Mohon tunggu...
Emma Mardianah
Emma Mardianah Mohon Tunggu... Guru -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setetes Ikhlasku untuk Tetes Terakhir ASI

7 September 2018   21:17 Diperbarui: 8 September 2018   03:13 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua hari lalu ulang tahun bidadari kecilku, Fauzia. Dulu waktu Fawaaz, kakaknya yang selisih enam tahun sempurna aku sapih tepat di ulang tahun keduanya. Namun, menghadapi penyapihan Zia, panggilan putri kecilku ini ada rasa gamang. Ragam cerita penyapihan anak dari orang-orang mempengaruhiku.

Ada yang punya anak tiga pun mudah sekali, cukup dititipkan di neneknya. Hmmm, Zia, pikirku ketika bertemu lagi ibunya akan langsung ingat menyusu.

Ada yang bahkan sudah pakai brotowali dan dan daun sambiloto yang pahit minta ampun sekalipun masih kuat menghisap. Ada yang mempannya setelah dioles sama akar mahoni. Ada yang anaknya pintar minta ibunya mencuci nenennya. Ada yang bilang menyapih anak perempuan lebih susah karena secara psikologis lebih dekat dibanding anak laki-laki. 

Dulu waktu kakaknya memang tidak mempan dengan Pepsodent, masih bilang "ada.. ada..", ucapan untuk lada yang berarti pedas. Tetapi, kebetulan bapakku masih rajin bercocok tanam, termasuk daun sambiloto pun tersedia. Tidak banyak yang diulek dan dioles, sepertinya dibawa mandi pun masih terasa pahitnya. Dua malam rewel karena belum kenal dot dan susu formula sebagai pengganti ASI. Dua malam juga aku cukup meriang menyapihnya.

Menghadapi penyapihan Zia ini, bapak sudah tidak menanam lagi sambiloto. Alhamdulillah teman sekantor ada yang punya tanaman ini di rumah. Namun, tepat di ulang tahun keduanya, ayahnya tidak di rumah karena harus mengantar ibu mertua melanjutkan kemoterapi ke Bandung. Ada alasanku menunda menyapih, aku menunggu ayahnya pulang agar saat Zia rewel ada yang menenangkan.

Ada teman mengajar satu sekolah yang bertanya "ibu sendiri sudah lepas belum? Kadang ibunya sendiri yang menangis karena saya juga pernah merasakan". Ya, saya dan suami memang berencana cukup dengan dua anak yang sudah sepasang, kalau Tuhan berkehendak sama, inilah momen terakhir saya menikmati indahnya menjadi ibu menyusui.

Ikhlas itu rasanya memang berat, tapi harus dijalani mengingat anjuran dalam agama demikian, anjuran medis pun ASI setelah 2 tahun sudah berkurang kualitasnya. Oleh karena itu, kemarin adalah malam terakhir aku berpuas dan biar aku menyimpan kenangan terakhir itu. 

Tadi pagi, pengasuh tidak datang lagi. Sudah tiga pekan ini dia sering sekali bolos. Akhirnya, aku membawa serta Zia mengajar. Beruntung kalau jadwal mengajar kewirausahaan, biasanya anak-anak anteng diskusi dan itu bisa dilakukan di perpustakaan, di mana Zia pun bisa tetap nyaman.

Fawaaz, kakaknya yang kelas 3 SD pun kebetulan tidak sekolah karena di sekolahnya sedang ada kemah mandiri siswa kelas 4-6 dan guru-gurunya fokus di sana. Biasanya, kakak pun nyaman melakukan aktifitas menggambar di perpustakaan. Sesekali mereka minta jajan ke koperasi siswa. Hari ini pun kebetulan kantor diubah formasi bangku guru-gurunya, aku pun beres-beres. Gema adzan jumat, alhamdulillah kakak pergi sholat. Tak kuperhatikan ia ada dekat bapak guru atau aa-aa SMA. Selepas jumatan, kakak makan sendiri dan aku menyuapi Zia sambil makan juga. 

Mestinya, Zia tertidur karena ngantuk tetapi tadi gagal. Dan sepulang sekolah, kakak ada janji membuat tugas kelompok di rumah temannya. Mau tidak mau aku antar juga. Untuk kedua kalinya, anak-anak kelas 3 SD ditinggal bunda-bundanya mengerjakan tugas sendiri. 

Tidak ada yang menemani, tidak tahu kalau mereka hanya main atau asyik dengan gadget. Akhirnya aku bilang biar masing-masing mengerjakan sendiri kreasinya di rumah, nanti hasilnya dikumpulkan satu kelompok hari kamis. Terburu-buru kami pulang karena langit sudah mendung dan bunyi guntur isyarat hujan sudah bersahutan dari langit. Terburu-buru pula aku memandikan Zia takut keburu ngantuk. 

Dan, Bismillah aku mulai mengoles sambiloto. Kalau saja habis mandi Zia langsung nyedot ASI, pasti langsung tertidur lelap. Ditambah ibunya pun ikut-ikutan tidur, sensasi disedot ASI ya begitu. Biasanya kalau ibu tidak tidur, anak pun gagal tidur. Dan kalau ibu terbangun malam hari, anak pun ikut bangun mencari ASI nya yang hilang. 

Tidak diduga reaksi Zia malah tertawa lucu saat menjilat ASI nya yang pahit. Dia langsung bilang "tak" setiap ditawari 'nen ibu'. Sholehahnya Zia ku. 

Dia cuma bolak balik tidak karuan. Keluar rumah, masuk rumah lagi, sembunyi di balik gorden, memanggil-manggil ayahnya yang sedang mandi, balik  lagi keluar memegang-megang kabel salon yang rusak, ciluk ba lagi dari gorden, menunggu lagi ayahnya di luar kamar mandi, balik keluar mengambil sodokan air kalau banjir, masuk lagi sambil tetap tertawa-tawa lucu. Aku juga lucu menyaksikannya. Ada rasa haru juga, dia kehilangan sesuatu yang sangat berharga tapi dia tidak menangis. Betapa kita harus belajar banyak dari anak kecil. Sesekali aku membuang tetesan ASI ke gelas biar tidak meriang, dan Zia langsung meneguknya. 

Sudah dua malam Zia berkenalan dengan dot dan susu pengganti. Walaupun pengasuh bilang susah dan menyerah ternyata Zia bisa menghabiskan 60 mL dan kemarin 80 mL, walaupun untuk tidurnya masih dengan ASI. Tapi sore ini aku langsung suapi makan saja. Kenyang dan lelah seharian, tak perlu menonton sampai dua lagu anak-anak, Zia langsung tertidur pulas sekali. Saat terbangun pun tidak rewel sama sekali, dan tetap menjawab "tak" saat ditawari 'nen Ibu'. Cukup minta minum atau susu. 

Bukan mendiskreditkan yang tidak menyusui, apalagi laki-laki, hanya bisa dirasakan oleh ibu yang menyusui apalagi waktu dua tahun bukan waktu yang singkat. Saat ASI menjadi sakti untuk segala jenis tangisan. Saat mengantuk, saat terjatuh, saat dijahili kakaknya, saat tidak boleh ini itu, ASI menjadi obat mujarab.

Tak perlu waktu lama untuk menyeduh, tangisan langsung berhenti. Saat hendak tidur bisa memeluknya begitu dekat, saling beradu nafas. Setetes ikhlas saja untuk tetesan akhir ASI ini sangat sulit tapi harus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun