Begitu pula penghargaan yang kurang terhadap bahasa Indonesia kita temukan pula dalam bahasa tulisan. Lihatlah nama-nama lembaga, baik itu lembaga pemerintah maupun lembaga swasta. Ketika menuliskan nama lembaga, kadang, bahkan mungkin dengan sengaja dan sadar, kita lebih mendahulukan istilah asing (terutama Inggris) ketimbang bahasa Indonesia. Bahasa atau istilah asingnya ditulis pertama di barisan atas kemudian di bawahnya (pake dalam kurung lagi) ditulis istilah Indonesianya. Miris memang.
Lain halnya negara lain, mereka begitu bangga dengan bahasa dan budayanya. Mereka tidak mau sama sekali ketika menulis nama lembaga, kantor atau sekretariat suatu organisasi lebih menomorsatukan bahasa asing ketimbang bahasa Nasionalnya sendiri. Ambil contoh Jepang, Thailand, India, Tiongkok, misalnya, ketika menuliskan nama lembaga, kantor atau sekretariat suatu perkumpulan mereka lebih mendahulukan menggunakan bahasa Nasionalnya (tulisan kanji) ketimbang bahasa asing. Kalau pun mereka tetap menyertakan istilah bahasa asing itu, hanya sebagai pelengkap untuk menjelaskan. Tapi kebiasaan itu tidak berlaku di negeri ini, sehingga seringkali dalam setiap iklan, reklame, spanduk maupun baliho tidak jarang kita temukan penonjolan istilah atau bahasa asing untuk menyampaikan pesan daripada bahasa Indonesia. Padahal pesan yang terkandung dalam iklan, reklame, spanduk, atau baliho dan semacamnya itu diperuntukkan dan bertujuan agar masyarakat tahu pesan yang disampaikan. Sementara masyarakat kita kebanyakan relatif masih belum dapat memahami pesan yang terkandung dalam istilah-istilah atau bahasa asing yang digunakan. Mungkin kekhawatiran ini berlebihan, tapi tidak ada salahnya bila hal ini kita jadikan sebagai “sirene” pengingat akan hadirnya suatu masa di mana bahasa Indonesia akan kehilangan posisi sehingga sperti merasa asing di negeri sendiri.
Fenomena mental inlander juga masih terlihat dalam hal penggunaan barang konsumsi dan produksi. Di negeri ini, masyarakat kita seakan merasa bangga bila menggunakan produk luar daripada produk negeri sendiri, meski dari segi kualitas tidak kalah. Kita seakan merasa lebih wah menggunakan merek asing, meski kualitas produk barang tersebut lebih rendah daripada produk lokal. Maka tidak jarang dan menjadi hal yang jamak terjadi praktek membuat barang tiruan (imitasi) dengan mendompleng produk (merek) asing. Bahkan terjadi pemalsuan merek dagang yang mungkin secara finansial untuk ukuran kebanyakan orang Indonesia bila barang itu original tidak akan mampu membelinya. Sayangnya dalam pemasarannya, produk abal-abal tersebut dikatakan sebagai barang original, dan dijual dengan harga miring, sehingga masyarakat tertarik membeli barang aspal (asli tapi palsu). Sesama bangsa sendiri saling mengelabui.
Tentu saja masih banyak perilaku dan sikap-sikap yang menunjukkan gejala mental inlander. Mental yang menunjukkan perasaan inferior dibandingkan dengan kelompok sosial lain sebagai sebuah entitas yang merdeka. Hal ini juga terlihat dalam praktek pembangunan sumber daya manusia (SDM) dalam bidang pendidikan.
Praktek pendidikan yang berlangsung di sekolah ditengarai sangat “kering” dari nilai-nilai yang menginspirasi dan menggerakkan (baca juga di sini: Pendidikan Kita Kehilangan Nyawanya). Kebanyakan para pendidik (guru, kepala Sekolah, dan tenaga pendidikan lainnya) masih saja belum bergerak dari paradigma konvensional ke arah paradigma yang mencerahkan dan membangkitkan semangat. Sehingga dalam praktek pembelajaran di kelas, guru seringkali hanya mengfungsikan diri sebagai “media” tranfer pengetahuan daripada memberikan pencerahan berupa sikap-sikap yang membesarkan hati melalui pernyataan pembangkit semangat. Yang lebih sering terdengar di telinga anak didik adalah bahasa-bahasa sarkatis, seperti bodoh, bego, nakal, otak udang, dan sejenisnya, yang sungguh sangat tidak memberi peluang anak untuk dapat mengembangkan “benih-benih” potensi yang sudah ada dalam dirinya. Dalam kondisi seperti itu, anak akan tetap merasa “asing” dengan guru-gurunya di sekolah, ketimbang menggangap sebagai teman atau sahabat. Maka yang tumbuh subur adalah perasaan inferior sebagai mental inlander.
***
Oleh karena itu, diusia ke-70 tahun ini, sebagai sebuah negara dan bangsa merdeka harus bangkit dan memotong mata rantai “penyebaran” penyakit yang bernama mental inlander tersebut. Sudah saatnya kita bangkit membangun kebanggaan negeri melalui praktek dan perilaku kita sehari-hari. Tidak hanya di kalangan bawah (masyarakat akar rumput) tapi juga kaum elit (dalam hal pemerintah) perlu lebih dahulu mempelopori itu. Jangan sampai kita terlena sehingga terlambat dan tidak dapat menemukan akar masalah sebenarnya dari penyakit akut yang menghinggapi bangsa ini. Jangan sampai mental inlander yang terbentuk akibat penjajahan yang demikian lama diderita bangsa ini menggerogoti secara pelan dan pasti perasaan dan sentimen nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa merdeka.
Selamat menyongsong HUT Kemerdekaan RI yang ke-70, Jayalah Bangsaku, Jayalah Negeriku, ...!
Ya sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, …