Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tragis, Abraham Samad (Benar-Benar) Buntung, Budi Gunawan Untung

29 April 2015   18:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:49 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : eN-Te

[caption id="attachment_380835" align="aligncenter" width="259" caption="sumber : www.bijaks.net"][/caption]

Breaking News beberapa TV Swasta Nasional tadi malam (Selasa, 28/04/2015) membuat hati ini benar-benar menjadi masygul. Betapa tindak, Abraham Samad, - yang pada beberapa bulan lalu, sebelum memenuhi ego dan syahwat kuasa yang tak terkendali, menetapkan Komjen (Pol) Budi Gunawan menjadi tersangka kasus gratifikasi di masa-masa injuri time, - masih sangat “gagah”, dengan sangat terpaksa harus menerima kenyataan pahit, ditahan Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Polda Sulselbar). Meskipun kemudian atas solidaritas dan semangat korps, sehingga para pimpinan KPK bersedia menjadikan diri mereka sebagai jaminan untuk menangguhkan penahanan. Beruntunglah, seorang Abraham Samad mempunyai para sahabat dan kolega yang sangat solider dan “dermawan”. Jika tidak, dengan sangat terpaksa, Abraham Samad harus menjalani hari-harinya di dalam hotel prodeo, rumah tahanan, sambil menunggu proses peradilan lebih lanjut atas kasus pemalsuan dokumen yang dituduhkan kepadanya.

Abraham Samad Buntung

Sesaat setelah Abaraham Samad dan Bambang Widjoyanto mengumumkan status tersangka Budi Gunawan dengan senyum kebanggaan di depan para pencari berita (wartawan) sehari sebelum pelaksanaan fit and proper test, - yang diikuti dengan segera testimoni Hasto Kritianto tentang keterlibatan Abraham Samad untuk dapat masuk dalam bursa calon wakil presiden Jokowi, - maka pada saat itu pula feeling penulis mengatakan, tamat sudah karier Abraham Samad. Dan belakangan terbukti, apalagi dengan proses penahahan tadi malam (Selasa, 28/04/2015) oleh Polda Sulselbar, semakin menunjukkan bahwa Abraham Samad sedang berada pada titik nadir (antiklimaks). Aura yang penuh semangat dan berapi-api ketika memberikan pernyataan tentang sebuah kasus tindak pidana korupsi oleh KPK, seakan sudah luruh-redup, tak lagi terpancar dari wajahnya. Ibarat kata, nasi sudah jadi bubur, menyesal kemudian tiada berguna.

Sementara di sisi lain, bagai cerita sinetron Indonesia, yang sangat mudah ditebak alur cerita dan plotnya, maka nasib Abraham Samad sudah dapat disimpulkan sejak dari awal cerita. Penetapan tersangka terhadap Budi Gunawan di masa-masa injuri time mengindikasikan ada hal-hal di balik layar yang tidak diketahui publik sedang “dimainkan”. Ada kesan sedang terjadi pertarungan pengaruh, dan salah satu pihak, yakni KPK ingin melakukan zig-zag dan mencoba menelikung yang lain, yakni Presiden. Bahkan lebih jauh ingin mendegradasi kredibilitas dan berusaha “mempermalukan” Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sayangnya permainan itu, cenderung vulgar, sehingga mudah ditebak lawan. Bagaimana tidak vulgar, bila proses penetapan tersangka itu cenderung subyektif. Apalagi KPK mengetahui Presiden telah mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, dan sudah diajukan pula ke DPR. Pada konteks inilah banyak pihak menilai tidak ada kesantunan komunikasi dan koordinasi dalam interaksi antara lembaga tinggi negara, dalam hal ini KPK dengan lembaga kepresidenan.

Melihat gelagat yang kurang menguntungkan posisi Presiden dan Partai Koalisi Pemerintah, khususnya PDIP, maka pada momentum yang pas pula, seorang Hasto Kritianto, dengan tanpa menunggu lama menyerang balik Abraham Samad. Dalam kondisi yang “gamang” tersebut, Abaraham Samad tidak menyadari sehingga lupa mempersiapkan benteng pertahanan yang jitu dan mumpuni agar dapat menahan serangan dan memberi perlawanan. Sehingga seperti publik tahu dan pahami, Abraham Samad menjadi linglung, dan akhirnya terjerembab dan terdepak dari kursi Ketua KPK,  dan lebih jauh dengan sangat terpaksa, sambil “manoko-noko” (bahasa Bugis/Makassar, artinya : menggerutu) terlempar dari pusat kekuasaan. Yang lebih tragis lagi karena kasus lama – entah benar entah salah (rekayasa) -, Abraham Samad mengalami kemalangan, bernasib buntung, tidak lagi “disegani” oleh para penyidik POLRI, sehingga berusaha menahannya tadi malam.

Budi Gunawan Untung

Berbeda halnya dengan nasib Budi Gunawan, perbedaannya sampai 180 derajat dengan nasib Abraham Samad. Di samping nama baiknya “dipulihkan” oleh keputusan praperadilan hakim tunggal Sarpin Rizaldi, bintang Budi Gunawan malah semakin bersinar. Meskipun tidak mendapat tongkat komando sebagai “penguasa” di Markas Besar (Mabes) POLRI, Wakil Kapolri pun jadilah. Ibarat kata, tak ada akar, rotan pun jadi.

Posisi dan nama baik Budi Gunawan semakin harum semerbak setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penetapan tersangka sebagai salah satu obyek praperadilan (sumber). Maka secara tidak langsung MK menguatkan “ijtihad hukum” Hakim Sarpin Rizaldi, yang telah membuat terobosan hukum dalam menerima praperadilan penetapan tersangka kasus Budi Gunawan. Meski akibat keputusan Hakim Sarpin Rizaldi, publik kemudian mengenal ada istilah Sarpin Effect, yang cenderung berkonotasi negatif dan bermaksud untuk “mengolok-olok”. Dengan keputusan MK tersebut, publik harusnya meminta maaf kepada Hakim Sarpin Rizaldi karena telah dengan sengaja “mendzaliminya”, sekaligus memberikan apresiasi atas keberaniannya melakukan terobosan dan “ijtihad hukum”. Begitu pula dengan Budi Gunawan, perlu pula secara khusus memberikan apresiasi dan menyampaikan terima kasih kepada Hakim Sarpin Rizaldi, mengingat dengan keikhlasannya menjadikan dirinya sebagai “tumbal” dicaci maki, diolok-olok, bahkan didzalimi, demi memulihkan nama baik Budi Gunawan, sehingga Budi Gunawan pun memperoleh “untung”. Dengan demikian, maka Budi Gunawan akan dikenang, memang benar-benar orang berbudi. Maka Budi Gunawan pun bersorak sorai, saya beruntung!

Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 29  April  2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun