***
Seorang teman membuat status facebook yang menunjukkan kekhawatirannya terhadap semakin menipisnya penghargaan dan kebanggaan anak-anak terhadap bahasa daerah. Katanya sekarang ini bahasa daerah semakin termarginalisasi dan kehilangan eksistensinya karena tidak lagi menjadi bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari di dalam rumah. Anak-anak sekarang, terutama di kota semakin hari semakin jauh dari nilai-nailai tradisional dan kearifan lokal karena kehilangan sentuhan melalui bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di dalam rumah. Orangtua, terutama di daerah perkotaan merasa “minder” kalau anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari di rumah menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Bahkan dalam banyak keluarga “modern” dengan sengaja sejak dini telah mengajarkan anak-anaknya untuk bisa berkomunikasi dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Karena mereka merasa belum lengkap bila dalam rumahnya tidak menggunakan bahasa asing (baca English) sebagai bahasa pengantar berkomunikasi. Kondisi ini menggambarkan satu hal bahwa rupanya masyarakat perkotaan, terutama keluarga “modern” sejak awal telah dengan sengaja “menghilangkan” akar tradisional anak dari nilai-nilai kearifan lokal melalui bahasa ibu.
Tentu saja semakin memudarnya kebanggaan dan apresiasi terhadap penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar bukan hanya merupakan satu gejala dari perasaan inferior sebagai negeri bekas jajahan, tetapi dalam banyak fenomena sosial di masyarakat menunjukkan bahwa mental inlander secara tidak sadar telah tertanam demikian kuat dalam alam bawah sadar kita. Ketika menghadiri suatu pertemuan misalnya, kita sering lebih memilih untuk menempati kursi paling belakang, meski deretan kursi depan belum terisi. Ini tidak hanya menjelaskan kekurangpercayaan diri (inkonfidensi), tapi juga menunjukkan pengabaian terhadap nilai-nilai tradisional untuk saling menghargai. Adalah suatu penghargaan bagi “tuan rumah” bila tamu yang diundang hadir untuk mengikuti pertemuan itu dengan terlebih dahulu mengisi dan menempati posisi duduk dari deretan kursi paling depan. Lepas dari apakah ada deretan kursi tertentu yang dipersiapkan untuk tamu atau undangan khusus.
“Mental menerabas” sebagaimana sebutan yang diperkenalkan pertama kali oleh budayawan Muchtar Lubis, secara tidak langsung juga menunjukkan gejala mental inlander. Sikap ingin cepat kaya tanpa harus bekerja ekstra keras untuk mengumpulkan rejeki secara halal, membuat sebagian masyarakat kita menerabas rambu-rambu aturan dan ketentuan yang ada. Sehingga dalam banyak kasus “mobilisasi” dana dengan iming-iming janji bunga dan bonus yang sangat fantastis, masyarakat kita dengan cepat tergiur tanpa bersikap hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya penipuan. Setelah dananya yang “ditimbun” melalui “proyek” mimpi itu hilang baru mereka tersadar bahwa telah tertipu.
Sikap yang juga menunjukkan mental inlander masih kita temukan pada kebiasaan atau budaya antri dalam kehidupan sosial kita. Di satu sisi menunjukkan sikap menerabas, juga menegaskan ketidakpatuhan atas nilai-nilai sosial.
***
Hal lain yang menunjukkan bahwa mental inlander yang menghinggapi bangsa ini sudah sedemikian kuat tertanam dalam kesadaran kita dapat kita temukan pada kasus penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Kalau di atas penulis telah mengutip kekhawatiran seorang teman atas tergerusnya kebanggaan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di dalam kehidupan sehari-hari di rumah, maka dalam konteks ke-Indonesia-an, sebenarnya sudah lama terjadi marginalisasi bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Sepertinya tidak ada lagi kebanggaan mengggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar ketika berkomunikasi. Bahkan ada yang dengan sengaja mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing dalam setiap percakapannya. Meski penempatan dan penggunaan istilah atau bahasa asing itu dalam sebuah kalimat terasa sangat rancu.
Ketika seseorang ingin menggambarkan seseorang secara fisik (cantik, ganteng), dia lebih memilih menggunakan istilah asing dalam pernyataannya, ketimbang tetap menggunakan bahasa Indonesia. Dan masih banyak praktek-praktek yang semacam itu. Padahal dari segi efisiensi dan efektivitas lebih baik tetap menggunakan bahasa (istilah) Indonesia dibanding menggunakan istilah asing itu tadi. Hal ini menggambarkan kondisi psikologis pembicara seakan ingin menunjukkan bahwa dia termasuk kelompok “intelek” karena bisa berbahasa asing. Di satu sisi mungkin asumsi itu benar, tapi tanpa disadari bahwa kebiasaan lebih memilih menggunakan istilah asing biar dianggap intelek adalah juga cerminan dari mental inlander.
Masih tentang penghargaan dan kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan remi atau kegiatan sehari-hari. Sebenarnya sudah lama pemerhati dan ahli bahasa Indonesia mengingatkan tentang semakin terpinggirkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Tapi rupanya “peringatan” itu belum cukup menyadarkan kita bahwa ekspansi istilah atau bahasa asing telah menggeser posisi bahasa Indonesia dalam pergaulan kebangsaan kita. Bahasa Indonesia tanpa kita sadari semakin hari semakin tergeser dan merasa asing di negeri sendiri.
Lihatlah penggunaan nama-nama jalan, nama-nama pemukiman, nama-nama perumahan, nama-nama lembaga, lebih banyak memilih menggunakan istilah asing, dibandingkan dengan bahasa (istilah) Indonesia atau daerah. Sampai-sampai pada nama-nama orang juga hampir-hampir telah “terkontaminasi” dengan bahasa asing. Lidah dan telinga kita semakin tidak familiar dengan nama-nama yang mencerminkan dan menunjukkan bahwa seseorang itu berasal dari suatu etnis tertentu. Dahulu, nama seseorang ketika disebutkan orang sudah bisa menebak dan memastikan berasal dari etnis mana. Tapi sekarang, katanya biar lebih kosmopolit(an), maka nama-nama orang pun mengikuti trend menggunakan nama-nama asing.