Mohon tunggu...
Denny Boos
Denny Boos Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Perempuan asal Tobasa. Menyukai hal-hal sederhana. Senang jalan-jalan, photography, sepedaan, trekking, koleksi kartu pos UNESCO. Yoga Iyengar. Teknik Sipil dan Arsitektur. Senang berdiskusi tentang bangunan tahan gempa. Sekarang ini sedang ikut proyek Terowongan. Tinggal di Berlin.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sudah Meninggal Malah Dimutasi? Sebuah Potret Pendidikan Masa Kini

22 Februari 2012   21:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:18 1422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_162841" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi (google)"][/caption]

Barusan baca berita Kompas online, yang memuat berita tentang dikeluarkannya surat pindah tugas seorang kepala sekolah SDN 04 Lakkading, Majene, yang telah meninggal dunia pada tahun 2011, namun pada akhir Januari ini dimutasi ke SDN 25 Apoang, Majene. Surat itu lebih lengkap lagi setelah dibubuhi tanda tangan Bupati Majene Kalma Katta tertanggal 27 Januari 2012.

Kita bisa membayangkan bagaimana respon keluarga yang ditinggalkan, yang masih menyisahakan kesedihan namun tiba-tiba didatangi surat mutasi. Dan akan bertambah sedih lagi saat mengetahui bahwa orang yang mereka cintai itu seolah tidak diperhitungkan keberadaanya, bukan? Apa yang sesungguhnya terjadi dengan "rumus sentralisasi" dunia pendidikan yang digunakan itu?

Menurut Ketua Dewan Pendidikan Majene Rusbi Hamid, Senin (20/2), hal ini bisa terjadi karena data yang dimiliki badan kepegawaian daerah sangat buruk, akibatnya guru atau kepala sekolah asal dipindah saja tanpa mengecek informasi paling mutakhir di lapangan. Belum lagi penempatan ataupun pengangkatan guru di daerah juga tidak transparan dan tidak berdasarkan kemampuan guru. Faktor kekerabatan ataupun kedekatan secara politik dengan pemangku kepentingan dapat mempengaruhi karier seorang guru.

Penjelasan Ketua Dewan Pendidikan di atas membuatku terpikir akan sebuah permasalahan yang menghampiri tempat saya menempuh pendidikan SMA dahulu. Dimana yang menjabat kepala sekolah saat itu terlibat dalam politik  pencalonan bupati yang akhir nya kalah. Dan ujungnya, Bapak Kepala Sekolah kamipun dipindah tugaskan menjadi guru SMP (bukan direktur SMP loh...hanya sebagai guru pengajar). Entahlah, apakah itu hukuman yang tepat dan pantas, sampai saat ini masih menjadi pertanyaan buat saya.

Melihat kedua permasalahan ini, tampaknya Sistim Setralisasi Guru belum jadi formula yang paling tepat untuk kita jalankan. Seperti disampaikan oleh Dedi S Gumilar, Anggota Komisi X DPR, Minggu (19/2/2012), di Kompas online bahwa, desentralisasi pendidikan menimbulkan masalah, karena tidak semua pemerintah daerah siap dan profesional, pola rekrutmen guru yang kacau sehingga kualitas guru memprihatinkan. Belum lagi, guru jadi terbelenggu kondisi politik lokal daerah seolah-olah mengabdi pada bupati/walikota daripada untuk kepentingan pendidikan nasional.

Lantas, bagaimana caranya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui pendidikan, jika saja guru-guru pun sudah tidak murni mengabdi pada kepentingan pendidikan itu sendiri?

Sistem yang selalu berganti-ganti telah membuat pendidikan Indonesia seolah kapal yang terombang-ambing di tengah lautan. Semoga segera disadari para petinggi negeri, serta pihak yang berkompeten dalam pengambilan kebijaksanaan. Entah sampai kapan pendidikan itu akan bisa terhindar dari keegoisan lewat kekuasaan mengubah sistim.

>><<

13299915161991027830
13299915161991027830

salam memajukan pendidikan, terbebas dari politik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun