Sumber gbr : beritaintrik.com
Oleh : eN-Te
Tadi pagi (Sabtu, 10/10/15) ketika menonton berita di salah satu TV swasta nasional, muncul sebuah running text yang menyatakan bahwa “seorang jurnalis Turki di penjara karena kritik Erdogan di twiter”. Pikiran saya langsung teringat pada pernyataan seorang kader PKS ketika Erdogan berkunjung ke Indonesia beberapa waktu yang lalu. Ketika itu, sang kader, Tengku Zulkifli Oesman (TZO) menulis status di akun facebook-nya tentang analisis ala “mimik wajah dan tatapan mata” Erdogan terhadap Presiden Jokowi. Salah satu kesimpulan analisis ala “tatapan mata” itu, TZO menyatakan bahwa ingin meminjam PM Turki itu, Tayep Rejep Erdogan, untuk memimpin Indonesia selama setahun.
Anomali Demokrasi ala Erdogan
Sakingnya “fanatiknya” sama Erdogan, TZO ingin meminjamnya pula. Buat apa? Ya untuk memimpin Indonesia, khususnya memimpin TZO dan konco-konconya (dkk) selama setahun. Mengingat mantan “presiden” mereka sudah digelandang masuk bui gara-gara “daging”. Ya daging sapi, dan juga daging puthsun.
Mengapa sampai muncul ide seperti itu, karena bagi TZO dan konco-konconya, seorang Erdogan merupakan tipikal pemimpin yang “sempurna”. Pemimpin yang memenuhi hampir semua kriteria yang diharapkan oleh TZO, dkk. Menurut TZO, Erdogan adalah “pemimpin dunia yang hebat, berkelas, dan standar demokrasi internasional, ...” (sumber). Catat standar demokrasi internasional.
Banyak pemimpin hebat dunia sangat menghargai kebebasan berbicara dan berpendapat. Karena itu, ketika TZO membuat analisis ngawur dengan menghina Presiden Jokowi pun, tidak pernah diapa-apakan. Jangankan analisis ngaco TZO, jauh sebelumnya banyak kader dengan jargon cinta, kerja, dan harmoni ini, sangat suka dan gembira ria menghina, mencaci maki, dan menyebarkan fitnah, tanpa rasa bersalah, tapi tidak pernah ditindak. Mengapa demikian, karena pemerintah tahu batas-batas penghargaan terhadap kebebasan berbicara dan berpendapat. Pemerintah tahu tentang nilai-nilai dan standar demokrasi.
Jangankan mengkritik berdasarkan fakta, jelas-jelas membuat berita bohong dan fitnah yang sangat keji saja dibiarkan. Meski kemudian muncul wacana untuk membuat rancangan undang-undang tentang penghinaan terhadap Presiden. Tapi belum apa-apa, hal itu malah membuat heboh, bahkan dijadikan sebagai bahan baru untuk mencaci maki pemerintah. Mantan Ketua MK, Jimly Asshidiqie (JA) saja menilai bahwa munculnya ide tentang pasal penghinaan Presiden karena kita masih menganggap Presiden adalah simbol negara. Menurut JA, bahwa pemikiran Presiden adalah simbol negara merupakan pemikiran bergaya feodal(istik).
Kebayang apa tidak ya, si TZO ini bila Erdogan memimpin Indonesia, setelah TZO dkk berhasil “membarternya”, kemudian dalam masa-masa kepemimpinan selama setahun itu, ternyata jauh panggang dari api, tidak sesuai dengan ekspektasi mereka? Apa pula reaksi TZO dkk bila mengetahui bahwa seorang Erdogan sangat anti terhadap kritik. Baru dikritik oleh seorang jurnalis (yang merupakan warganya pula), ia sudah keblingsatan, sampai harus memenjarakannya pula. Apatah lagi bila mendapat sumpah serapah dan fitnah yang tak terkira, hanya karena ia belum dapat memenuhi harapan mereka. Dan bagaimana pula bila sumpah serapah dan fitnah itu hanya berdasarkan kebencian semata, dan sangat jauh dari fakta. Saya bisa membayangkan, Erdogan akan berdiri sambil berkacak pinggang dan menunjuk-nunjuk sambil memerintahkan kepada pihak keamanan agar dengan segera melakukan penangkapan dan interogasi. Masih mendingan bila hal itu dilakukan berdasarkan prosedur yang ada, tapi jika langsung diperintahkan untuk dipenjara, apa kata dunia?
Menunggu Reaksi TZO dkk