[caption id="attachment_182948" align="aligncenter" width="300" caption="Elbe di Siang Hari Ini"][/caption]
Setelah mencari tau perkiraan cuaca hari ini, sejenak saya membayangkan, indahnya pemandangan hijau di luar sana atau bahkan sekedar jalan santai di pusat kota. Ya. Hari ini suhu mencapai 29 derajat Celcius. Biasanya kalau cuaca bagus apalagi diakhir pekan, maka, tempat-tempat wisata atau bahkan jalanan di pusat kota dipastikan sesak dipenuhi oleh orang-orang. Dengan pemikiran itu, akhirnya saya memutuskan untuk jalan-jalan ke "Flohmarkt" (Pasar Loak) di tepian sungan Elbe, Dresden.
Pasar loak. Mungkin ini bukan sesuatu hal yang biasa buat kita yang di Indonesia. Bahkan untuk memakai barang bekas saudara sendiri, yang jelas-jelas kita ketahui asal-usulnya, itu tidak sering terjadi. Apalagi dengan barang-barang dari pasar loak?
Sejak di Jerman, baru sekali saya berkunjung kesana. Saya merasa beruntung karena terlambat mengetahuinya. Bagaimana tidak? Hari ini saya memahami dan kemudian harus mengakui betapa menyenangkan bahkan untuk sekedar melihat barang-barang yang dijual disana. Harga yang relatif murah dibanding toko, banyak jenisnya, apalagi kalau ada niat koleksi barang-barang kuno tertentu.
[caption id="attachment_182950" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana Pasar Loak. Buka setiap hari Sabtu, dan hari Minggu (minggu ketiga setiap bulannya)."]
Pemikiran tentang barang-barang yang dibeli dari pasar loak, seperti yang selama ini masih tersangkut pada pemikiran saya, rupanya tidaklah demikian dengan sebagian besar masyarakat Jerman sendiri. Dari muda sampai tua, wanita dan pria, kita bisa melihat kalau mereka membaur dalam keramaian dan kerumunan tenda-tenda yang menggelar jualan siang tadi. Mereka menikmati saja mencari barang dari satu tenda ke tenda lain, baik itu peralatan rumah tangga, sepeda bekas, mencari buku-buku bekas atau bahkan sekedar melengkapi koleksi.
[caption id="attachment_182967" align="aligncenter" width="300" caption="koleksi pin, koin, perangko, post card dan buku"]
Pasar loak Dresden hari ini terlihat cukup ramai, baik pengunjung maupun yang berjualan, tidak seperti pertama kali saya kunjungi di awal musim gugur beberapa tahun lalu. Jenis barang-barang yang dijualpun beragam, ada yang menjual barang-barang tua semisal perangko, kartu pos, buku, koin, setrikaan atau kamera. Lalu barang second hand, seperti peralatan dapur, baju, sepatu, monitor komputer atau sepeda. Juga, barang-barang kelebihan produksi, dalam arti, masih baru dan bagus, namun harganya tetap dibawah dari harga toko.
[caption id="attachment_182968" align="aligncenter" width="300" caption="Sepeda yang second hand"]
Harganya bervariasi, dan umumnya bisa ditawar.
[caption id="attachment_182969" align="aligncenter" width="300" caption="Gitar pun ada."]
Cukup bagus gitarnya, bukan? Kalau saja saya tau ini dari dulu, saya tidak akan membeli gitar di toko di awal kedatangan saya ke Jerman (harganya cukup beda jauh).
[caption id="attachment_182972" align="aligncenter" width="300" caption="Barang-barang bermacam jenis, dijual dalam kardus"]
Sebagian barang yang dijual di pasar loak ini, ada yang sudah diberi label harganya. Namun, sebagian lagi ada yang mesti kita tanyakan terlebih dahulu. Dalam arti, masih ada peluang untuk menawar. Seperti barang-barang pada gambar diatas. Dimana, di kertas warna kuning tersebut ditulis, harganya 50 cent (6 ribu) setiap item. Tapi jangan anda kira bahwa barang-barang tersebut tidak layak pakai, banyak yang bagus menurut saya.
[caption id="attachment_182974" align="aligncenter" width="300" caption="harga ditempel di setiap barang"]
Atau mungkin barang-barang yang lebih bagus dan tentunya harganya lebih mahal, seperti gambar di atas.
[caption id="attachment_182975" align="aligncenter" width="300" caption="Harga setiap buku 1 euro (12 ribu). 10 buku harganya 7 euro (84 ribu)"]
Gambar di atas sedikit mengundang pertanyaan buatku pada awalnya, kemudian saya beranikan diri sedikit bertanya. Si bapak bilang, kalau bendera (merah-putih-hijau) yang terpasang di ujung tendanya tidak ada hubungan dengan pendukung fanatik sepak bola di piala eropa kali ini, hanya kebetulan beliau berasal dari Hungaria.
***
Bukan hanya menjual barang-barang, kios makanan juga ada di pasar loak, walau hanya menyediakan sosis dan roti, serta jus dan bir.
[caption id="attachment_182979" align="aligncenter" width="300" caption="kios makanan"]
Sebelum pulang, sesaat menaiki tangga, saya bertemu dengan anak laki-laki yang ditunggui adiknya sedang mengamen. Setelah ngobrol sebentar, dan sedikit bertanya, kenapa alat musik tersebut ukurannya lebih kecil dari yang biasa, dia tidak bisa menerangkan. Hanya bilang kalau dia berasal dari Bulgaria.
[caption id="attachment_182980" align="aligncenter" width="300" caption="si adik yang sedang mengamen"]
Melihat barang-barang di pasar loak tadi yang pada dasarnya masih banyak yang layak pakai bahkan bagus, saya jadi terpikir dengan trend barang KW yang banyak beredar di Indonesia, berupa baju, tas dan jam tangan. Tak hanya itu, barang-barang elektronik termasuk software pun banyak yang dipalsukan, yang sadar gak sadar, hal ini telah mengakibatkan kerugian besar buat negara, seperti dikutip:
"Ketua Umum Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), Widyaretna Buenastuti mengatakan secara keseluruhan kegiatan peredaran produk palsu sepanjang 2010 merugikan negara senilai Rp 43,2 triliun, yang berasal dari potensi penerimaan pajak [1]."
Dengan keterbatasan informasi dan pemahaman yang saya miliki, lalu kembali saya terpikir, kenapa ya seolah kita mau saja jadi korban yang berlindung dibalik merek tertentu, padahal jelas-jelas bukan asli? Kenapa juga tidak mencari barang second hand saja tapi asli? Seperti tersedia dibelanja online, misalnya.
Memang benar, semua tetap tergantung kebutuhan dan isi kantong. Namun, apa tidak lebih baik jika kita memaksimalkan pemakaian barang, semisal, saat kita sudah tidak memakai lagi, lalu dijual kembali di pasar loak?
Sejauh ini, yang saya pahami bahwa orang tua memang jarang (membiasakan) membelikan barang bekas untuk anaknya, terlepas kemampuan ekonomi cukup atau tidak. Karena mungkin ada beberapa pertimbangan, termasuk, adanya anggapan bahwa membeli di tempat barang bekas, selain rasa takut akan keadaan kepemilikan sebelumnya, juga menunjukkan ketidak mampuan orang tua kepada anak, dan ini secara tidak langsung mempengaruhi mental anak. Entahlah. Sayapun hanya mencoba meraba-raba.
Namun, setelah saya memperhatikan gaya hidup orang Jerman yang boleh dibilang cuek dengan hal remeh temeh, tampaknya tidak juga salah mengambil sisi positifnya. Seperti halnya, membeli barang di pasar loak. Bukankah hal itu memaksimalkan pemakaian suatu barang, juga berhemat sekaligus untuk tetap bisa menabung? Yang pasti, tidak menambah kerugikan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H