Oleh : eN-Te
Sebentar lagi rakyat dan bangsa Indonesia akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan yang ke-70. Sebuah episode kehidupan yang telah terentang jauh, penuh liku, dan variasi pengalaman yang mengitari dan membentuknya. Sayangnya dalam rentang waktu yang demikian “matang”, masih terasa sekat-sekat primordial yang turut memberi andil “lestarinya” perasaan atau mental inlander sebagai negeri bekas jajahan.
Pada bulan Agustus setiap tahun rakyat Indonesia diingatkan kembali terhadap rentang sejarah yang telah membentuk kepribadian Indonesia. Termasuk kepribadian yang mencerminkan dampak penjajahan selama 350 tahun plus tiga tahun di bawah fasisme Jepang. Sedemikian lamanya rentang waktu berada di bawah bayang-bayang kaum imperealisme, sehingga meski sudah hampir 70 tahun menyatakan kemerdekaan (proklamsi) tetapi mental inlander itu hampir tidak bisa terhapus dari memori bangsa ini. Bangsa ini seakan merasa tidak percaya diri (pede) bila berhadapan dengan bangsa lain. Jangankan terhadap bangsa lain, anatrsesama anak bangsa sendiri masih terdapat jarak yang seakan-akan menjadi penghalang “meleburnya” rasa bersama.
Pada 17 Agustus 2015 yang akan datang, kembali bangsa ini menegaskan eksistensi dirinya melalui peringatan kemerdekaannya. Akankah momentum peringatan ke-70 tahun kemerdekaan itu dapat menjadi sebuah lompatan untuk menegaskan diri bahwa bangsa ini benar-benar telah merdeka. Bukan lagi sebagai bangsa pesuruh, bukan lagi sebagai bangsa kelas bawah/rendah, apalagi sebagai bangsa jajahan. Tapi sesungguhnya adalah bangsa merdeka yang hadir untuk menentukan dan membuat sejarahnya sendiri, tanpa harus berlindung apalagi berada di bawah tekanan atau bayang-bayang bangsa-bangsa lain. Sudah saatnya bangsa ini harus bangkit untuk menyatakan bahwa kita sejajar dengan bangsa lain.
***
Inlander artinya sebutan bagi penduduk asli di kepulauan Nusantara (Indonesia) oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa penjajahan Belanda (KBBI, Pusat Bahasa Depdikbud, 2008, h. 590). Sebutan tersebut berkonotasi negatif karena hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial penduduk asli sebagai “orang jajahan”. Dalam kurun waktu 350 tahun di bawah imperealisme Belanda, rakyat atau penduduk Nusantara mengalami stigma sebagai masyarakat kelas paling bawah/rendah, alias budak. Karena itu, sebutan inlander juga menunjukkan perasaan atau mental inferior kelompok sosial yang terjajah.
Meski telah memasuki usia 70 tahun merdeka, dampak sebagai negeri jajahan telah sedemikian kuat tertanam dalam memori bangsa ini, sehingga sikap-sikap yang menunjukkan mental inlander masih saja terlihat dan ternampakkan. Ambil contoh sederhana, sejak Indonesia merdeka budaya mobilisasi untuk menghadiri dan menyambut seorang pejabat yang akan berkunjung pada suatu daerah masih saja berlaku. Penulis masih mengingat dengan jelas bagaimana harus berkumpul dan berbaris di pinggir jalan di bawah terik matahari sambil memegang bendera kertas dan dilambai-labaikan hanya untuk menunggu dan menyambut seorang pejabat yang akan berkunjung. Walaupun pejabat tersebut hanya setingkat Camat. Setelah sang pejabat itu lewat, “kerumunan” itu dibiarkan membubarkan diri tanpa ada yang peduli.
Mental inlander ini hampir menyebar dan menjangkiti bangsa ini secara merata. Ia seakan penyakit akut yang terasa sangat sulit untuk diobati. Meski seseorang telah mengalami pencerahan melalui proses pendidikan, tapi masih terlihat secara refleks indikasi mental inlander itu ternampakkan, karena melekat kuat dalam alam bawah sadar kita.
***
Seorang teman membuat status facebook yang menunjukkan kekhawatirannya terhadap semakin menipisnya penghargaan dan kebanggaan anak-anak terhadap bahasa daerah. Katanya sekarang ini bahasa daerah semakin termarginalisasi dan kehilangan eksistensinya karena tidak lagi menjadi bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari di dalam rumah. Anak-anak sekarang, terutama di kota semakin hari semakin jauh dari nilai-nailai tradisional dan kearifan lokal karena kehilangan sentuhan melalui bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di dalam rumah. Orangtua, terutama di daerah perkotaan merasa “minder” kalau anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari di rumah menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Bahkan dalam banyak keluarga “modern” dengan sengaja sejak dini telah mengajarkan anak-anaknya untuk bisa berkomunikasi dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Karena mereka merasa belum lengkap bila dalam rumahnya tidak menggunakan bahasa asing (baca English) sebagai bahasa pengantar berkomunikasi. Kondisi ini menggambarkan satu hal bahwa rupanya masyarakat perkotaan, terutama keluarga “modern” sejak awal telah dengan sengaja “menghilangkan” akar tradisional anak dari nilai-nilai kearifan lokal melalui bahasa ibu.
Tentu saja semakin memudarnya kebanggaan dan apresiasi terhadap penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar bukan hanya merupakan satu gejala dari perasaan inferior sebagai negeri bekas jajahan, tetapi dalam banyak fenomena sosial di masyarakat menunjukkan bahwa mental inlander secara tidak sadar telah tertanam demikian kuat dalam alam bawah sadar kita. Ketika menghadiri suatu pertemuan misalnya, kita sering lebih memilih untuk menempati kursi paling belakang, meski deretan kursi depan belum terisi. Ini tidak hanya menjelaskan kekurangpercayaan diri (inkonfidensi), tapi juga menunjukkan pengabaian terhadap nilai-nilai tradisional untuk saling menghargai. Adalah suatu penghargaan bagi “tuan rumah” bila tamu yang diundang hadir untuk mengikuti pertemuan itu dengan terlebih dahulu mengisi dan menempati posisi duduk dari deretan kursi paling depan. Lepas dari apakah ada deretan kursi tertentu yang dipersiapkan untuk tamu atau undangan khusus.
“Mental menerabas” sebagaimana sebutan yang diperkenalkan pertama kali oleh budayawan Muchtar Lubis, secara tidak langsung juga menunjukkan gejala mental inlander. Sikap ingin cepat kaya tanpa harus bekerja ekstra keras untuk mengumpulkan rejeki secara halal, membuat sebagian masyarakat kita menerabas rambu-rambu aturan dan ketentuan yang ada. Sehingga dalam banyak kasus “mobilisasi” dana dengan iming-iming janji bunga dan bonus yang sangat fantastis, masyarakat kita dengan cepat tergiur tanpa bersikap hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya penipuan. Setelah dananya yang “ditimbun” melalui “proyek” mimpi itu hilang baru mereka tersadar bahwa telah tertipu.
Sikap yang juga menunjukkan mental inlander masih kita temukan pada kebiasaan atau budaya antri dalam kehidupan sosial kita. Di satu sisi menunjukkan sikap menerabas, juga menegaskan ketidakpatuhan atas nilai-nilai sosial.
***
Hal lain yang menunjukkan bahwa mental inlander yang menghinggapi bangsa ini sudah sedemikian kuat tertanam dalam kesadaran kita dapat kita temukan pada kasus penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Kalau di atas penulis telah mengutip kekhawatiran seorang teman atas tergerusnya kebanggaan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di dalam kehidupan sehari-hari di rumah, maka dalam konteks ke-Indonesia-an, sebenarnya sudah lama terjadi marginalisasi bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Sepertinya tidak ada lagi kebanggaan mengggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar ketika berkomunikasi. Bahkan ada yang dengan sengaja mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing dalam setiap percakapannya. Meski penempatan dan penggunaan istilah atau bahasa asing itu dalam sebuah kalimat terasa sangat rancu.
Ketika seseorang ingin menggambarkan seseorang secara fisik (cantik, ganteng), dia lebih memilih menggunakan istilah asing dalam pernyataannya, ketimbang tetap menggunakan bahasa Indonesia. Dan masih banyak praktek-praktek yang semacam itu. Padahal dari segi efisiensi dan efektivitas lebih baik tetap menggunakan bahasa (istilah) Indonesia dibanding menggunakan istilah asing itu tadi. Hal ini menggambarkan kondisi psikologis pembicara seakan ingin menunjukkan bahwa dia termasuk kelompok “intelek” karena bisa berbahasa asing. Di satu sisi mungkin asumsi itu benar, tapi tanpa disadari bahwa kebiasaan lebih memilih menggunakan istilah asing biar dianggap intelek adalah juga cerminan dari mental inlander.
Masih tentang penghargaan dan kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan remi atau kegiatan sehari-hari. Sebenarnya sudah lama pemerhati dan ahli bahasa Indonesia mengingatkan tentang semakin terpinggirkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Tapi rupanya “peringatan” itu belum cukup menyadarkan kita bahwa ekspansi istilah atau bahasa asing telah menggeser posisi bahasa Indonesia dalam pergaulan kebangsaan kita. Bahasa Indonesia tanpa kita sadari semakin hari semakin tergeser dan merasa asing di negeri sendiri.
Lihatlah penggunaan nama-nama jalan, nama-nama pemukiman, nama-nama perumahan, nama-nama lembaga, lebih banyak memilih menggunakan istilah asing, dibandingkan dengan bahasa (istilah) Indonesia atau daerah. Sampai-sampai pada nama-nama orang juga hampir-hampir telah “terkontaminasi” dengan bahasa asing. Lidah dan telinga kita semakin tidak familiar dengan nama-nama yang mencerminkan dan menunjukkan bahwa seseorang itu berasal dari suatu etnis tertentu. Dahulu, nama seseorang ketika disebutkan orang sudah bisa menebak dan memastikan berasal dari etnis mana. Tapi sekarang, katanya biar lebih kosmopolit(an), maka nama-nama orang pun mengikuti trend menggunakan nama-nama asing.
Begitu pula penghargaan yang kurang terhadap bahasa Indonesia kita temukan pula dalam bahasa tulisan. Lihatlah nama-nama lembaga, baik itu lembaga pemerintah maupun lembaga swasta. Ketika menuliskan nama lembaga, kadang, bahkan mungkin dengan sengaja dan sadar, kita lebih mendahulukan istilah asing (terutama Inggris) ketimbang bahasa Indonesia. Bahasa atau istilah asingnya ditulis pertama di barisan atas kemudian di bawahnya (pake dalam kurung lagi) ditulis istilah Indonesianya. Miris memang.
Lain halnya negara lain, mereka begitu bangga dengan bahasa dan budayanya. Mereka tidak mau sama sekali ketika menulis nama lembaga, kantor atau sekretariat suatu organisasi lebih menomorsatukan bahasa asing ketimbang bahasa Nasionalnya sendiri. Ambil contoh Jepang, Thailand, India, Tiongkok, misalnya, ketika menuliskan nama lembaga, kantor atau sekretariat suatu perkumpulan mereka lebih mendahulukan menggunakan bahasa Nasionalnya (tulisan kanji) ketimbang bahasa asing. Kalau pun mereka tetap menyertakan istilah bahasa asing itu, hanya sebagai pelengkap untuk menjelaskan. Tapi kebiasaan itu tidak berlaku di negeri ini, sehingga seringkali dalam setiap iklan, reklame, spanduk maupun baliho tidak jarang kita temukan penonjolan istilah atau bahasa asing untuk menyampaikan pesan daripada bahasa Indonesia. Padahal pesan yang terkandung dalam iklan, reklame, spanduk, atau baliho dan semacamnya itu diperuntukkan dan bertujuan agar masyarakat tahu pesan yang disampaikan. Sementara masyarakat kita kebanyakan relatif masih belum dapat memahami pesan yang terkandung dalam istilah-istilah atau bahasa asing yang digunakan. Mungkin kekhawatiran ini berlebihan, tapi tidak ada salahnya bila hal ini kita jadikan sebagai “sirene” pengingat akan hadirnya suatu masa di mana bahasa Indonesia akan kehilangan posisi sehingga sperti merasa asing di negeri sendiri.
Fenomena mental inlander juga masih terlihat dalam hal penggunaan barang konsumsi dan produksi. Di negeri ini, masyarakat kita seakan merasa bangga bila menggunakan produk luar daripada produk negeri sendiri, meski dari segi kualitas tidak kalah. Kita seakan merasa lebih wah menggunakan merek asing, meski kualitas produk barang tersebut lebih rendah daripada produk lokal. Maka tidak jarang dan menjadi hal yang jamak terjadi praktek membuat barang tiruan (imitasi) dengan mendompleng produk (merek) asing. Bahkan terjadi pemalsuan merek dagang yang mungkin secara finansial untuk ukuran kebanyakan orang Indonesia bila barang itu original tidak akan mampu membelinya. Sayangnya dalam pemasarannya, produk abal-abal tersebut dikatakan sebagai barang original, dan dijual dengan harga miring, sehingga masyarakat tertarik membeli barang aspal (asli tapi palsu). Sesama bangsa sendiri saling mengelabui.
Tentu saja masih banyak perilaku dan sikap-sikap yang menunjukkan gejala mental inlander. Mental yang menunjukkan perasaan inferior dibandingkan dengan kelompok sosial lain sebagai sebuah entitas yang merdeka. Hal ini juga terlihat dalam praktek pembangunan sumber daya manusia (SDM) dalam bidang pendidikan.
Praktek pendidikan yang berlangsung di sekolah ditengarai sangat “kering” dari nilai-nilai yang menginspirasi dan menggerakkan (baca juga di sini: Pendidikan Kita Kehilangan Nyawanya). Kebanyakan para pendidik (guru, kepala Sekolah, dan tenaga pendidikan lainnya) masih saja belum bergerak dari paradigma konvensional ke arah paradigma yang mencerahkan dan membangkitkan semangat. Sehingga dalam praktek pembelajaran di kelas, guru seringkali hanya mengfungsikan diri sebagai “media” tranfer pengetahuan daripada memberikan pencerahan berupa sikap-sikap yang membesarkan hati melalui pernyataan pembangkit semangat. Yang lebih sering terdengar di telinga anak didik adalah bahasa-bahasa sarkatis, seperti bodoh, bego, nakal, otak udang, dan sejenisnya, yang sungguh sangat tidak memberi peluang anak untuk dapat mengembangkan “benih-benih” potensi yang sudah ada dalam dirinya. Dalam kondisi seperti itu, anak akan tetap merasa “asing” dengan guru-gurunya di sekolah, ketimbang menggangap sebagai teman atau sahabat. Maka yang tumbuh subur adalah perasaan inferior sebagai mental inlander.
***
Oleh karena itu, diusia ke-70 tahun ini, sebagai sebuah negara dan bangsa merdeka harus bangkit dan memotong mata rantai “penyebaran” penyakit yang bernama mental inlander tersebut. Sudah saatnya kita bangkit membangun kebanggaan negeri melalui praktek dan perilaku kita sehari-hari. Tidak hanya di kalangan bawah (masyarakat akar rumput) tapi juga kaum elit (dalam hal pemerintah) perlu lebih dahulu mempelopori itu. Jangan sampai kita terlena sehingga terlambat dan tidak dapat menemukan akar masalah sebenarnya dari penyakit akut yang menghinggapi bangsa ini. Jangan sampai mental inlander yang terbentuk akibat penjajahan yang demikian lama diderita bangsa ini menggerogoti secara pelan dan pasti perasaan dan sentimen nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa merdeka.
Selamat menyongsong HUT Kemerdekaan RI yang ke-70, Jayalah Bangsaku, Jayalah Negeriku, ...!
Ya sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, …
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 08 Agustus 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H