Mohon tunggu...
Denny Boos
Denny Boos Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Perempuan asal Tobasa. Menyukai hal-hal sederhana. Senang jalan-jalan, photography, sepedaan, trekking, koleksi kartu pos UNESCO. Yoga Iyengar. Teknik Sipil dan Arsitektur. Senang berdiskusi tentang bangunan tahan gempa. Sekarang ini sedang ikut proyek Terowongan. Tinggal di Berlin.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Potret Dresden: Mengintip Pasar Loak ala Jerman

16 Juni 2012   17:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54 1358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_182980" align="aligncenter" width="300" caption="si adik yang sedang mengamen"]

13398635301752307062
13398635301752307062
[/caption]

Melihat barang-barang di pasar loak tadi yang pada dasarnya masih banyak yang layak pakai bahkan bagus, saya jadi terpikir dengan trend barang KW yang banyak beredar di Indonesia, berupa baju, tas dan jam tangan. Tak hanya itu, barang-barang elektronik termasuk software pun banyak yang dipalsukan, yang sadar gak sadar, hal ini telah mengakibatkan kerugian besar buat negara, seperti dikutip:

"Ketua Umum Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), Widyaretna Buenastuti mengatakan secara keseluruhan kegiatan peredaran produk palsu sepanjang 2010 merugikan negara senilai Rp 43,2 triliun, yang berasal dari potensi penerimaan pajak [1]."

Dengan keterbatasan informasi dan pemahaman yang saya miliki, lalu kembali saya terpikir, kenapa ya seolah kita mau saja jadi korban yang berlindung dibalik merek tertentu, padahal jelas-jelas bukan asli? Kenapa juga tidak mencari barang second hand saja tapi asli? Seperti tersedia dibelanja online, misalnya.

Memang benar, semua tetap tergantung kebutuhan dan isi kantong. Namun, apa tidak lebih baik jika kita memaksimalkan pemakaian barang, semisal, saat kita sudah tidak memakai lagi, lalu dijual kembali di pasar loak?

Sejauh ini, yang saya pahami bahwa orang tua memang jarang (membiasakan) membelikan barang bekas untuk anaknya, terlepas kemampuan ekonomi cukup atau tidak. Karena mungkin ada beberapa pertimbangan, termasuk, adanya anggapan bahwa membeli di tempat barang bekas, selain rasa takut akan keadaan kepemilikan sebelumnya, juga menunjukkan ketidak mampuan orang tua kepada anak, dan ini secara tidak langsung mempengaruhi mental anak. Entahlah. Sayapun hanya mencoba meraba-raba.

Namun, setelah saya memperhatikan gaya hidup orang Jerman yang boleh dibilang cuek dengan hal remeh temeh, tampaknya tidak juga salah mengambil sisi positifnya. Seperti halnya, membeli barang di pasar loak. Bukankah hal itu memaksimalkan pemakaian suatu barang, juga berhemat sekaligus untuk tetap bisa menabung? Yang pasti, tidak menambah kerugikan negara.

1339867336786358419
1339867336786358419
Salamku. Kei, yang hari ini berhasil membawa sebuah kaca kecil (hiasan) dan satu kristal buat tempat permen dari pasar loak :-)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun