Pemandangan dari atas
bersiap untuk menuruni kembali tangga-tangga yang cukup banyak itu
***
Negara-negara Eropa berlomba-lomba untuk "menjual" daya tarik mereka lewat pesona bangunan-bangunan bersejarahnya. Jadi, adalah hal yang wajar jika mereka menyisihkan dana yang cukup besar untuk perawatan bangunan tersebut.
Saya baru memahami (setelah mengambil kuliah khusus saat master dulu), betapa rumitnya untuk merencanakan sebuah renovasi bangunan bersejarah disini. Disamping adanya kriteria khusus dari pemerintah daerah yang harus dipenuhi, juga kriteria teknisnya itu sendiri, semisal, mencari material yang paling cocok dengan material awal yang digunakan, dlsbg. Dan yang saya ketahui juga bahwa di kota Dresden tidak diijinkan sembarang (bahkan) untuk merenovasi rumah sendiri, jika berada di area historical city.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana keberadaan gedung-gedung bersejarah kita sekarang? Apakah kita sebagai generasi muda, yang sebenarnya sudah diwajibkan belajar sejarah sejak dini, benar-benar mencintai sejarah kita?
Bisa dimaklumi, jika jumlah bangunan bersejarah kita tidak sebanyak yang di Eropa, berhubung negara kita ada di daerah rawan gempa. Namun, tidak menjadi alasan untuk tidak mengetahui, bukan? Jangan salah, selain bangunan yang merujuk pada sesuatu fungsi khusus yang digunakan oleh pembesar dimasa dahulu, kita juga memiliki warisan bangunan-bangunan bersejarah yang sangat banyak yaitu rumah-rumah adat. Semisal, rumah Bolon/Sopo, rumah Lamin, rumah Toraja, atau rumah Gadang dlsbg. Kalau dipikir-pikir lagi, raja-raja di jaman dulu, tinggalnya di rumah adat bukan? sama saja seperti castle nya Eropa, dong...:-)
Dan pada akhirnya, mari kita bangga dengan apa yang kita miliki dan memeliharanya dengan baik.
Walau rencana awal tulisan ini adalah untuk merespon tulisan Pak Joko tentang gembok cinta di Frankfurt...tapi jadi singgah kemana-mana. Ya sudah, kapan-kapan versi "Gembok Cinta di Breslau, Polandia" nya saya lanjutkan.