Mohon tunggu...
Denny Boos
Denny Boos Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Perempuan asal Tobasa. Menyukai hal-hal sederhana. Senang jalan-jalan, photography, sepedaan, trekking, koleksi kartu pos UNESCO. Yoga Iyengar. Teknik Sipil dan Arsitektur. Senang berdiskusi tentang bangunan tahan gempa. Sekarang ini sedang ikut proyek Terowongan. Tinggal di Berlin.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[#LombahumorPK] Biar Nggak Dapat Nol Lagi

12 Februari 2016   01:14 Diperbarui: 16 Februari 2016   22:40 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau jaman sekarang kan, 2 tahun saja anak sudah dimasukkan orangtua ke grup kelompok bermain. Di jaman saya, pra-sekolah adanya masih TK saja. Jadi, waktu kita bermain masih lebih lama. Dan nyatanya, saya memang tidak pernah masuk TK.

ooOoo

Pagi itu, rasanya lebih dingin dari biasa. Entah itu karena pertama sekali saya akan memulai sekolah dasar (SD) atau karena memang pagi itu cukup dingin. Namun karena saya sudah mempersiapkan diri untuk sekolah sejak sebulan terakhir,  tetap pagi itu rasanya istimewa.

"Boru (anak perempuan dalam Batak), mau diantar? Bapak mengarahkan pandangan ke saya saat sarapan pagi itu.

"Tidak usah, Pak! Kan, kepala sekolahnya Bapak ... itu, nanti guru kelas satu Ibu ... itu (saya menyebut nama)." ucap saya dengan mantap dan yakin.

Saya merasa tidak akan ada kesulitan, karena mereka semua kenal bapak dan tentunya saya kenal juga.

Sebulan berlalu, pelajaran di kelas sudah mulai serius. Saya yang tidak memiliki dasar membaca dan menulis, masih cuek dan nggak mau tau. Sampai hari itu bu guru bilang, "ambil kertas nya satu lembar, buku semua disimpan. Kita dikte!"

"Mampus! Saya bisa apa?"

Saya mulai keringat dingin. Saya kuatir nggak karuan.

ooOoo

Pulang sekolah, saya berjalan gontai sambil merenungi nasib. Nilai "O" ditulis sangat besar persis di tengah-tengah kertas dikte itu cukup mewakili wajah sendu siang itu. Saya masih terus berpikir, nanti malam saya bilang apa sama Bapak kalau ditanya ngapain di sekolah? Keluarga kami memang rutin mengadakan doa malam sehabis kami makan malam, dan, di saat yang sama akan dilanjutkan oleh Bapak-mamak nanya-nanya tentang kegiatan seharian.

"Ah! Saya buang saja kertasnya!" mulai timbul pikiran licik. "Tapi tidak juga, nanti mereka bisa ketemu."

Saya melangkah menuju dapur, setelah memastikan tidak ada orang, saya mengambil korek api. Sambil beringsut lewat pintu samping, saya memantapkan diri untuk membakar kertas itu di bawah pohon alpukat. (hahaha)

"Selamat!" pikir saya.

Sejak hari itu, saya pun bertekat harus jadi juara. Saya mulai ngotot diajarin baca sama Mamak (berhitung saya tidak masalah).

"A-ba ... Aba"

"A-bu ... Abu"

Begitu terus saya teriak belajar ngeja, sambil terus-terusan ngintil Mamak saat masak atau saat beberes (ibu itu paling sabar ya).

Seminggu pertama, saya ke sekolah masih modal menghafal gambar. Buku bacaan "Ini Budi, ini bapak Budi" kan ngapalin gambarnya nggak gitu susah. Teks nya juga nggak ribet.

Hari Minggu itu, setelah ibadah. Niat saya mau nyamperin Mamak di depan gereja, seperti biasa. Entah kenapa, koq nggak keluar-keluar padahal kan orang sudah pada pulang. Lalu kuintip dari pintu, kulihat mamak sedang ngobrol sama Ibu guru. "Habis lah saya" wajah saya entah sudah berwarna pelangi kali saat itu, saking saya sudah tidak tau lagi rasa apa yang tepat menggambarkannya.

Saya pulang, tanpa menunggu Mamak lagi. Sembari berpikir terus, Mamak akan bilang apa nanti malam.

Benar saja, saat ibadah selesai, Mamak tanya perihal angka "O" itu. Setelah saya jelaskan, yang ada mereka ketawa.

"Kesal nggak sih?" Nilai "0" itu kan permasalah besar buat saya, gitu.

ooOoo

Memang cerita ini tidak kenthir, tapi saya menggarisbawahi pengalaman ini sebagai sesuatu hal yang penting. Alias, saya menggarisbawahinya pengalaman kenthir, juga.

Mamak dan Bapak tidak pernah terdengar sekalipun marah di depan kami (kita ber-12 mengaku itu), tapi, nyatanya saya tetap mencoba menipu mereka karena saya merasa kalah (baca=dapat nilai nol). Jadi, tidak selamanya perilaku anak  itu mewakili didikan orangtua dari rumah, ini contohnya, orangtua saya tidak pernah ngajarin curang. Cobalah, masih kecil gitu, udah mau tipu-tipu. Elus perut, ntar kalo dapat anak model kaya gini, ngerti dah saya. Haha.

Tapi saya yakin, pendekatan dan pengawasan orangtua adalah kunci terbesar dari kesuksesan membentuk kepribadian anak, sekaligus kunci kesuksesan si anak berjuang di luar sana.

 

Untuk semua daptar cerita kenthir lainnya silahkan lihat di mari.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun