Mohon tunggu...
Emmeilia Tobing
Emmeilia Tobing Mohon Tunggu... Pegawai BUMN -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenalan Baru di Pasar Palmerah

23 April 2016   20:45 Diperbarui: 23 April 2016   20:52 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin saya meninggalkan sepatu highheels dan memilih menggunakan sneakers. Saya juga memilih untuk menggulung rambut daripada menggerainya. Saya sangat bersemangat melangkahkan kaki karena yakin bahwa di hari itu akan mendapat pengalaman baru.

[caption caption="Saya dan sneaker"]
[/caption]Setelah selama tiga hari mendapatkan berbagai materi terkait pemanfaatan media digital, kemarin waktunya terjun ke lapangan. Pasar Palmerah adalah tujuan saya dan beberapa teman yang bergabung dalam satu tim. Kenapa pasar? Karena di tempat ramai itu kami merasa akan banyak sekali hal yang bisa kami gali.

Benar saja, bahkan karena terlalu ramai pikiran saya menjadi bercabang dan kebingungan mengambil tema yang saya inginkan. namun saya memutuskan untuk mengeksplor sebanyak-banyaknya. Dalam penugasan ini, kami diwajibkan untuk memotret dan membuat video. Wawancara adalah hal yang wajib dilakukan untuk melengkapi informasi. Saya digiring untuk berkenalan dengan beberapa orang yang awalnya memandang saya sinis.

[caption caption="para kenalan baru saya di Pasar Palmerah"]

[/caption]Ibu Neni, pemilik Mayani Citra Salon seperti yang saya tulis di sini, awalnya memandangi saya dari atas ke bawah berulang kali ketika saya memasuki salonnya. Saat saya sampaikan bahwa saya ingin mengobrol dengannya, dia malah melempar saya ke salah seorang stafnya. Tetapi ketika saya menyampaikan guyonan kecil, beliau dengan terbuka bercerita tentang dunia kecantikan yang digelutinya.

Salah seorang teman kelompok saya sangat asyik memotret suatu kegiatan, tanpa disadarinya seorang ibu muda bertanya-tanya tentang apa yang dia lakukan. "Manga bakodak-kodak urang tu (Kenapa orang itu memotret sana sini-red)?" tanyanya kepada suaminya. Saya yang selama sembilan tahun ini tinggal di Padang secara spontan menjawab,"Sadang baraja inyo tu, Ni (Dia sedang belajar, Ni-red)." Uni (sebutan kakak untuk perempuan Minang-red) langsung tersenyum kepada saya. Itulah awal perkenalan saya dengan Uni yang sehari-hari berjualan Soto Padang di lantai II pasar.

Seorang pemilik toko emas bernama Ali malah mengaku malu dan kurang percaya diri ketika saya meminta izin untuk mewawancara. Memang terlihat nyata, sepanjang wawancara Ali selalu menunduk. Kalaupun dia menatap, hanya bertahan paling lama dua detik. Ali adalah salah seorang pelanggan Soto Padang Uni dan kami bercerita tentang itu selama sepuluh menit.

Seorang pemuda mengerutkan keningnya dan melihat dengan ujung matanya saat melihat saya memotret lokasi parkir pasar. Waktu saya mengajaknya membicarakan topik kecil di kala istirahatnya, pemuda tersebut hanya menjawab dengan satu dua patah kata, itu pun tanpa melihat saya. Pemuda itu bernama Triyono, salah seorang juru parkir pasar yang resmi. Dia baru tertarik berbicara ketika saya menanyakan beda lahan parkir di lokasi tempatnya bekerja dengan di sekitaran gerbang pasar. Dia lantas menceritakan jumlah setoran, kerasnya kehidupan di Jakarta, sepinya pengunjung di siang hari, dan cerita-cerita lain yang mengalir dengan sesekali terpotong bila ada motor yang ke luar atau masuk parkiran.

Seusai wawancara demi wawancara yang saya lakukan dan kemudian kembali ke Markas Kompasiana, saya merenung. Bila jumlah hubungan yang dimiliki menunjukkan kekayaan seseorang, profesi sebagai seorang jurnalis bisa jadi adalah profesi yang membuat kaya. Bagaimana tidak bila hanya dalam waktu dua jam saya berada di pasar, saya sudah berkenalan bahkan berbincang-bincang dengan banyak orang. Yah, walaupun ada yang tidak sempat saya ajak berkenalan karena pemilik salon di Lantai II sebagaimana di ujung cerita ini buru-buru mengusir saya. Saya juga terlanjur seram melihat beberapa temannya datang mendekat, jadi mengambil langkah seribu saya anggap adalah cara terjitu saat itu.

Terima kasih Kompasiana, dan terima kasih Pasar Palmerah karena di dalammu ada banyak cerita.

[caption caption="Pasar Palmerah, Jakarta Barat"]

[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun