Mari kita lihat, benarkah kegaduhan politik itu karena ulah Buwas dan timnya? Dalam berbagai kesempatan Buwas membantah bahwa apa yang telah dilakukan oleh Bareskrim adalah melampui wewenang dan merupakan upaya kriminalisasi. Meski tidak sedikit pula orang, termasuk seorang Buya Syafi’i Ma’arif menganggap Buwas sebagai orang yang “brutal”, yang semena-mena melakukan kriminalisasi, hal mana dikategorikan sebagai bertindak di luar koridor hukum (undang-undang). Anggapan Buya Syafi’i ini karena Buwas telah dengan sengaja menetapkan Bambang Widjojanto (BW) dan Abraham Samad (AS) menjadi tersangka sehingga harus terpental dari kuri empuk pimpinan KPK, menetapkan Komisioner KY sebagai tersangka, dan beberapa mantan pejabat lainnya, sebut saja Denny Indrayana sebagai tersangka.
Sebenarnya, apa yang dilakukan Buwas bersama tim penyidik Bareskrim, ghalibnya merupakan hal yang biasa. Artinya, proses itu merupakan prosedur tetap sesuai ketentuan undang-undang yang harus dijalankan oleh penyidik dalam rangka untuk menemukan alat bukti atas suatu tindak pidana yang sedang dilidik dan disidik. Karena itu bagi saya, hal yang berlebihan, bila “fenomena” Buwas ini kemudian selalu dicuragi melakukan penegakan hukum tidak secara murni.
***
Memang harus diakui bahwa karier Buwas melesat tajam bak roket, karena “berkah” gagalnya Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri. Agar tidak menimbulkan “komplikasi” politik yang serius akibat BG gagal menjadi Kapolri, Presiden Jokowi mau memberikan “kompensasi” dengan menunjuk Buwas, yang waktu itu masih berpangkat Inspektur Jenderal (Irjen) dengan bintang dua menjadi Kabareskrim menggantikan Komjen Suhardi Alius.
Publik pun merasa terkesima ketika dengan “sekonyong-konyong” Buwas memerintahkan tim Bareskrim menangkap BW ketika yang bersangkutan mengantarkan anaknya ke sekolah. Belum hilang rasa kaget, publik kembali dibuat terkejut, ketika Buwas menetapkan AS sebagai tersangka pula. Selang beberapa lama kemudian Buwas kembali menunjukkan “tajinya” dengan menetapkan Denny Indrayana, mantan Wamen Kumham menjadi tersangka. Langkah Buwas yang “berani” ini membuat beberapa pihak, termasuk Buya Syafi’i meradang, dan berawal mula dari sinilah kemudian muncul istilah kriminalisasi.
Lepas dari pro kontra terhadap langkah-langkah yang telah diambil mantan Kabareskrim, kita patut memberi respek terhadap Buwas. Buwas telah memberikan contoh bagaimana sebagai seorang pejabat dalam menjalankan tugas jabatannya tetap berpedoman pada rambu-rambu dan koridor hukum yang ada. Meski publik nyinyir mengkritisi bahkan sampai mencaci makinya, seorang Buwas tetap pada prinsipnya, menegakkan hukum tanpa harus takut terhadap intervensi, sampai pada pencopotan jabatan. Sayangnya, dalam kasus pengadaan mobil crane yang “melibatkan” Dirut PT. Pelindo II, Buwas harus ikhlas terjungkal dari posisi Kabareskrim. Pada kondisi ini, Buwas seakan sendirian, meski ada suara-suara, seperti Komisi III yang berencana akan membentuk Pansus Pelindo II (lihat di sini) yang mencoba memberi dukungan terhadap langkah-langkah yang telah dia jalankan.
Rupanya langkah Buwas kali ini kurang, bahkan tidak mendapat dukungan sedikit pun dari Wapres JK. Bahkan JK, secara khusus ketika masih berada di Korea Selatan, ketika mendengar kasus penggeledahan PT. Pelindo II, secara khusus menelepon langsung Buwas (baca di sini) dengan maksud untuk “menegurnya”. Buwas pun mempertanyakan cara berpikir Wapres JK dalam masalah yang sedang ditanganinya, yakni PT. Pelindo II (baca di sini). Pada konteks ini, saya bisa memahami tanggapan Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR, bahwa apa yang dilakukan JK merupakan bentuk intervensi (baca di sini).
Padahal publik masih ingat ketika penetapan BW, AS, dan Denny Indrayana menjadi tersangka oleh penyidik Bareskrim mendapat dukungan penuh dari Wapres JK. Tapi mengapa dalam kasus PT. Pelindo II dan R. J. Lino, Wapres harus bersikap “anomali”, resisten terhadap langkah Buwas? Bahkan Buwas seakan “diborongi” oleh beberapa Menteri sekaligus, mulai dari Menteri Polhukam, Menteri/Kepala Bappenas, dan Menteri BUMN. Ironisnya lagi, Presiden Jokowi juga larut dalam ritme yang sudah ada. Pertanyaan kemudian timbul adalah adakah kepentingan yang lebih besar yang sedang dipertaruhkan dan disembuyikan dalam kasus PT. Pelindo II? Apakah “resistensi” beberapa Menteri dan Wapres itu hanya semata pertimbangan stabilitas ekonomi dan politik Nasional? Hanya waktu pula yang dapat menjawabnya.
Ya sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...