[caption caption="My Diary"][/caption]My Diary,
Boleh aku bertanya, "seberapa sayangmu pada Ibu?"
"Kalau aku, tak terhingga!"
Guru matematika bilang "tak terhingga" itu adalah angka yang tidak bisa diurai. Begitu juga rasa sayang dan hormatku pada Ibu. Aku mengagumi sosoknya yang cerdas dan tegas, pun mengagumi kerja keras dan tertawanya yang lepas. Rasanya, aku terus kekurangan waktu ketika sudah mulai ngobrol-ngobol dengan Ibu. Kenyamanan itu yang membuatku selalu mengekor sama mereka, bahkan ketika Bapak pensiun lalu bertanya mau di Jakarta atau ikut pulang kampung. Aku memilih ikut mereka."Udara di kampung lebih sejuk dan juga banyak sanak saudara." begitu kata Bapak meyakinkanku dulu.
Tidak lama juga kami di kampung. Perjalanan waktu menggeser banyak prioritas. Lulus SMA, mau tidak mau aku ke Jakarta melanjutkan kuliah. Nyatanya, mereka juga nggak betah lagi di kampung. "Anak dan pahompu (cucu) semua di Jakarta. Sudahlah!", begitu kata mereka. Rasa geli dan senang berbaur menjadi satu. "Lah, kemarin itu siapa yang mau?"
Aku belajar dari cara Ibu yang dalam banyak hal selalu menghormati keputusan Bapak, bahwa kebahagiaan itu lentur mengikuti pergerakan hati. Kata sepakat yang tulus dari pasangan, memberikan dampak yang luar biasa dalam sebuah perjalanan dan pekerjaan.
Dear Diary,
Ibu mendidik kami berduabelas dengan kasih sayang. Jangan kaget! Iya, kami duabelas bersaudara dan aku anak bungsu. Kamu tau, kita nggak pernah dimarahi. Nggak ada yang ingat pernah dimarahi. Bahkan kakak-kakak di atas ku menjadikan ini sebagai kebiasaan yang patut diteruskan ke anak-anaknya. "Masa kita nggak pernah dimarahi, lalu sekarang tinggal marah-marah sama anak?" begitu kata si kakak. Tegas, tidak berarti sembarangan memarahi.
Satu hal yang aku pikirkan dulu, bagaimana cara orangtuaku mengendalikan 12 kepala serta mengaturnya? Terutama abang-abangku yang cukup nakal ketika masa akil baliq nya?
Aku tidak bilang ini trik, hanya sebuah pemikiran sederhana yang kudapat seiring perjalananan waktu. Bahwa ketika Ibu dan Bapak membimbing kami dalam fondasi agama yang cukup kuat, satu bagian dari PR mereka selesai. Selanjutnya, kami dikontrol oleh iman yang kami percayai. Siapa juga yang tidak takut dengar neraka? Istilahnya begitu.
Iya, karena bagaimanapun juga kami tidak pernah bertemu satu rumah lebih dari lima anak dengan alasan merantau karena pilihan tempat sekolah. Sementara orangtua kami hanya dua orang. Dan satu lagi yang kuperhatikan dari Ibu, sangat rajin berdoa dan sungguh-sungguh dalam setiap urusan keagamaan. Tidak salah orang bilang bahwa tiang-tiang penyanggah rumahtangga itu adalah Ibu. Doa Ibu. Berbahagialah kami karena Tuhan memberikan kami seorang Ibu yang luar biasa.
Aku belajar dari Ibu, betapa pentingnya kelembutan hati saat berinteraksi dengan manusia, dan terlebih dengan Tuhan.
Dear Diary,
Dulu, masalah terbesar saya adalah makan. Pemales tingkat dewa. Sampai akhirnya sakit types beberapa kali. Dalam hal urusan makan ini, kembali lagi saya melihat Ibu. Banyak hal yang perlu kupelajari dari Ibu ketika kami kecil. Ibu sangat memperhatikan gizi buat anak-anaknya. Mulai dari susu kacang hijau, nasi beras merah, sayuran hijau, ikan salmon yang katanya bermanfaat ganda termasuk untuk perkembangan otak, menguatkan sendi dan tulang dlsbg itu. Semua itu diatur dengan baik dan juga tidak bosan diceritakan ke kita manfaatnya biar kita mau makan. Tapi tau tidak? Ibu hanya suka makan ikan air tawar. Selain itu katanya baunya amis. Terus, Ibu juga hanya suka makanan yang direbus. Haha.
"Koq bisa?"
Jangan bilang Ibu otoriter. Kalau Ibu mengikuti keinginan hati semata. Ikan laut tidak akan pernah mampir di dapur kami. Tapi karena Ibu tau itu bagus buat kesehatan, Ibu mengalah.
Iya, dan dalam banyak hal, Ibu selalu memilih bagian yang mengalah, ketika itu sudah menyangkut keluarga. Termasuk ketika banyak anak-anaknya memilih menikah dengan suku dan bangsa lain. Lalu, separuh dari kami anaknya memilih untuk tidak bersamanya di tanah air, Ibu tidak pernah menuntut atau bahkan sekedar memberatkan dengan kata-kata. Aku bakal bisa seperti itu tidak, yah?
Aku belajar lagi dari Ibu, bahwa dalam banyak hal, kita mendapati kebahagiaan kita saat mengerjakan dengan tulus dan sungguh-sungguh kebahagiaan orang-orang yang kita cintai.
Dear Diary,
Ibu lagi sakit. Sedih rasanya, tapi kami semua harus kuat untuk bisa menyemangati Ibu. Kami masih sangat berharap kesehatan yang lebih baik.
"Doakan ya!"
Iya, kami memutuskan jalan ini setelah empat tahun terakhir masih ditangani dengan pengobatan alternatif. Obat pengencer darah, prorenal, minum tambahan herbal dlsbg. Beruntung punya kakak-kakak dan ponakan-ponakan yang berkecimpung dalam bidang kesehatan, jadi rasanya lebih tenang walau berjauhan. Sungguh! Bahkan ketika dengar, minum air putih pun sudah dibatasi sehari 1000 cc saja, sekali makan nasi 30 gram ditemani protein nabati, hewani dan sayur, terus susu 2 kali sehari pagi dan sore, perasaan ini campur aduk tidak karuan selama empat tahun terakhir ini.
Iya, dan empat tahun ini Ibu juga membuktikan bahwa beliau adalah Ibu yang kuat dan pejuang. Semua dijalanin dengan telaten dan tidak banyak menuntut. Semua keadaan diterima. Ya, ada fase yang sudah berubah dalam tubuhnya, namun semangat dan rasa syukurnya tidak pernah berubah.
Aku belajar lagi dari Ibu, bahwa penerimaan hidup adalah kunci kebahagiaan. Titip salam rindu buat Ibu, ya...
***
Denina
Nomor: 126
(Tulisannya dibuat setelah dicolek admin, makasih ya Min... hampir kelupaan)
Dan tulisan teman-teman yang lainnya bisa dilihat disini.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H