Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi, Engkau Berdosa Karena Telah Lahir di Indonesia?

2 Oktober 2015   18:55 Diperbarui: 2 Oktober 2015   19:15 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sumber Gbr. : www.idbb.ga

 

Oleh : eN-Te

Beberapa hari terakhir saya tidak terlalu aktif mengikuti perkembangan “atmofsir politik” di kompasiana. Namun, kemarin siang ketika sedang menonton berita di salah satu TV Swasta Nasional di runag tamu Wisma Melati LPMP Provinsi NTT, ada teks berjalan (running text) yang berbunyi kira-kira begini, bahwa pihak istana meminta supaya para pemfitnah Jokowi menghentikan ulahnya. Malah setelah itu saya mencoba searching melalui mba gugel, juga menyebutkan hal yang sama.

Beberapa  sumber berita (media) itu menyebutkan bahwa Sekretaris Kabinet (Seskab), Pramono Anung, mendesak agar para pemfitnah itu bertobat. Itu berarti, setelah melakukan “pertobatan”, maka berhentilah pula aksi sebar fitnah itu. Bila “ultimatum” ini tidak diindahkan, maka pihak istana tidak akan tinggal diam tapi akan melakukan langkah-langkah hukum untuk “menertibkan” ulah tak bertanggung jawab itu.

Urgensi Ultimatum

Permintaan pihak istana melalui komentar Seskab, Pramono Anung kemudian melahirkan “reaksi”.  A. S. Hikam, pengamat dan ahli politik dan mantan Menteri pada era Gus Dur, menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Seskab itu semakin  memperkeruh suasana.  Menurut  Hikam, komentar Pramono Anung bukan meredam isu berbau fitnah itu, tapi malah membuat rumor itu moncer dan marak. Dalam pandangan Hikam, “rumor politik yang muncul di media sosial akan hilang sendiri dalam tempo cepat, secepat peredarannya. Publik yang mengakses media sosial juga paham dan mampu menyaring mana kabar yang punya validitas dan mana yang cuma hoax”.  Hikam menegaskan bahwa pemerintah perlu secara proporsional merespon rumor (tepatnya fitnah) tersebut, tidak perlu berlebihan, karena justru malah membuat ingar bingar”.

Hikam malah balik menyindir Seskab, Pramono Anung. Menurut Hikam, jika ingin terlihat tegas dan gagah, bila memiliki data dan sudah mengetahui oknum penyebar fitnah tersebut, lebih baik sekalian umumkan oknum pemfitnah Jokowi. Jika tidak, tegas Hikam, “walhasil, Istana sejatinya melakukan tindakan sangat bodoh, yaitu menjebak dirinya sendiri”.

Saya sendiri kurang paham dengan logika ahli politik dan mantan Menteri ini. Mungkin dalam pandangan Hikam, persoalan penyebaran berita bohong dan fitnah adalah hal yang biasa dalam dunia politik. Ranah politik, apalagi politik praktis, sejatinya adalah medan uji keterampilan dan kemahiran memainkan isu, rumor, dan intrik. Siapa yang mampu mengolah, apalagi menggoreng sampai matang isu berbau fitnah itu, maka dialah yang akan mengendalikan “perasaan” public. Ketika “perasaan” public sudah dapat dikuasai, maka tinggal memainkan bandul itu, maka perasaan public akan dengan mudah diarahkan ke kiri dan ke kanan sesuai dengan keinginan dan selera pemegang bandul.

Berdasarkan premis tersebut maka apapun bentuk fitnah sepanjang hal itu tidak dapat mempengaruhi (mensugesti) dan bahkan menggangu perasaan public, maka bagi Hikam, hal itu tidak perlu terlalu ditanggapi secara serius. Meski produksi berita bohong dan fitnah itu sudah sedemikian massif, sehingga berdampak pada kenyamanan public. Biarkan saja aktor intelektual, baik dari kelompok spesialis maupun kelompok sakit hati sesaat, melakukan provokasi, propaganda dan mungkin agitasi, sepanjang produksi fitnah itu tidak cukup untuk mempengaruhi perasaan public. Serahkan saja kepada public untuk melakukan filterisasi dan memberi penilaian. Apakah informasi yang diperoleh pantas ia terima dan telan bulat-bulat meski resikonya dapat membuat keselek, atau malah sebaliknya bersikap selektif (tabayyun) memilah dan memilih, mana berita dan infomasi yang pantas dan tidak pantas dikonsumsi.   

Embrio Kebencian

Tak disangkal lagi, bahwa produksi berita-berita bohong berbau fitnah terhadap Jokowi mulai muncul setelah ia menyatakan kesediaannya menjadi calon presiden (Capres) dari PDIP. Namun sejatinya, bila dirunut sedikit ke belakang, serangan fitnah, bahkan sampai bersifat sangat personal  terhadap Jokowi, sejak ia memutuskan untuk maju berlaga di pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta.

Masih ingat tudingan ngawur ala raja dangdut, Rhoma Irama, tentang keraguannya terhadap agama orangtua Jokowi. Di mata Rhoma, “ketidakjelasan” agama orangtua Jokowi, cukup menjadi alasan untuk menolak kehadiran Jokowi di Jakarta. Karena dalam pandangan sang “Raja” ini, Jakarta dengan penduduk asli Betawi yang mayoritas muslim tulen, tidak pantas dipimpin oleh orang, yang khabarnya cara berwudhunya saja tidak becus. Apalagi ibadah-ibadah mahda lainnya, pasti lebih tidak karuan.

Maka dari mimbar-mimbar masjid dan di depan khalayak, umat seakan direcoki dan dicuci otaknya (brain washing). Publik dipaksa supaya mempercayai bahwa Jokowi memang “tidak jelas”. Tak kurang, seorang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyyah, yang juga katanya tokoh reformasi, Amien Rais juga mempercayai “ketidakjelasan” identitas Jokowi ini. Karena itu, wajarlah kemudian umat yang di grassroot, biar tidak mengalami proses cuci otak pun, meragukan ke-Islam-an Jokowi dan orangtuanya. Celakanya, mereka-mereka yang terkena virus brain washing ini tidak hanya masyarakat awam, tapi juga termasuk kelompok-kelompok yang mengklaim diri sebagai intelektual.

Jokowi “Mencemari” Atmofsir Politik Indonesia?

Publik Indonesia menjadi mahfum, bahwa sejak kehadiran Jokowi, baik di pentas politik regional (DKI Jakarta, pengecualian Solo) maupun pentas politik nasional, ia telah dengan sengaja “mencemari” atmofsir Indonesia dengan begitu banyak “aura negative”. Atmosfir politik Indonesia dipenuhi oleh berbagai prasangka, hasad, iri, dengki, dan kebencian sampai memuncak naik ke ubun-ubun dan menusuk masuk sampai ke dalam sumsum tulang. Hingga hati dan perasaan sebagian anak negeri ini, tak mampu lagi menyanggahnya, karena diliputi dendam membara. Maka yang lahir dan terekspresikan ke luar adalah kemarahan yang diwujudkan dengan caci maki, sumpah serapah, melalui penyebaran berita-berita bohong yang dibaluti oleh aroma fitnah tak terkira.

Maka jangan heran bila kemudian terbentuk kelompok spesialis pemfitnah Jokowi. Bahkan kelompok ini tak segan-segan menggunakan symbol agama untuk menjustifikasi sifat yang oleh Qur’an sendiri dicap sebagai perbuatan yang lebih kejam daripada pembunuhan. Kelompok ini, atas dasar sakit hati dan dendam kesumat, tak henti-hentinya memproduksi berita hoax dan fitnah, hanya untuk melampiaskan kebencian yang sudah sampai di ubun-ubun itu, tanpa nalar yang sehat dan hati yang jernih (mungkin sudah kadung menjadi hitam pekat).

Mengapa demikian? Karena mereka, entah kurang dapat memahami atau tidak “wasiat” Nabi SAW agar dapat menjaga segumpal daging, yakni hati yang ada dalam tubuhnya, dengan sebaik-baiknya. Bahwa Nabi SAW berpesan, dalam tubuh manusia itu terdapat segumpal daging, yang apabila dijaga dan dipelihara dengan baik, maka dia akan melahirkan hal-hal yang baik. Tapi sebaliknya bila kurang dapat merawat pemberian-Nya itu, insyaallah, segumpal daging itu tak ubahnya daging busuk yang diliputi warna hitam pekat, yang tak akan mampu membimbing seseorang ke arah kebenaran berdasarkan nurani yang jernih. Yang ada adalah bisikan-bisikan yang senantiasa mengarahkan seseorang yang pekat hatinya untuk tetap melakukan perbuatan yang oleh Allah SWT sendiri dicap sebagai perbuatan keji. Meski mereka, kelompok spesialis fitnah ini, mengklaim diri sebagai pengikut Nabi yang paling kaffah.

Jokowi Memang “Berdosa”?

Banyak “dosa” yang telah dilakukan oleh Jokowi, hingga membuat sebagian anak negeri ini, demikian membencinya hingga dendam membara sampai ke ubun-ubun.

Pertama, Jokowi “berdosa”  terhadap masyarakat Solo dan para pemilihnya ketika memenangkan pemilihan walikota Solo periode kedua. Belum rampung tugas yang harus dia tunaikan di Solo pada periode kedua itu, Jokowi malah menerima tawaran nan menggiurkan untuk menjadi calon gubernur (cagub) pada Pilgub DKI Jakarta, 2012. Serta merta atas “antusiasmenya” menerima tawaran tersebut, Jokowi kemudian harus menyandang predikat sebagai pemimpin tak amanah.

Kedua, Jokowi “berdosa” terhadap Fauzi Bowo (FB). Gegara karena menuruti keinginannya untuk bisa berkompetisi dalam Pilgub DKI Jakarta telah memupus harapan FB untuk dapat menggapai kursi singgasana di Balai Kota dan memimpin DKI Jakarta dalam dua periode. Lebih menyakitkan lagi hati FB, karena Jokowi adalah orang ndeso yang berani menantang kerasnya kehidupan ibukota. Padahal dia sangat paham bahwa ada pameo, kejamnya ibu tiri tak sekejam ibukota. Sampai-sampai dalam kepanikan dan hati nelangsa yang membuat kalap, FB harus “mengusir” warga ibukota yang bukan penduduk asli Jakarta untuk pulang ke Solo bila memilih Jokowi (pada putaran kedua).

Ketiga, Jokowi “berdosa” kepada partai yang ingin merapat dan berkoalisi dengannya dalam pertarungan babak kedua Pilgub DKI Jakarta. Hanya karena “tidak sepakat” dengan mahar politik, Jokowi dengan tegas menolak Partai (katanya berbasis) agama untuk bergabung dengannya. Karena bagi Jokowi praktek patgulipat dengan mahar politik adalah investasi tak berguna, dan hanya membuat politik menjadi sesuatu yang remah-remah.

Keempat, Jokowi “berdosa” karena telah dengan sengaja mengabaikan perasaan Ketua Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subiyanto (PS). Padahal, Jokowi sangat tahu dan mahfum, bahwa PS sudah sangat lama memendam keinginan dan menggadang-gadang akan masuk dan duduk di singgasana istana Presiden RI. Karena keinginan terpendam itu pula, membuat PS rela “membujuk” Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, agar memboyong Jokowi ke Jakarta. Sayangnya, setelah menjadikannya sebagai “orang” di Jakarta, Jokowi malah balik menghadangnya. Bukannya berterima kasih karena telah diberi jalan dan kesempatan, Jokowi malah mengkhianati PS, menerima “tugas” partai untuk maju menjadi Capres dari PDIP. Sakitnya tuh di sini (sambil tunjuk dada). Dalam kegeraman yang amat sangat, PS kemudian mempopulerkan istilah pemimpin mencla mencle, pemimpin pembohong, dan pemimpin boneka untuk memberi stigma (negative) terhadap Jokowi. Tujuannya jelas, untuk menghancurkan kredibilitas dan integritas Jokowi, sehingga rakyat tak percaya dan tidak memilih Jokowi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu.  Hanya saja, PS kurang awas, sehingga lupa pada hukum kausalitas dan prinsip aksi reaksi, siapa yang menabur angin, ia yang akan menuai badai. Dan badai itu kemudian meruntuhkan “kharisma” PS sendiri sehingga harus takluk oleh Jokowi.

Kelima, Jokowi “berdosa” karena tetap “mendeklarasikan” kemenangannya pada Pilpres lalu meski hanya berdasarkan pada perhitungan cepat, sementara pada saat yang hampir bersamaan kompetitornya, PS juga mengklaim telah memenangkan pertarungan, dan berhak melakuan selebrasi sujud syukur. Dosanya semakin bertambah, karena tetap keuh-keuh mempertahankan kemenangannya, meski sudah dikumpulkan berton-ton “kecurangan” pemilu ala salah satu partai anggota koalisi KMP. PS bahkan nyaris ingin “mengundurkan” diri dari kompetisi karena alasan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Kemudian bersama-sama membuat dagelan yang tidak lucu, baik oleh PS sendiri maupun pendukungnnya. Pendukungnya malah dengan rela “menggadaikan” ketauhidannya (aqidahnya) dan memaksa gusti Allah SWT untuk harus turun tangan “memenangkan” jagoannya (artikel terkait). Tanpa memperhitungkan citra dirinya, PS malah di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tega memaki negerinya sendiri sebagai bangsa kacung dan lebih buruk dari negara-negara totaliter, fasis, dan komunis. Saya tidak tahu, apakah karena terinspirasi dari “pidato penghinaan” itu, kemudian para pendukungnya juga menuduh Jokowi memang memiliki riwayat keturunan “PKI”. 

Keenam, Jokowi “berdosa” karena telah dengan sengaja menolak Aburizal Bakrie (ARB) yang membawa bendera Partai Golkar untuk berkoalisi bersamanya dalam pertarungan Pilpres 2014. Setali tiga uang dengan partai (berbasis agama) yang pernah datang menawarkan ingin berkoalisi dalam Pilgub DKI, Jokowi menolak ARB karena alasan yang nyaris sama. Dalam posisi yang sudah “terjepit” ARB masih tinggi hati dan meminta “jatah” untuk berkoalisi yang hampir tidak mungkin dipenuhi Jokowi. Maka dalam kebuntuan itu, dengan membawa segompoh kecewa, ARB pergi dan berlabuh bersama PS, membentuk koalisi merah putih (KMP). Koalisi ini terbentuk karena motif, jika tidak berlebihan, saya mau mengatakan bertujuan ingin “menghancurkan” Jokowi. Tapi, bukan Jokowi kalau tidak sigap mengantisipasi kemungkinan tersebut, dan malah terkesan dapat “memainkan” perasaan koalisi seberang ini, sehingga menjadi terombang-ambing. Terbukti ada anggota koalisi ini (KMP) malah akhir-akhir ini main mata dengan Jokowi, meski masih malu-malu kucing, karena tidak ingin menyakiti hati sekondangnya di KMP dengan cara vulgar.

Ketujuh, Jokowi “berdosa” kepada seluruh rakyat Indonesia. Jokowi telah dengan sengaja “menyembunyikan” identitas diri dan tidak dengan terang benderang membuka kepada public. Jokowi membiarkan public menerka-nerka, apa sesungguhnya identitas aslinya. Publik meraba-raba, apakah Jokowi benar-benar beretnis Jawa? Atau malah sebaliknya, sebagaimana berita bertubi-tubi yang dilansir oleh kelompok spesialis fitnah, bahwa ia beretnis China? Apakah Jokowi seorang muslim atau seseorang yang berlindung di balik inisial “H”. Joko Widodo. Inisial “H” yang oleh kelompok spesialis pemfitnah memplesetkan sebagai nama yang berkesan beragama non Islam, Herbertus. Begitu pula dengan  pertanyaan yang membuat produksi fitnah itu tak pernah berakhir, yakni berkaitan dengan paham ideologi Jokowi. Karena “ketidakjelasan” masalah ini, membuat isu Jokowi “PKI” kembali menyeruak. Apalagi pada momentum menjelang mengenang tragedi 30 S/PKI dan 01 Oktober kemarin yang diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Banyak pihak yang ingin membonceng momentum itu, apalagi barisan sakit hati yang tak pernah sembuh-sembuh untuk bergerak maju (move on), mengolah isu dan memproduksi berita bohong dan fitnah, sehingga membuat Seskab, Pramono Anung menjadi berang.

Jokowi Bergeming

Rupanya Jokowi tak terpengaruh dengan semua berita miring tentang dirinya. Jokowi seakan membiarkan pikiran “nakal” public untuk menerka dan menafsirkan dirinya. Bukan saja menerka dan menafsirkan dirinya sesuai dengan persepsi mereka, tapi bila perlu “mengulitinya” sampai habus dan tuntas tas tas taaas. Jokowi seolah ingin mengatakan bahwa biarlah waktu yang berbicara, apakah ia benar-benar sebagaimana dipersepsikan (negative) oleh kelompok spesialis penghina dan yang memfitnahnya? Bagi Jokowi tidak penting ia harus menjelaskan tentang identitas dirinya secara lengkap dan utuh. Toh, apapun yang akan ia klarifikasi tidak akan serta merta menghapus semua stigma yang terlanjur disematkan. Apalagi yang menyematkan itu adalah kelompok, yang memang bawaannya alergi terhadap semua yang berkaitan dengan Jokowi.

Dalam pandangan kelompok ini, biar Jokowi menghadirkan seorang “Nabi” untuk menjelaskan asal usul, etnisitas, agama dan kepercayaan, serta paham ideologinya, hal itu tidak akan cukup mampu menjernihkan “air” yang sudah keruh itu. Buat kelompok spesialis pemfitnah ini, sudah cukup titah dari  seseorang yang dinobatkan sebagai “nabi”,  yang patut didengar dan ditaati. Selain dari itu, nonsense.

Jokowi, mengapa pula engkau harus lahir, besar, dan menjadi orang pertama di negeri ini? Tidakkah engkau merasa bersalah dan berdosa, karena telah dengan sengaja mengabaikan dan menyakiti perasaan sebagian orang? Termasuk seseorang yang telah sangat berjasa “mengangkatmu”, dan membuatmu begitu dikenal dan digandrungi banyak orang,  sehingga harus mengalahkannya dalam sebuah kompetisi dan kontestasi yang sangat bergengsi, menjadi Presiden Republik Indonesia. Maka terimalah sumpah serapah, caci maki, dan fitnah itu dengan kebesaran jiwa dan lapang dada. Tidak usah berkeluh kesah, apalagi harus mengultimatum seseorang atau sekelompok orang yang telah dengan sengaja tak bosan-bosan mencaci maki dan memfitnahmu. Karena semua itu memang “salahmu”, mengapa pula engkau harus lahir di dan menjadi Presiden Indonesia?

Ya sudah begitu saja, selamat membaca!

Wallahu a’lam bish-shawabi

Kupang, 02  Oktober  2015 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun