Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Quovadis Pendidikan Budi Pekerti?

19 September 2015   11:02 Diperbarui: 19 September 2015   11:02 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Sumber Gambar : di sini

 

Pengantar

Akhir-akhir ini marak terjadi tindakan anarkhis berupa perampasan hak milik pengguna kendaraan sepeda motor di jalan raya oleh sekelompok orang (begal) yang sangat meresahkan ketertiban sosial masyarakat. Kita juga sering mendengar dan menyaksikan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, dan juga media online serta media sosial, pemberitaan mengenai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yang tidak dapat diterima menurut akal sehat dan nalar kita. Peristiwa-peristiwa tersebut dari sudut kemanusiaan kita sangat menyentak nurani dan di luar logika kemanusiaan kita. Peristiwa-peristiwa dan atau kejadian-kejadian tersebut menunjukkan gejala patologis yang sangat kronis (akut) yang mengindikasikan sebagian dari anak negeri ini sedang sakit.

Banyak peristiwa sosial yang terjadi dalam masyarakat akhir-akhir ini, seperti begal motor yang sangat meresahkan, memperkuat kondisi tersebut. Sejak rezim Soeharto dengan era Orde Baru (orba)-nya runtuh, muncul ephoria yang tak terkendali di kalangan masyarakat. Semua warga masyarakat seakan-akan merasa terlepas dari belenggu yang mengekang selama era Orba berkuasa.

Runtuhnya rezim era Orba, membuka jalan bagi lahirnya sebuah era, yang kemudian kita kenal dengan nama era reformasi. Era reformasi yang mengusung tema transparansi dan keterbukaan telah membawa perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan sosial kebangsaan kita. Transparansi dan keterbukaan yang dibawa oleh era reformasi memberi jalan bagi semua komponen anak bangsa untuk mengekspresikan semua kehendak sosial-politiknya secara bebas tanpa ada tekanan dan intimidasi. Semua komponen anak bangsa seolah-olah merasa berhak untuk melakukan apa saja tanpa mengindahkan norma-norma dan aturan yang berlaku. Mereka tidak mau tahu bahwa tindakannya itu apakah  bertentangan dengan nilai, norma, dan aturan yang berlaku, serta mengganggu kepentingan umum atau tidak?

Ada kelompok-kelompok tertentu dari komponen bangsa ini atas dalih kebebasan berekspresi seakan-ingin berlomba-lomba melakukan apa saja dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Maka lahirlah budaya permisif dan paham hedonisme yang kian merasuk di kalangan masyarakat kita. Dan hal itu semakin  menggerogoti sendi-sendi moral dan nilai-nilai keagamaan. Rasa kemanusiaan dan nilai moralitas kita terasa terusik melihat semua peristiwa yang terjadi belakangan ini di kehidupan sosial (masyarakat) kita. Hal-hal yang dulu dianggap sangat tabu, sekarang seperti menemukan momentumnya untuk dipertontonkan tanpa merasa risih dan malu di muka umum. Semua itu dilakukan secara sadar dan sengaja, yang secara nalar sehat tidak dapat diterima dan mungkin hanya dapat dilakukan oleh kaum primitif. Terjadi pergeseran nilai secara drastis, bahkan sangat dramatis terutama di masyarakat perkotaan.

Peristiwa kekerasan (anarkhisme), seperti begal motor yang meresahkan akhir-akhir ini, pornografi dan pornoaksi menjadi hal yang lumrah, dan semakin merajalela dan dianggap sesuatu yang wajar dalam kehidupan sosial, tanpa mengindahkan norma-norma sosial, nilai-nilai moral dan keagamaan.  Ironisnya, hal ini diperkuat oleh sikap para pekerja seni (seniman), budayawan, pekerja industri hiburan, pekerja industri cetak (media massa), dan aktivis perempuan, atas dalih kebebasan berekspresi, telah dengan sengaja mengabaikan nilai-nilai moral dan keagamaan dan menutup mata, berjuang supaya pornografi dan pornoaksi tidak diberangus dari bumi pertiwi yang tercinta ini. Bumi pertiwi yang masyarakatnya mengaku sebagai masyakat religius yang masih sangat teguh memegang nilai-nilai tradisi, moral dan keagamaan. Maka wajar, sekarang semakin terbuka layanan prostitusi online, yang melibatkan kaum jetset dan para artis. Bahkan kalngan artis yang telah digelandang oleh aparat karena tertangkap sedangkan “menjajakan” dirinya, masih dengan santai petantang petenteng ke sana ke mari sambil cekikikan dan cengengesan di buka publik. Mereka seakan merasa tidak berdosa, telah “menyebarkan” virus buruk bagi generasi anak negeri.

Stasiun-stasiun TV swasta dan media cetak, terutama tabloid panas dan picisan seakan-akan ingin berlomba-lomba mengeruk keuntungan dengan menampilkan program-program siaran kekerasan, pornografi, dan pornoaksi secara vulgar dan tetap menayangkan program-program acara yang tidak bermutu, meski sudah sering mendapat semprit dari Komisi Penyeliaran Indonesia (KPI) yang kurang bertaji, karena itu mereka, pengelola siaran, seolah tidak mau peduli terhadap nilai kemanfaatan bagi publik. Para “artis” yang bermasalah secara moral tetap saja dijadikan sebagai “primadona” dalam acara tersebut, hanya karena pertimbangan ekonomis semata, dan secara sadar mengabaikan norma-norma yang berlaku. Bahkan para “artis” yang bermasalah itu, bersikap lebay, seakan ingin menantang nurani publik. Karena harus diakui, program-program siaran itu merupakan lahan bisnis yang sangat menggiurkan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Kondisi ini semakin diperparah akibat tidak ada tindakan tegas dan sanksi sosial terhadap para pelaku kejahatan moral dan seksual itu. 

Apa itu Patologi Sosial?

Berbicara mengenai patologi sosial tidak terlepas dari berbicara masalah sosial. Karena antara keduanya terdapat hubungan yang saling terkait satu sama lain. Artinya, peristiwa-peristiwa sosial yang muncul dan terjadi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang melibatkan aktor-aktor individu dalam suatu komunitas dapat menimbulkan patologi sosial. Hal ini berkaitan dengan kemampuan individu dalam melakukan penyesuaian diri (self adjusment) dan beradaptasi terhadap lingkungan dan situasi sosial. Karena itu, masalah sosial yang menimbulkan gejala patologi sosial itu adalah berkaitan dengan tindakan dan perilaku yang menyimpang dari norma-norma umum yang berlaku. Tindakan dan perilaku yang menyimpang yang dianggap atau terintegrasi dengan tingkah laku umum, dianggap sebagai masalah sosial.

Istilah patologi, secara etimologis berasal dari kata “pathos”, yang berarti penderitaan, penyakit; dan logos berarti ilmu. Dengan demikian, secara harfiah, patologi diartikan sebagai ilmu tentang penyakit. Sedangkan patologi sosial berarti ilmu tentang gejala-gejala yang dianggap “sakit”, disebabkan faktor-faktor sosial (Kartono, 2003:1). Menurut para ahli sosiologi, patologi sosial didefinisikan sebagai semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, soliditas kekeluargaan, hidup rukun bertetengga, disiplin, kebaikan, dan hukum formal (Kartono, 2003:1).

Jadi, dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua pola perilaku yang diidentifikasi menyimpang dari kaidah-kaidah moral dan etik kemasyarakatan maka dikategorikan sebagai perilaku patologis. Perjudian, kriminalitas, korupsi, suap, pelacuran, mental disorder, seks yang menyimpang, erotisme anal dan oral, onani dan masturbasi, serta mengemis, dan lain-lain perilaku menyimpang lainnya adalah antara lain bentuk-bentuk perilaku patologis yang sangat mengganggu harmonisasi kehidupan sosial.

Dengan demikian semakin jelas bahwa patologi sosial berkaitan erat dengan masalah sosial. Terus, apa itu masalah sosial? Dalam bukunya Patologi Sosial Jilid 1, Kartini Kartono menyebutkan bahwa yang disebut masalah sosial ialah: 1) semua bentuk tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat-istiadat masyarakat (dan adat-istiadat tersebut diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama); dan 2) situasi sosial yang dianggap oleh sebagian orang dari warga masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya, dan merugikan orang banyak (Kartono, 2003:1-2).

Jadi, patologi sosial adalah semua bentuk perilaku anggota masyarakat, baik secara indivudu maupun kelompok (kolektif) yang menyimpang dan bertentangan dengan norma-norma sosial dan moral etik keagamaan. Karena sesungguhnya semua pola perilaku berimplikasi pada nilai-nilai moral dan etik keagamaan. Pertanyaan kemudian muncul adalah faktor-faktor sosial yang mana atau apa yang dapat menyulut timbulnya gejala patologis dalam kehidupan sosial (masyarakat)?

Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Patologis

Sesungguhnya banyak faktor sosial yang dapat berpengaruh terhadap munculnya patologi sosial. Salah satu faktor yang mudah diidentifikasi dan sering menjadi alasan seseorang berperilaku patologis adalah berkaitan dengan persoalan kemiskinan (ekonomi). Kemiskinan adalah alasan yang paling gampang dikemukakan sebagai pemicu tindakan kekerasan dan menyimpang lainnya. Kemiskinan yang dialami dan diderita seseorang dalam batas-batas tertentu dapat mendorong seseorang individu melakukan tindakan yang bertentangan dan menyimpang dari norma-norma umum yang berlaku dalam suatu komunitas sosial. Tindakan kekerasan (mencuri, merampok, berjudi, menjambret, memeras, membegal, dan tindakan sejenis lainnya), serta juga mengemis adalah antara lain tindakan yang ”terpaksa” dilakukan seseorang atau sekelompok orang  karena himpitan kemiskinan yang membelenggu hidupnya. Hal mana dilakukan untuk mempertahankan diri agar tetap survive. Walaupun demikian, kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penyebab munculnya perilaku patologis. Contohnya praktek prostitusi online yang melibatkan para aktor dari kalangan publik figure (elit politik, artis, pengusaha, pejabat, dll.) yang akhir-akhir ini menjadi trend.

Setidak-tidaknya kondisi kemiskinan yang diderita seseorang merupakan suatu produk yang tidak begitu saja muncul dengan sendirinya. Melainkan hal itu disebabkan pula oleh sebuah kontruksi sosial akibat perlakuan diskriminatif dan ketidakadilan sistem sosial. Sebab masalah-masalah sosial itu pada hekakatnya juga merupakan fungsi-fungsi struktural dari totalitas sistem sosial, yaitu produk atau konsekuensi yang tidak diharapkan dari satu sistem sosio-kultural.

Patologi sosial berkaitan pula dengan struktur kehidupan sosial. Perilaku patologis dapat tumbuh subur bila dalam struktur kehidupan sosial terjadi apa yang dinamakan ”disorganisasi sosial”, atau kadang disebut pula sebagai ”disintegrasi sosial”. Disorganisasi sosial atau disintegrasi sosial ditandai oleh ciri-ciri perubahan-perubahan yang serba cepat, tidak stabil, tidak ada kesinambungan pengalaman dari satu kelompok ke kelompok lain, tidak adanya intimitas (keakraban) organik dalam relasi sosial, kurang atau tidak adanya persesuaian di antara para angggota masyarakat. Lenyapnya intimitas organik dari relasi sosial itu dianggap sebagai pertanda utama dari masyarakat yang tengah mengalami proses disorganisasi/disintegrasi, yang kemudian digantikan dengan pola individualistis ekstrem dan nafsu pementingan diri sendiri. Gejala-gejala dengan ciri-ciri tersebut sangat mudah kita jumpai di kehidupan kaum urban (perkotaan).

Disorganisasi sosial ini merupakan produk sampingan dari perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, industri dan urbanisasi yang menimbulkan banyak pergeseran dan perubahan dalam masyarakat. Sehingga bagian-bagian masyarakat itu tidak bisa diintegrasikan, dan tidak  bisa diorganisir secara sempurna. Disorganisasi sosial dapat mengakibatkan runtuhnya fungsi pengontrol dari lembaga/institusi sosial, sehingga seolah-olah memberikan kemungkinan kepada individu-individu untuk bertingkah laku semaunya sendiri tanpa kendali, tanpa kontrol, dan tanpa penggunaan pula susila tertentu.  Dalam kondisi demikian setiap individu bertindak menurut kemauannya sendiri tanpa mempertimbangkan apakah tindakannya itu sesuai dengan norma-norma yang berlaku dan menggangu ketertiban dan kepentingan umum (social disorder).

Patologi sosial juga timbul disebabkan oleh faktor personal. Faktor personal yang dimaksud adalah menyangkut kesehatan mental. Individu yang menunjukkan perilaku menyimpang (patologis) biasanya memiliki mental yang abnormal. Pribadi yang abnormal memiliki mental yang tidak sehat dan jauh dari integrasi batin. Abnormalitas mental ini biasanya disebabkan ketidakmampuan individu dalam menghadapi kenyataan hidup sehingga muncul konflik bathin pada diri yang bersangkutan. Hal itu mendorongnya untuk melarikan diri dari kesulitan dan kepahitan realitas hidup dengan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari kaidah-kaidah moral dan etik sebagai kompensasi untuk menegaskan identitas diri. Sikap ini menunjukkan gejala mental disorder, yakni bentuk gangguan atau kekacauan mental disebabkan oleh kegagalan bereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli eksternal dan ketegangan-ketegangan, sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur pada satu organ, atau sistem kejiwaan. Gangguan mental itu merupakan totalitas kesatuan dari ekspresi yang patologis terhadap stimuli sosial, dikombinasikan dengan faktor-faktor penyebab sekunder lainnya. Karena itu, agar tidak terjadi kondisi demikian seseorang harus memiliki adaptabilitas (kemampuan beradaptasi) secara normal dalam kondisi yang sangat fluktuatif dalam kehidupan sosial.

Adaptabilitas normal menunjuk pada kemampuan menggunakan potensi yang dimiliki secara optimal dan tidak menegasikan pendapat sebelumnya tentang bagaimana seharusnya potensi seorang individu dibandingkan dengan potensi yang dimiliki orang lain. Adaptabilitas normal menunjuk pada harmoni internal (inner harmony). Hanya bila seseorang merasa damai dengan dirinya sendiri maka ia akan mampu mengarahkan energi yang dimilikinya untuk beradaptasi dengan dunia luar dirinya dan tidak hanya kepada dirinya sendiri. Seseorang yang tidak dapat beradaptasi atau tidak dapat menyesuaikan diri (maladjusted) dengan lingkungan dan situasi sosial yang dihadapi akan dihantui oleh kekacaubalauan internal (inner chaos) dan konflik-konflik, selalu tidak mampu menggunakan energinya untuk beradaptasi dengan manusia-manusia lain dan kejadian-kejadian di lingkungan sekitarnya. Akibatnya adalah individu tersebut mencari kompensasi dengan melakukan tindakan yang cenderung bersifat patologis yang merugikan kepentingan umum tanpa ia sendiri sadari.

Pendidikan Budi Pekerti, Quovadis?

Salah satu persoalan terpenting bangsa Indonesia saat ini adalah ketidakpiawaian dan kegagalan dalam berelasi. Kondisi demikian dapat kita lihat dengan berbagai peristiwa sosial yang sulit diatasi dan masih berlarut-larut dengan segala akibat yang meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu memunculkan banyak gejala sosial, seperti terakam dalam spektrum sangat kuat dari ketidaksantunan dan budi bahasa yang buruk hingga goyahnya kebersamaan. Norma masyarakat yang berbunyi, ”hormatilah orang lain seperti halnya menghormati dirimu sendiri, bekerjasamalah dengan orang lain, bertenggang rasalah terhadap sesama, dan sebagainya”, sudah semakin jauh dari kehidupan sosial kita. Seakan-akan nilai-nilai sudah hilang dari memori kesadaran kita sebagai sebuah entitas yang bermartabat.

Uraian di atas sedikit banyak memberikan gambaran tentang hasil dari model pendidikan di Indonesia selama ini. Model pendidikan kita selama ini hanya bisa melahirkan insan-insan yang pintar berbicara (beretorika), tetapi kurang memiliki budi pekerti yang baik. Kurikulum pendidikan yang dipakai saat ini dinilai telah usang dan cenderung "mencekoki" para anak didik dengan setumpuk mata pelajaran yang cukup membebani anak didik. Bahkan, kurikulum saat ini diyakini telah kehilangan unsur-unsur humaniora, yang menginsipirasi dan menggerakkan. Sehingga adalah wajar apabila kita menduga bahwa berbagai perilaku menyimpang yang  terjadi dalam kehidupan sosial kita adalah dampak tidak langsung dari model pendidikan yang dikembangkan selama ini, yang lebih menekankan pada aspek penguasaan pengetahuan daripada pengembangan sikap perilaku anak didik sejak awal. Pertanyaan kemudian timbul adalah apakah ada yang salah dari sistem pendidikan (pembelajaran) kita selama ini?

Sistem pendidikan (pembelajaran) yang berlangsung di kelas adalah proses pewarisan (transfer) nilai-nilai sosial budaya kepada anak didik agar kelak mereka dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial dan menjalani kehidupan. Dengan demikian idealnya pendidikan itu harus dapat mengembangkan semua unsur budaya secara komprehensif dan holistik, yakni meliputi pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap (perilaku). Dalam undang-undang nomor  20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa penyelenggaraan sistem pendidikan nasional; berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 2 dan 3).

Sayangnya dalam implementasinya ternyata sistem pendidikan kita masih lebih menitikberatkan upaya untuk mencerdaskan otak dan skill, tapi cenderung mengabaikan kepekaan nurani. “Berbagai pihak  pihak juga menengarai bahwa kegagalan pendidikan budi pekerti yang terjadi sampai saat ini dikarenakan pendidikan budi pekerti hanya menekankan pada aspek kognitif saja” (sumber).  

Karena sejak awal sudah dikondisikan demikian maka wajar dalam berbagai peristiwa yang melibatkan kelompok usia sekolah (anak baru gede, ABG) menunjukkan ada gejala  kehilangan kepekaan nurani dan akal sehat. Lihat saja pelaku (kelompok) begal motor, rata-rata berusia SMP dan SMA, yang tergolong ABG itu. Bahkan dalam skala yang lebih luas (nasional) berbagai penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan negara lebih banyak melibatkan aktor-aktor yang secara intelektual dan akademis sangat tidak diragukan untuk bertindak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa.

Sangat terasa bahwa proses penyelenggaraan pendidikan kita selama ini sangat kering dari nilai-nilai budaya yang sangat menjunjung tinggi nilai etika dan budi pekerti. “Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan budi pekerti belum (dianggap) relevan dengan dinamika psikologis perilaku normal”. Maka pertanyaan yang harus diajukan adalah "ke manakah engkau pergi" (quovadis) pendidikan budi pekerti dalam sistem pendidikan kita dewasa ini?

Urgensi Pendidikan Budi Pekerti

Menyadari hal itu maka pemerintah merasa perlu memasukkan kembali pendidikan budi pekerti dalam pembelajaran di sekolah. Pemerintah menyadari bahwa pengabaian pada aspek pembinaan budi pekerti akan memberi implikasi yang lebih jauh dan parah dalam kehidupan sosial, yang pada gilirannya akan menghambat proses membangun sebuah bangsa yang bermartabat dan terhormat. Demikian urgennya masalah penanaman nilai-nilai sosial budaya melalui penanaman budi pekerti sejak dini usia (usia sekolah awal) maka akan memberi bekal kemampuan pada setiap warga bangsa untuk mampu menilai setiap fenomena sosial di sekitarnya dengan pendekatan yang komprehensif dan holistik. Tidak hanya mengandalkan kemampuan intelektual dan akademis semata tetapi mampu menyelami setiap fenomena itu dari berbagai sudut pandang.

Pendidikan budi pekerti ini semakin terasa urgensinya dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 22 dan 23  yang memberikan kesempatan kepada semua jenjang sekolah dari SD sampai dengan SMA untuk mengimplementasikan pendidikan budi pekerti dalam proses pembelajaran. Urgensi pendidikan budi pekerti diberikan kepada anak didik karena akan memberikan bekal dalam membentuk watak dan kepribadian yang utuh, sehingga mereka mampu mewujudkan semua tugas perkembangannya sebagai individu dan makhluk sosial. Dengan memiliki watak dan kepribadian yang utuh akan memudahkan individu sebagai makhluk sosial untuk mampu beradaptasi dan berinteraksi dalam lingkungan sosial yang beragam (plural). Dengan demikian  kemungkinan untuk terjadinya pertentangan kepentingan sehingga dapat menimbulkan gesekan-gesekan yang bisa mengganggu harmonisasi kehidupan sosial (social order) dapat dieliminir, bahkan dapat dihindarkan.  Dengan menanamkan budi pekerti melalui pembelajaran di sekolah maka anak sudah dipersiapkan sejak awal memiliki kepekaan hati nurani, kebajikan, kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, kesopanan, kerapihan, keikhlasan, kebijakan, pengendalian diri, keberanian, kebersahabatan, kesetiaan, kehormatan, dan keadilan. Semua nilai ini sangat diperlukan dalam membangun relasi sosial secara harmonis dengan lingkungan. Dengan menanamkan semua unsur budi pekerti ini kepada anak sejak dari usia dini  diharapkan dapat membentuk watak dan kepribadian mereka sehingga tumbuh kembang dengan kepribadian yang paripurna (insan kamil). Kepribadian yang utuh dapat menghindarkan mereka dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang (patologis). 

Penutup

Bahwa perilaku patologis itu muncul bukan dari dunia hampa. Artinya ia bisa timbul karena dipicu oleh berbagai faktor, baik faktor sosial maupun faktor personal (internal). Karena itu perlu dilakukan tindakan-tindakan pencegahan agar tidak terjebak dalam peristiwa dan perilaku patologis.

Yang paling utama dilakukan untuk menghindari perilaku dan peristiwa patologis itu adalah membangun pertahanan diri yang baik agar tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan. Salah satu cara adalah dengan meningkatkan kualitas diri, yakni antara lain melalui pengamalan keagamaan, peningkatan kecerdasan emosional, dan juga kecerdasan sosial. Ketiga hal ini dapat ditanamkan kepada anak sejak dini usia dengan memberikan pendidikan budi pekerti. Di sinilah urgensinya pembinaan budi pekerti digalakkan sejak dini. Pembinaan budi pekerti sejak dini usia akan memberi bekal dan membentuk pertahanan mental yang kuat bagi anak dalam menyikapi berbagai persoalan hidup yang akan dihadapi dan dialami dalam rangka memenuhi kewajibannya melaksanakan tugas-tugas perkembangannya. Dengan memiliki pertahanan mental yang kuat, antara lain melalui pembinaan budi pekerti sejak dini, anak mampu bertahan dari derasnya pengaruh perkembangan global yang sangat fluktuatif dewasa ini, terutama dari pengaruh-pengaruh perilaku patologis.

Salah satu unsur dari budi pekerti adalah pengendalian diri dan keadilan. Dengan memiliki kedua unsur ini seseorang akan mampu mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan sosialnya. Jangkauan kecerdasan sosial ini melampau wawasan kesadaran politik atau paham psikologis karena merangkul hubungan antarpribadi dan kepekaan sosial. Salah satu nilai tambah kecerdasan sosial adalah kesanggupan menilai keadaan sosial secara obyektif (sumber). Dengan kecerdasan sosial, seseorang dapat menumbuhkembangkan sikap altruisme dan rasa empati. Sikap lebih mementingkan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu, sudah saatnya kita melakukan revolusi mental, di mulai dari bassi awal pembentukan karakter anak, yakni pendidikan keluarga, kemudian pendidikan di sekolah, selanjutnya mendapat "pematangan" di kehidupan sosial (pendidikan masyarakat).

 

Ya sudah, begitu saja, selamat membaca!

Wallahu a’lam bish-shawabi

 

Makassar, 18  September  2015    

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun