Pernah kenal orang yang suka berprasangka buruk? Waspada itu perlu. Tapi menebar prasangka itu bukan lagi bentuk waspada. Teman nya si A melakukan ini, dia berpikir, itu pasti karena ini. Teman nya si B melakukan itu, pasti biar begitu. Teman nya si C sedang dekat dengan bos/teman dia yang lain, itu pasti biar begini. Temannya si D pasang foto profil baru, atau, foto jalan-jalan dibilang pamer, anehnya, dia lupa kalo dia ngelakonin upload foto-foto juga di sosmed.Â
Dan, sementara kamu, menjadi pendengar keriuhan pikiran dan prasangka dia terhadap aksi teman-teman nya. Yang juga terkadang, keriuhan pikiran itu tidak segan-segan dia tuangkan di status fb dengan bahasa tersirat yang kemudian mengundang tanda tanya dari teman-teman nya sejagad.Â
Pernah ketemu orang tipe seperti ini?
Saya pernah. Awal-awal nya, ketika dia ngomentarin teman-teman nya (yang juga banyakan teman-teman saya juga), begini, begitu... ini, itu. Saya diam, karena mikir. Lalu menyimpan pertanyaan di dalam hati, apakah benar begitu?Â
Pertanyaan ini, biasanya memang akan terbukti seiring waktu. Dan, yang pasti, orang-orang yang saya cukup kenal, tentu saya tidak segan mendebat ketika dilontarkan hal sejenis, setidaknya, memberi tahu apa yang saya ketahui tentang orang tersebut, perspektif saya bagaimana terserah diterima atau tidak.Â
Saya tidak klaim kalo saya selalu berpikir lurus. Puji Tuhan, otak saya tidak terlalu banyak rongga yang kosong untuk menduga-duga. Pikiran saya cukup sibuk dengan hal-hal yang lain. Karena itu, mengenal orang-orang yang seperti ini, menjadi pelajaran tersendiri buat saya. Berdiri dari perspektif mereka, secara tidak terduga, memang ketemu banyak hal yang jauh dari pemikiran saya. Itu yang membuat saya menjadi banyak belajar tentang kharakter orang.Â
Setelah sebelas tahun terakhir saya di Jerman, saya tidak menampik telah membawa banyak perubahan dalam diri saya. Puji Tuhan, saya memiliki kesempatan berada di lingkungan akademik, dimana saya bisa berkenalaan dengan orang-orang berkualitas dari banyak penjuru dunia, yang setiap saat, ada saja teman baru dari rotasi atau kunjungan penelitian.Â
Dan dari kharakter mereka, saya belajar, betapa cara berpikir orang itu tergantung fokus. Jika kita fokus meneliti kehidupan orang, akan diikuti dengan cara kita memberi label dengan kehidupan orang: tinggi hati, sok tau, pamer, ingin begini, ingin begitu. Kalau pikiran kita fokus untuk mengerjakan masa depan dan kebahagiaan kita, orientasi kita, juga akan berbeda. Cara kita menjalani hidup juga akan berbeda.
Ini yang membuat saya selalu hadir ketika ada pertemuan dengan young researchers atau ketika ada undangan pesta anak-anak Ph.D. Karena apa? Jangan berpikir itu pesta, yang berujung hura-hura, tidak. Di sana, kita akan tetap dapat pembicaraan berkualiatas. Adalah "Big No" untuk membicarakan orang. Ya, sejauh ini, saya menemukan pembicaaraan bahkan di luar akademik pun, tidak pernah mengarah pada pembicaraan meneliti kehidupan orang. Dan saya merasa, ini cocok dengan prinsip saya.Â
Orang Jerman, secara umum, atau saya bisa katakan orang-orang lingkungan yang saya kenal, pada umumnya gigih dan sangat disiplin masalah waktu. Jangan pernah telat apalagi batalin janji sama mereka atau baru memberi kabar setelah ditanya, gimana atau ke mana? Setelah nggak muncul-muncul saat janjian atau deadline nggak ada kabar. Tidak perlu mikir lagi, tipe ini dicoret dari daftar. Hal lain yang saya senang, orang Jerman nggak sibuk ngurusin kehidupan personal seseorang. Karena orang dewasa, dianggap bertanggungjawab dengan diri nya, dengan segala konsekwensinya. Orangtuanya saja nggak ngurusin, apalagi kamu?Â
Jadi, apa parameter kita mengukur aktivitas atau tujuan orang lain karena ini, karena itu, biar begini, biar begitu, iri hati, pamer, cari muka dan lain sebagainya itu? Tau tidak, pikiranmu lah parameternya. Ketika kamu menganggap karena ini, berarti alasan itu yang ada di pikiranmu ketika/untuk melakukan hal yang sama. Ketika mengganggap orang pamer, berarti, alasanmu melakukan seperti itu adalah pamer. Sesimpel itu.
Mari malu sama diri sendiri ketika mulai menjadi radar buat menyaring aktivitas orang lain. Kita bukan terbentuk dari zat maha sempurna, jadi, memang kurang elok hanya menangkap ketidaksempurnaan kehidupan orang. Berbicara seperlunya. Bertindak seperlunya. Karena, dimana-mana, orang yang rendah hati akan disenangi. Rendah hati itu punya pintu bagi semua orang: orang kaya, orang kurang berada, orang pintar, orang biasa, orang yang bagaimana saja bisa punya tempat di hatinya untuk berbuat baik dan kebaikan. Enakan disebut orang kaya? atau orang nya rendah hati? Terserah. Kalo bisa kombinasi dua-duanya, sangat menginspirasi. Pastinya.Â
Tidak bisa dipungkiri, menjadi warga di Sosmed ini membawa pengaruh banyak bagi penggunanya, negatif dan positif nya berimbang. Sadar nggak sadar, layar komputer kita menjadi "screen" buat mata hati dan pikiran. Berbicara seperlunya. Bertindak seperlunya. Gitu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H