Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara BG, BW, dan AS

19 Februari 2015   00:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:55 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : eN-Te

[caption id="attachment_369541" align="aligncenter" width="259" caption="BG, AS, dan BW (Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=IV_cacWk-uM)"][/caption]

Akronim BG, BW, dan AS pada satu bulan terakhir ini telah menyedot perhatian publik (di) Indonesia. Ketiga akronim tersebut, secara langsung ataupun tidak langsung, telah turut serta memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam “memperkeruh” suasana politik nasional.

Akronim BG menunjuk pada Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan, sang calon Kapolri yang diusulkan oleh Presiden dan kemudian melalui prosesi “seremonial” fit and proper test, disetujui secara bulat oleh DPR untuk ditetapkan menjadi Kapolri. Sementara BW menunjuk pada sosok Bambang Widjojanto, seorang yang kenyang malang melintang dalam “dunia persilatan” penegakkan hukum di Indonesia. Sementara yang terakhir, akronim AS menunjuk pada Abraham Samad, sang Ketua KPK, sang pemain lokal, yang “ diimpor” sebagai pendatang baru di belantara “hutan rimba” perpolitikan Indonesia.

Menarik memperhatikan sepak terjang ketiga orang ini dalam hiruk pikuk dan gonjang ganjing yang sedang terjadi antara KPK vs POLRI. Terhadap problema kekisruhan KPK vs POLRI, antara ketiga orang ini memberikan respon yang sungguh sangat kontras.

BG

Perwira tinggi POLRI yang menyandang bintang tiga di pundak dengan pangkat Komjen, merupakan calon tunggal Kapolri yang diusulkan oleh Presiden yang kemudian disahkan oleh DPR melalui prosesi uji kelayakan dan kepatutan. Meski pengusulan namanya kemudian menjadi kontroversi dan memantik polemik, pro dan kontra. Segera setelah namanya diusulkan sebagai calon tunggal Kapolri, kegaduhan pun mulai menyeruak ke permukaan. Atmofsir politik tanah air kembali memperlihatkan riak-riak penolakan. Hal ini disebabkan, Sang Jenderal, ditengarai memiliki harta kekayaan yang melimpah, yang ditampung dalam “rekening gendut”. Konon, menurut para penolak BG, rekening gendut Sang Jenderal,  merupakan tumpukan kekayaan yang berasal dari sumber yang tidak sah (legal), alias ilegal.

Sejak dicalonkan oleh Presiden menggantikan Jenderal Sutarman sebagai Kapolri, BG terlihat jarang tampil di muka publik. Apalagi setelah ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi oleh KPK sehari sebelum dan sesudah ia menjalankan fit and proper test oleh DPR, praktis Sang Jenderal, seperti sengaja “menghilangkan” diri.  Entah apa yang dilakukan Sang Jenderal, tapi dari balik layar, ia dengan lihai “menyutradarai” proses praperadilan yang diwakilkan kepada penasehat hukumnya (PH). Sejak itu, untuk mewakili kepentingannya, maka para PH-lah yang tampil sebagai “juru bicara” Sang Jenderal.

Sampai akhirnya, pada Senin, 16/02/2015, hakim Sarpin Rizaldi (SR) memutuskan untuk menerima sebagian permohonan praperadilan, dan memulihkan nama baik Sang Jenderal, “membatalkan” status tersangka. Meski keputusan hakim SR ini, tidak serta merta memadamkan “api” permusuhan antara KPK vs POLRI. Karena keputusan hakim SR juga rupanya tidak hampa dari kritikan dan malah membuka kontroversi baru.

Setelah mendengar keputusan hakim SR dalam kasus permohonan praperadilan yang diajukannnya dan membatalkan status tersangka, baru Sang Jenderal, BG, keluar dari “persembunyiannya”. Dari “altar” pertapaannya, melalui wawancara by phone dengan media TV (Metro TV dan TV One), beliau kemudian membuka suara dan bicara. Kepada Metro TV dan TV One, Sang Jenderal, menjelaskan bahwa pengajuan permohonan praperadilan, bukan karena ingin mengejar jabatan sebagai Kapolri, tetapi semata-mata karena ingin mencari kebenaran dan keadilan. “Tujuan ajukan praperadilan untuk perjuangkan kebenaran dan keadilan, untuk pulihkan nama baik saya dan institusi POLRI” (Running Text Metro Hari Ini, Metro TV, 16/02/205, pkl. 17.00 WIB).

Melihat cara menyikapi kasus yang sedang membelitnya, lepas dari kontroversi terhadap proses pencalonannya sebagai calon Kapolri dan penetapan tersanga oleh KPK, kita patut mengapresiasi, memberikan jempol, dan mengangkat topi kepada BG. Ketika BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, beliau tidak dengan grasa grusu, menggiring opini dan “menjual” wacana agar publik bersimpati terhadap apa yang sedang dialami.  BG dengan tenang, bahkan berusaha menarik diri dari “panggung” publik, yang menunjukkan BG tidak reaktif emosional merespon “musibah” yang sedang menimpanya. Tidak dengan berapi-api berorasi di depan massa, “rakyat tidak jelas”, memprovokasi, mengagitasi, dengan memanipulasi emosi massa, untuk kepentingan personalnya semata. Bahkan secara elegan menempuh cara-cara yang dijamin oleh konstitusi, melakukan upaya praperadilan untuk menemukan kebenaran dan keadilan, memulihkan nama baik dirinya dan institusi.

BW dan AS

Lain BG, lain pula BW dan AS. Secara sepintas, kedua pimpinan KPK ini, BW dan AS, terlihat sangat reaktif emosional dalam merespon kasus yang menimpa mereka. Bahkan dalam setiap momentum, keduanya berusaha menghipnotis massa dengan memanipulasi emosi mereka. Berbagai jargon dan ungkapan diumbar ke publik dalam rangka untuk menggiring opini publik, bahwa apa yang sedang dialami mereka (dan mungkin juga institusi KPK) adalah rekayasa. Keduanya dengan “memobilisasi” histeria dan eforia massa, berusaha “menjual” wacana kriminalisasi. Bahwa kasus yang sedang dituduhkan kepada mereka adalah upaya kriminalisasi secara sistematis untuk membonsai, bahkan mungkin mengamputasi KPK.

Rupanya mereka berdua, BW dan AS, sebagai pimpinan KPK sangat tahu dan paham betul dengan psikologi massa. Apalagi di sekeliling keduanya berkumpul para kolega-kolega kedua dari pegiat antikorupsi, para pakar hukum, pakar ilmu sosial (sosiolog), dan “tokoh-tokoh” (dalam tanda petik).

Dalam suasana kejiwaan yang sungguh-sungguh antipati terhadap kelompok-kelompok atau orang perorangan yang menurut mereka sengaja melemahkan KPK, mereka seperti ingin “menangguk di air keruh”. Memanfaatkan emosi massa untuk meningkatkan posisi tawar mereka, bahwa kondisi yang sedang dialami keduanya merupakan upaya serangan balik dari kelompok yang tidak ingin pemberantasan korupsi ditegakkan.

Lihatlah bagaimana BW mencoba menarik simpati publik dengan segera hadir di KPK setelah ia “dilepaskan” dari proses pemeriksaannya di Bareskrim POLRI. Bahkan dengan tanpa merasa ragu dan mantap, ia dengan gagah menyatakan bahwa “walaupun kami menghormati proses di sini, tapi saya tetap merasa didzalimi, ada proses rekayasa” (lihat di sini). Dengan mengabaikan sikap apriori dan prasangka, hendaknya BW lebih bijak untuk memberikan pernyataan yang menenangkan, ketimbang mengeluarkan statement yang cenderung bersifat tendensius beraroma opini untuk mencari simpati publik.

Begitu pula setelah itu. Ketika proses praperadilan sedang berjalan di pengadilan, BW kembali tampil di muka publik dan tanpa merasa risih sedikitpun, mengumumkan aksi teror terhadap pimpinan dan seluruh staf KPK. Katanya, aksi teror itu dilakukan melalui telepon dan sms. Bahkan atas teror ini, pimpinan KPK sampai harus membuat surat untuk melaporkan kepada Presiden.

Terhadap aksi BW ini juga mendapat reaksi yang beragam, ada yang pro dan tidak sedikit pula yang kontra. Bahkan aksi tunggal BW ini pun mendapat reaksi negatif dari para mantan pimpinan KPK. Menurut para mantan pimpinan KPK, KPK harusnya bekerja dalam diam, bukan malah berkoar-koar di muka publik hanya untuk sekedar mencari simpati.

Lebih-lebih, KPK memiliki perangkat alat penyadap yang canggih, sehingga seharusnya KPK dengan mudah melacak keberadaan dan nomor telepon orang yang melakukan aksi teror tersebut. Ya, terpaksa publik terus menerus harus menerima kenyataan bahwa sinetronisasi kisruh KPK vs POLRI belum akan berakhir.

Setali tiga uang dengan BW. AS juga berusaha menampik semua tudingan, laporan, bahkan penetapan status tersangka terhadap dirinya, lagi-lagi, dengan penggiringan opini. Ketika AS mendapat “serangan” dari plt. Sekjen PDIP, Hasto Kristianto (HK), kembali, lagi-lagi, AS bersikap defensif. Alih-alih, berusaha melakukan upaya balik dengan menuntut HK secara hukum, ia malah menampik semua itu sebagai rekayasa dan fitnah.

Lain lagi, ketika menghadapi situasi penangkapan BW oleh Bareskrim POLRI. Siang hari setelah penangkapan BW, AS sebagai Ketua KPK dipanggil Presiden ke Istana Bogor bersama Wakapolri, Komjen Badrodin Haiti (BH). Presiden meminta kepada kedua pimpnan institusi penegak hukum ini untuk melakukan upaya meredakan suasana ketegangan dan menjaga hubungan antara KPK dan POLRI.

Tapi rupanya, himbauan Presiden ini, kurang mendapat respon yang cukup baik dari Sang Ketua KPK, AS. Hal itu dapat dilihat ketika AS melakukan “orasi agitatif dan provokatif” (lihat di sini ) di depan massa di gedung KPK, pada malam setelah penangkapan BW. Orasi AS di depan massa di gedung KPK inilah yang menyebabkan seorang Menkopolhukham, Tedjo Edy Purdiyatno (TEP) harus mengeluarkan pernyataan, yang  belakangan membuat sang menteri harus di-bully habis-habisan di media sosial. Menurut Menteri TEP, pernyataan pimpinan KPK, dalam hal ini, AS, mengindikasikan bahwa pimpinan KPK tidak mengindahkan himbauan Presiden. Dalam kegeraman, Menteri TEP, kemudian mengeluarkan pernyatan, “kekanak-kanakan” dan “rakyat tak jelas”.

Sami mawon dengan sikap sebelumnya dalam menghadapi “serangan” HK. Dalam kasus penyebaran foto mesum, juga AS, bersikap defensif. Masih dalam konteks yang sama, kembali AS hanya menampik semua itu sebagai fitnah, lebih jauh sebagai bentuk upaya untuk mendegradasi moral pimpinnan, yang pada akhirnya bertujuan untuk melemahkan KPK. Rupanya, AS, tidak “menyadari”  ada aksioma dalam hubungan sosial, bahwa ketika anda hanya mampu bersikap defensif dan hanya menampik semua tudingan dan serangan melalui penggiringan opini dan perang wacana, sebagai fitnah semata, itu hanya menunjukkan ketidakmampuan dalam menolak sebuah fakta kebenaran.

Begitu pula ketika menghadapi penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen. AS, kembali bersikap defensif. Kelihatannya, AS, sudah tidak memiliki energi yang cukup untuk menolak semua tudingan dan serangan terhadap dirinya. AS hanya mampu mengadakan konprensi pers untuk menjelaskan dan mengklarifikasi semua tuduhan. Padahal, sebagai seorang pimpinan KPK, beliau harusnya “sadar” bahwa penjelasan melalui konprensi pers tidak cukup manjur untuk “menyembuhkan” semua stigma buruk yang sedang menimpanya. Apalagi, AS hanya bisa “mendramatisasi” kasusnya dan kasus BW, dan mungkin kasus dua pimpinan KPK lainnya dalam sebuah frasa pendek, “dikriminalisasi”.

Harusnya sebagai pendekar hukum yang sudah malang melintang dalam rimba persilatan penegakkan hukum, AS harus dapat menempuh jalur-jalur formal yang dimungkinkan oleh undang-undang untuk berusaha memulihkan nama baiknya, berikut nama institusi KPK. Bukan terus menerus menggiring opini dan perang wacana melalui media. Belajarlah pada BG, dalam diam berusaha menemukan kebenaran dan keadilan, meski tidak semua harus setuju dan mencibir. Karena cara yang ditempuh BG, lepas dari kontroversi, lebih elegan dan konstitusional dibandingkan harus berkoar-koar di media, yang belum tentu hal itu efektif untuk memulihkan citra diri dan keluarga. Apapun resikonya, harus ditempuh cara-cara konstitusional demi menegakkan kebenaran dan keadilan, meski harus melalui jalan berkelok dan berliku.

Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 18  Februari  2015, Pkl. 18.23 Wita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun