Oleh : eN-Te
[caption id="attachment_382612" align="aligncenter" width="400" caption="Nenek Sarniti (Sub.: radarlampung.co.id)"][/caption]
Kemarin siang, sebelum pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat Jumat (8/5/2015), penulis mendengar TV One menyiarkan sebuah berita tentang proses peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Tanjungkarang Barat Lampung, yang sedang dijalani seorang nenek empat cucu, penjual kopi, yang didakwa mencuri piring tatakan gelas kopi. Nenek itu bernama Sarniti. Usianya sekarang 50 tahun.
Berdasarkan berita TV One tersebut, penulis terdorong untuk mencari informasi tambahan melalui Mbah gugel. Setelah meminta “wangsit” melalui Mbah gugel, penulis memperoleh link-link yang yang memberitakan tentang kasus yang menjerat Nenek Sarniti ini. Link-link tersebut, antara lain http://radarlampung.co.id/read/bandarlampung/hukum-a-kriminal/83164-pelapor-sakit-sidang-piring-kopi-ditunda), http://radarlampung.co.id/read/bandarlampung/hukum-a-kriminal/83598-dari-perkara-tipiring-pedagang-pasar-pasirgintung, http://www.duajurai.com/2015/05/dituduh-mencuri-tatakan-gelas-sarniti-pedagang-kopi-di-pasar-pasir-gintung-bandar-lampung-dibela-10-pengacara/.
Kronologis Kasus
Peristiwa “mencuri” yang didakwakan kepada Nenek Sarniti ini sesungguhnya terjadi sejak Juni 2014, tepatnya 20 Juni di Pasar Pasirgintung Bandarlampung. Ceritanya berawal ketika Nenek Sarniti pada pukul 11.00 WIB mendapat pesananan kopi dari pelanggan yang merupakan karyawan toko buah-buahan. Singkat cerita, pada sore harinya, pukul 17.00 WIB, Nenek Sarniti pun mengumpulkan kembali piring dan gelas yang telah digunakan. Tanpa disadari, piring dari penjual kopi yang lain ikut pula dikumpulkan. Karena merasa piringnya ikut pula dikumpulkan oleh Nenek Sarniti, penjual kopi yang lain di pasar Pasirgintung tersebut, yang merupakan bertetangga berjualan bernama Nenek Marlis Tandjung, 50 tahun, menuduh Nenek Sarniti telah mencuri piringnya, dan melabrak Nenek Sarniti sebagai “dasar maling! Piring saya kamu curi”.
Karena merasa “bersalah” Nenek Sarniti pun meminta maaf, tapi hal itu tidak mengurangi kemarahan Nenek Marlis Tandjung. Nenek Marlis Tandjung tetap marah dan terus mencaci maki Nenek Sarniti, sehingga menimbulkan keributan antara keduanya. Terjadilah perkelahian, di mana Nenek Marlis Tandjung mencakar Nenek Sarniti. Atas perlakuan Nenek Marlis Tandjung ini maka kemudian Nenek Sarniti melaporkan Nenek Marlis Tandjung ke Polsek Tangjungkarang Barat dengan tuduhan penganiayaan. Dari laporan Nenek Sarniti ini membuat Nenek Marlis Tandjung divonis satu bulan penjara.
Merasa “dikhianati” oleh Nenek Sarniti (karena sebelumnya Nenek Sarniti adalah karyawan) dan memendam rasa sakit hati, tak tinggal diam, di luar pengetahuan Nenek Sarniti, Nenek Marlis Tandjung juga membuat laporan polisi mengenai pencurian piring yang dilakukan oleh Nenek Sarniti. Atas laporan Nenek Marlis Tandjung ini, selang satu tahun setelah peristiwa salah ambil piring tatakan gelas, Nenek Sarniti pun sekarang menjalani proses peradilan di PN Kelas IA Tanjungkarang Barat Lampung.
Meneropong Potret Penegakkan Hukum di Negeri ini
Dari peristiwa lapor melapor yang berlanjut pada proses persidangan di pengadilan memperlihatkan kembali wajah asli penegakkan hukum di negeri ini. Para penegak hukum ibarat “robot” yang hanya menjalankan “instruksi” undang-undang tanpa memprtimbangkan sisi kemanusian dari sebuah kasus. Artinya, dari sisi kasus yang sangat sepele alias sederhana, hanya masalah ketidaksengajaan mengambil piring yang bukan miliknya, sehingga menimbulkan kesalah-mengertian, harusnya diusahakan sedapat mungkin untuk diselesaikan secara musyawarah. Apapun keinginan dari para pihak, terlapor maupun yang melapor, penegak hukum harus dapat menjalankan fungsi mediasi, mengajak keduanya bermusyawarah mencari jalan keluar untuk berdamai agar masalahnya tidak berlanjut ke meja hijau. Terlepas dari ada kasus pidana, penganiayaan maupun pencurian, hendaknya para penegak hukum, baik penyidik (polisi), jaksa (penuntut umum), maupun hakim di pengadilan tak bosan-bosan dan tak harus “pake” menyerah untuk mengajak para pihak duduk bersama bermusyawarah dan berdamai. Penegak hukum hendaknya tak kehilangan akal untuk terus mencoba melakukan mediasi secara konstruktif dan produktif setelah mengetahui duduk persoalan sesungguhnya, bahkan bila perlu melibatkan orang-orang terdekat para pihak yang disegani dan dihormati, untuk memberikan masukan dan pandangan (apalagi keduanya sebelumnya bekerjasama), serta membuka ruang untuk berbicara dari hati ke hati, sehingga dapat mencegah kasus berlanjut.
Dengan demikian, upaya pidana adalah usaha terakhir yang bisa ditempuh, untuk memberi efek jera bagi yang melanggar hukum, setelah semua alternatif ditempuh untuk menyelesaikan sebuah kasus yang dari sisi nilai (harga sebuah barang) tidaklah seberapa. Jangan sampai hanya karena uang seribu dua ribu dapat memutus tali persaudaraan dan silaturahmi, sebagai sesuatu yang esensial dalam pergaulan dan interaksi sosial antarsesama. Harmonisasi sosial hanya dapat terwujud bila semua individu yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial tidak selalu mengukur dan menilai dari sisi kerugian finansial. Kerugian finansial masih dapat diganti, tapi bila kerugian itu sudah mencapai pada tataran sosial, maka akan membutuhkan biaya sosial (social cost) yang lebih besar untuk perbaikan, karena tidak hanya semata masalah uang seribu dua ribu semata.
Sayangnya upaya ini rupanya “luput” dari inisiatif para penegak hukum yang menangani kasus “piring tatakan gelas” ini. Hal tersebut juga menggambarkan kondisi terkini tentang potret penegakkan hukum oleh para penegak hukum, yang sangat kering dari kreativitas mengurai kasus. Sehingga sampai hari ini, kita masih saja disuguhi lakon melankolis yang menyita air mata kesedihan, karena rupanya hukum hanya berlaku untuk orang-orang tak berdaya, tak berpunya, tak berpangkat, tak berkuasa. Hukum ternyata hanya tajam ke bawah dan majal ke atas. Memprihatinkan, anomali yang tak berujung.
Saatnya Refleksi
Kasus Nenek Rasminah yang dituduh dan didakwa mencuri enam buah piring, kasus Nenek Asyani yang dituduh, didakwa, kemudian divonis lebih dari satu tahun dan denda 500 juta rupiah gegara tujuh potong kayu jati, kasus Nenek Fatimah yang dilaporkan anak dan menantunya karena dituduh merampas lahan, dan kasus kedua nenek ini, Nenek Sarniti dan Nenek Marlis Tandjung, serta kasus sejenis lainnya, seharusnya menjadi pelajaran berharga dan refleksi, yang mestinya tidak perlu terulang lagi. Akan tetapi, ternyata semua kasus yang melibatkan dan menjerat orang-orang kecil, yang tidak memiliki akses politik dan hukum, yang tak memiliki sumber daya (politik, sosial, dan hukum), terus menerus mengusik kesadaran nurani kemanusian yang beradab kita. Di sisi lain, kita juga menyaksikan parade dan arogansi “mengangkangi” hukum oleh para “pemilik modal” (baik politik, sosial, maupun hukum) demi untuk memenuhi syahwat dan ego personal dan sektoral.
Kasus-kasus terakhir yang membuat kegaduhan atmosfir politik dan hukum di negeri ini memberikan contoh faktual tentang perlakuan yang berbeda (diskriminasi) dalam hal penegakkan hukum. Ketika sebuah tindak kejahatan melibatkan pihak yang memiliki sumber daya (ya politik, ya sosial, ya hukum) seperti publik figure misalnya, maka ramai-ramai, baik media (terutama mainstream) maupun kelompok-kelompok kepentingan bersuara lantang berteriak menuntut agar proses hukumnya dihentikan dan tidak berlanjut. Tapi ketika hal itu menimpa rakyat miskin dan papa, media dan kelompok-kelompok kepentingan seakan tiarap karena mungkin berdasarkan “penerawangannya” tidak cukup memberi magnitude mengerek popularitas dan akses bargaining.
Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 09 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H