Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hai Para Pemimpin, Berhentilah Berbohong!

8 September 2015   15:02 Diperbarui: 8 September 2015   15:39 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pinokio dan hidung panjangnya, Simbol Kebohongan

 

Oleh : eN-Te

Hiruk pikuk pergantian dan rotasi jajaran pimpinan Polri sudah redah. Pencopotan Komjen (Pol) Budi Waseso (Buwas) dari jabatan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri bukan lagi menjadi isu. Tapi sudah berubah wujud dan “bermetamorfosa” menjadi fakta. Buwas yang kontroversial dan terpaksa harus mendapat predikat “Mr. Brutal” karena telah melakukan "tindakan kriminalisasi" selama menjabat sebagai Kabareskrim resmi sudah menanggalkan jabatan Kabareskrim. Pelantikan Kabareskrim yang baru, Komjen (Pol) Anang Iskandar pun sudah dilakukan, kemarin, Senin (7/9/2015). Sementara untuk pelantikan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) yang baru, Buwas, yang sebelumnya diduduki Anang Iskandar, berlangsung hari ini, Selasa (8/9/2015). Baik Anang maupun Buwas dilantik oleh Kapolri, Jenderal Badrodin Haiti.

Meski demikian, rumor tentang pencopotan Buwas masih menjadi teka-teki dan menyisakan tanya. Sebagian publik Indonesia masih bertanya-tanya, apa gerangan kesalahan seorang Buwas sehingga harus “dilengserkan”? Sebab publik tidak begitu saja percaya atas berbagai penjelasan, baik bersifat pembelaan maupun apologi (dalih, alasan yang dicari-cari untuk membenarkan suatu perbuatan, KBBI, 2008, h. 309) untuk memberikan justifikasi terhadap “musibah” yang menimpa Buwas.

Bagi penulis, berbagai penjelasan, mulai dari Kapolri, Menko Polhukam, Menteri Bappenas, Menteri BUMN, maupun Wakil Presiden (Wapres), hanya semakin membuat publik tidak percaya, bahwa pemimpin kita sudah berkata jujur. Tentang penjelasan Kapolri, para Menteri, dan Wapres, dapat dibaca/diakses karena semua sudah terungkap dengan jelas pada berbagai media online maupun media massa, cetak maupun elektronik.

Padahal di sisi lain, publik percaya bahwa ada “sesuatu” di balik pencopotan (eufemismenya: pergeseran) Buwas dari Kabareskrim ke Kepala BNN. Tidak bisa tidak terelakkan, nuansa politis tetap terasa kuat aromanya, apapun bentuk pembelaan dan apologi terhadap proses pergantian itu. Celakanya, semakin “diklarifikasi”, semakin kuat dugaan bahwa memang ada “sesuatu” di balik pencopotan itu. Bahkan lebih jauh, malah menunjukkan ada “sesuatu” yang disembunyikan, tapi takut diungkap secara jelas dan transparan. Maka yang tertangkap oleh publik adalah “kebohongan”. Dan fenomena “kebohongan” oleh elit penguasa ini, tidak disadari membawa pengaruh buruk terhadap proses pembentukan karakter bangsa.

Fakta yang tak bisa terbantahkan bahwa isu pencopotan Buwas menyeruak ke permukaan dan kemudian terbukti benar-benar diganti, setelah R. J. Lino merasa keberatan atas proses penggeledahan Pelindo II oleh penyidik Bareskrim dengan menghubungi beberapa menteri dan juga Wapres. Publik meyakini bahwa isu kegaduhan yang “dituduhkan” dilakukan oleh Buwas setelah percakapan ala R. J. Lino dan Menteri Sofyan Djalil yang dengan sengaja diperdengarkan kepada wartawan. Jadi bukan karena sepak terjang Buwas dan timnya dalam menangani suatu kasus pidana (umum maupun khusus, tipikor). Meski sebelumnya ada langkah “split (terpeleset)” yang dilakukan oleh Buwas ketika menjadikan komisioner KPK menjadi tersangka, yang memunculkan istilah kriminalisasi. Tapi dalam kasus Buwas, terasa benar “kebohongan” elit penguasa.

Ketika pada rezim Orde Baru dengan komandannya, Jenderal Besar Soeharto, ungkapan-ungkapan eufemisme menjadi hal yang lumrah. Kenaikan harga dikatakan sebagai penyesuaian harga. Pencopotan suatu jabatan yang sedang dipegang seseorang, kemudian digantikan dengan pejabat lainnya, dikatakan sebagai mutasi biasa sebagai pejabat pemerintah. Bahkan biar kelihatan sedikit lebih keren digunakan istilah regenerasi. Seseorang yang karena bersikap kritis dan dianggap mengancam, kemudian “didepak” dijadikan duta besar (dubes), disebut sebagai dikaryakan. Ketika rezim Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa pernah pula memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), dikatakan sebagai subsidi rakyat miskin. Padahal model BLT merupakan bentuk pendidikan paling buruk terhadap etos kerja dan kemandirian. Hanya menciptakan rakyat bermental pengemis, mental menengadahkan tangan, bukan mendidik masyarakat menghargai karya sendiri dengan bersikap ulet, mandiri, dan mampu berderma. Dan masih banyak kasus lainnya, semuanya dikamuflase dalam ungkapan-ungkapan penghalus, eufemisme. Eufemisme kemudian diterima sebagai hal yang biasa dalam wajah pemerintahan Indonesia. Kebohongan dibungkus dengan kamuflase berbau eufemisme.

Eufemisme sendiri berarti gaya bahasa pelembut dengan cara menggantikan kata-kata dengan kata lain yg lebih sesuai dan tidak menyinggung perasaan (KBBI, 2008:402). Perasaan lebih dikedepankan dibandingkan rasionalitas berdasarkan kebenaran nurani dan akal sehat. Berbohong untuk tidak menimbulkan “kegaduhan” baru lebih diutamakan dibandingkan mempersiapkan generasi anak bangsa yang berkarakter dan berintegritas. Jika pengkondisian berbohong ini tetap berlanjut, jangan berharap mimpi ingin menciptakan negeri yang bebas dari korupsi dengan pemerintahan yang bersih (dan juga jujur) hanya tinggal menjadi utopisme tanpa ujung.

Dalam kasus “musibah” pencopotan Buwas, penulis tetap merasa ada sesuatu yang belum semuanya dibuka untuk memenuhi hak publik, hak untuk mengetahui alasan di balik suatu peristiwa. Begitu pula dengan gonjang-ganjing Ketua DPR RI, Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, beranjangsana bertemu dengan calon presiden AS, Donal Trump. Bagi publik Indonesia apa yang dilakukan Setya dan Fadli Zon, cs., telah mencederai hati rakyat dan menghancurkan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa besar dan berdaulat. Eee, malah si Fadli Zon, memberikan pembelaan yang cenderung kekanak-kanakkan, bahkan berencana akan melakukan somasi terhadap Imam Besar Masjid di New York. Reaksi yang diberikan oleh Fadli Zon dan pembelaan kolega-koleganya, dengan berbagai dalih, hanya ingin menutupi fakta sebenarnya. Kembali, “kejujuran” itu menjadi sesuatu yang langkah di negeri ini.

Publik sudah merasa jengah terhadap berbagai manuver yang cenderung ingin menutup-nutupi dengan berbagai penjelasan bersifat kamuflase yang cenderung “kasar”. Sudah saatnya publik menuntut hak agar mendapat informasi yang benar, akurat, dan tentu saja harus bersifat faktual dan apa adanya. Bahwa untuk sebuah alasan politik (dan juga keamanan), sehingga tidak semua informasi harus diketahui publik, mungkin ya. Tapi, pada sisi lain, elit politik dan penguasa harus menunjukkan sikap ksatria dan jujur, tidak bersikap hipokrit. Di depan mengatakan A, tapi sesungguhnya di belakang, yang sebenarnya disembunyikan adalah fakta B.

Hal ini penting, mengingat masih banyak dari rakyat negeri ini yang masih menganut atau berpegang pada budaya paternalistik. Apa yang dikatakan pemimpin, itu yang diikuti. Tentu saja, pemimpin yang benar, yang mengatakan apa adanya secara jujur, tidak dibungkus dengan bahasa eufemisme hanya sebagai kamuflase semata. Tentu pula, penulis yakin, para elit pemimpin dan penguasa juga tidak ingin mewariskan budaya berbohong kepada rakyat dan bangsanya. Cukup sudah selama lebih kurang 32 tahun rezim Orba “mendesain” manusia Indonesia menjadi manusia “yes man”, tetap mengatakan ya, meski itu bertentangan dengan hati nuraninya sendiri. Saatnya kita sebagai bangsa besar dan berbudaya, memutus mata rantai “kebohongan” sebagai karakter dan jati diri bangsa. Bangsa ini harus dibangun atas landasan kejujuran dengan karakter berintegritas. Kredibilitas anak bangsa sebagai bangsa yang berintegritas, yang mencerminkan bangsa berbudaya dan beradab tidak hanya dibungkus dengan slogan kosong, tapi harus diejawantahkan, harus dibumikan menjadi sesuatu yang inheren dalam kepribadian bangsa. Dan semua itu harus dimulai dari atas oleh para elit pemimpin dan penguasa. Para elit dan penguasa sudah seharusnya menyadari bahwa akibat “kebohongan” dapat menjadi racun yang bisa menghancurkan kepribadian generasi anak negeri. Oleh karena itu, mari kita himbau “hai pemimpin, berhentilah berbohong!”  

Ya sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, …

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 08  September  2015    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun