Mohon tunggu...
Denny Boos
Denny Boos Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Perempuan asal Tobasa. Menyukai hal-hal sederhana. Senang jalan-jalan, photography, sepedaan, trekking, koleksi kartu pos UNESCO. Yoga Iyengar. Teknik Sipil dan Arsitektur. Senang berdiskusi tentang bangunan tahan gempa. Sekarang ini sedang ikut proyek Terowongan. Tinggal di Berlin.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Berani Bermimpi, Berani Bayar Harga

29 Mei 2012   23:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:37 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_191415" align="aligncenter" width="620" caption="ilustrasi/admin(KOMPAS/Adi Sucipto K)"][/caption] Kemarin saya membaca berita dari Kompas dan juga website tetangga sebelah tentang profil peraih nilai UN tertinggi kedua tingkat Nasional, Novi Wulandari, yang telah ditulis oleh kompasianer Mbak Nurul. Dalam berita tersebut disampaikan bahwa Novi yang berasal dari keluarga kurang mampu, sempat prestasinya turun di kelas tiga karena adanya perasaan takut kalau-kalau dia tidak bisa melanjutkan kuliah karena ketidakmampuan finansial. Beruntung Novi bisa membuktikan kembali prestasinya dengan perolehan nilai tinggi di UN nya.

Yang menarik perhatian saya ketika membaca di berita sebelah tersebut, disamping rasa salut dengan nilai UN 58,50 yang nyaris sempurna, juga tentang komentar-komentar dari berbagai pihak di laman tread tersebut dibuka, salah satunya:

.

Simpan saja niatmu untuk melanjutkan kuliah, nduk! Ini Indonesia, tak ada sekolah yang gratis, termasuk di PTN.

....

Makanya saran pakde, lebih baik kau tinggal di rumah saja, temani ibumu dirumah, sambil menunggu siapa tahu ada jodoh yang datang.

.

Jujur, saya kurang sepaham dengan pemikiran PakDe dalam komentar tersebut, terlepas disatu sisi saya juga tidak bisa menampik bahwa apa yang dituturkan PakDe adalah bagian dari kebenaran yang dirasakan oleh banyak kalangan di masyakat kita saat ini, bahwa "Sekolah barang mahal".

Jadi, ada kemungkinan jika pemikiran PakDe ini menjadi salah satu pilihan terakhir di kemudian hari untuk seseorang yang berprestasi tapi tidak memiliki cukup biaya. Namun untuk kondisi Novi sendiri, sampai saat ini tawaran bantuan masih terus mengalir, ada rasa lega yang tak hingga....semoga semua terselamatkan dengan baik.

.

>>Simpan saja niatmu untuk melanjutkan kuliah...

Barisan kalimat ini membuat saya sejenak merenung. Respon apakah sebenarnya yang lebih pantas untuk diberikan, ketika seseorang diperhadapkan dengan masalah? semisal, seperti keadaan ini...

Saya suka kutipan dari Paulo Coelho (The Alchemist):

“Jika kau menginginkan sesuatu, maka seluruh alam semesta akan bersatu membantumu.”

Walau saya sangat percaya, dengan keunikan yang Tuhan berikan dalam diri manusia, setiap kita punya kemampuan yang berbeda dengan immun yang juga berbeda terhadap persoalan hidup, termasuk dalam mencapai sesuatu dalam kehidupan. Namun, alangkah baik serta bijaknya, jika kita bisa memberikan dukungan positif saat seseorang memerlukannya, bukan?

Dukungan tak hanya berupa bentuk materi tapi juga bisa lewat kata-kata yang menyemangati.  Jika generasi muda berprestasi semisal Novi tak lagi diberi kesempatan bahkan sekedar bermimpi, lantas seperti siapakah yang pantas bermimpi?

Besar keyakinan saya, seseorang yang memiliki prestasi belajar, biasanya (cenderung) diimbangin motivasi yang tinggi dalam dirinya. Dalam arti, bahkan ketika kata "cita-cita" itu menjadi tersamar karena terkurung dalam kata "mimpi" pun, ada kekuatan yang tetap bekerja dalam setiap kesungguhan hati dan keinginannya.

.

>>>…tak ada sekolah yang gratis, termasuk di PTN.

Kenyataan berbicara. PTN yang dulu menjadi idaman setiap orang, yang diunggulkan dari segi kualitas dan biaya merakyat itu, tapi kini perjuangan di meja ujian tak lagi cukup untuk mendapatkannya. Pundi-pundi uang juga harus tersedia dengan baik. Menyedihkan memang. Tapi inilah kenyataan pahit yang ada di dunia pendidikan kita era sekarang.

Semoga ada jalan keluar untuk orang tua seorang Novi dan Novi-Novi yang lain menghadapai keadaan seperti ini (jika tidak ada beasiswa).

Dan sejauh manakah kira-kira para petinggi negeri sudah (akan) menyikapi? Jangan sampai kejadian juga berulang, negara lain yang melirik dan menyekolahkan sebagian dari siswa berprestasi termasuk beberapa juara olimpiade kita karena luput dari perhatian pemerintah.

Bagaimana mencetak generasi unggulan kalau sekolah saja mahal? Bagaimana mencetak pribadi yang unggul dan perduli, jika saja tersisihkan dan terabaikan di rumah sendiri, negara sendiri?

.

>>menunggu siapa tahu ada jodoh yang datang.

Saya tersenyum kecut membacanya, saya hanya membayangkan bagaimana sekiranya kalimat ini ditujukan kepada saya selepas SMA dulu. Tampaknya terlalu dini, walaupun juga tidak salah. Namun, ibarat menggunting rajutan yang baru terbentuk pola, belum lah jadi pilihan terbaik.

Saya tidak secerdas Novi, tapi keadaan saya tak lebih baik dari dia dalam beberapa situasi di penghujung masa SMA.  Saya masih ingat, ketika pada akhirnya harus mengubur dalam-dalam keinginan untuk melanjutkan kedokteran. Sedih berkepanjangan sampai disemester-semester akhir kuliah teknik sipil. Tapi sekarang saya paham, jalan Tuhan yang sungguh luar biasa. "Dengan kuliah teknik sipil, saya bisa punya waktu untuk memberi kursus matematika-fisika-kimia untuk anak SMU dulu, coba kuliah kedokteran, mungkin tak sempat, bukan?" Itu yang ada dalam pikiranku kemudian. Dengan mengajar, saya bisa membiayai sendiri uang kuliah sampai lulus sarjanadan berkenalan dengan kontraktor dan konsultan bagus lewat orang tua murid, juga.

.

Saya tetap percaya pepatah lama, dimana ada kemauan disitu ada jalan. Berani bermimpi, berani juga bayar harga. Bukankah dengan memperbanyak berteman sendiri sudah akan membuka banyak jalan (lewat informasi dan nasehat)? kita tinggal perlu merendahkan hati dan mau belajar. Jadi, semisal Novi dan Novi-Novi yang lain diperhadapkan dengan pilihan menyulitkan karena "dana", percayalah...selagi ada keinginan kuat, pasti akan ada jalan keluar. Yang penting, semangat itu tetap menyala.

.

Satu hal yang saya pelajari kembali, untuk membiarkan kekuatan positif itu tetap bekerja dalam diri, karena dengan kesungguhan hati dan keinginan yang kuat, sesuatu (hal baik) yang kita inginkan itu juga akan mencari arahnya.

13383337372031966609
13383337372031966609
ngomongnya sudah mulai ngejelimet, saatnya tidur :-)

selamat pagi dan selamat malam..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun