pengembangan berkelanjutan; dan sebagai alat kontrol penilaian kinerja guru, maka akan lebih tepat dan kurang memberi tekanan yang berlebihan secara psikologis bila kata U(ji) diganti dengan P(emetaan). Toh hakekat dari proses mengukur kompetensi guru (kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional) ini adalah melihat atau memetakan tingkat atau level komptensi guru, sehingga memudahkan untuk menyusun program-program pembinaan dan pengembangan bagi guru ke depan. Hal mana bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru.
Penutup
Sesudah auidiens memberikan tanggapan maupun penjelasan terkait pelaksanaan UKG tahun ini, saya langsung memindahkan channel ke TV lain. Dengan begitu saya tidak mendengar langsung apa tanggapan dari Sesditjen GTK ketika menanggapi pertanyaan atau pun penjelasan audiens yang hadir, termasuk Kepala LPMP Provinsi Sulawesi Selatan, Prof. Wasir.
Meski demikian, saya merasa sangat rasional apa yang diusulkan oleh Kepala LPMP Provinsi Sulawesi Selatan, mengingat kondisi yang terjadi di lapangan sehubungan pelaksanaan UKG ini. Dari persepsi saja, sudah menimbulkan kegalauan hati yang amat sangat bagi sebagian besar guru, apalagi harus “memberi tumbal”, korban jiwa. Jangan sampai hal ini berdampak pada animo peserta untuk hadir mengikuti “ujian”.
Harus dipahami bahwa, di samping karena faktor teknis dan nonteknis, tekanan psikologis (stress) yang berlebihan, hal lain yang turut berpengaruh terhadap tingkat partisipasi para guru mengikuti U(ji) ini, adalah kondisi geografis dan keterjangkauan transportasi ke lokasi ujian (TUK). Jadi masalah ketidakhadiran sebagian peserta untuk mengikuti UKG, juga karena kondisi geografis para guru yang sangat jauh terpencil. Jangan kan kendala transportasi, masalah akses informasi dan komunikasi menjadi salah satu hambatan utama. Bahkan sebagian besar alasan peserta tidak hadir dengan tanpa keketrangan, karena alasan inforasi yang tidak sampai.
Juga perlu dipertimbangkan bahwa filosofi UKG yang dilaksanakan secara online ini adalah untuk meminimalisir setiap kemungkinan berlaku curang dan meningkatkan sikap jujur. Tapi bila dalam pelaksanaannya masih jauh dari kondisi ideal, apalagi diikuti pula dengan ekses negatif, maka wajar bila nomenklatur atau istilah U(ji) dipertimbangkan kembali. Selanjutnya dipikirkan untuk mengganti istilah U(ji) dengan istilah yang lebih netral, yang tidak saja menjelaskan maksud dan tujuan pelaksanaan kegiatan itu, juga mengurangi dampak yang tidak diinginkan, khususnya dampak negatif seperti yang terjadi di Kabupaten Tator itu. Pemberian nomenklatur juga harus mempertimbangkan makna denotatif, sehingga tidak bias makna. Jika istilah bermakna konotatif, malah dipahami secara keliru pula.
Ya sudah, begitu saja reportase penulis, selamat membaca, ...
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 30 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H