Dua hari lalu ulang tahun bidadari kecilku, Fauzia. Dulu waktu Fawaaz, kakaknya yang selisih enam tahun sempurna aku sapih tepat di ulang tahun keduanya. Namun, menghadapi penyapihan Zia, panggilan putri kecilku ini ada rasa gamang. Ragam cerita penyapihan anak dari orang-orang mempengaruhiku.
Ada yang punya anak tiga pun mudah sekali, cukup dititipkan di neneknya. Hmmm, Zia, pikirku ketika bertemu lagi ibunya akan langsung ingat menyusu.
Ada yang bahkan sudah pakai brotowali dan dan daun sambiloto yang pahit minta ampun sekalipun masih kuat menghisap. Ada yang mempannya setelah dioles sama akar mahoni. Ada yang anaknya pintar minta ibunya mencuci nenennya. Ada yang bilang menyapih anak perempuan lebih susah karena secara psikologis lebih dekat dibanding anak laki-laki.Â
Dulu waktu kakaknya memang tidak mempan dengan Pepsodent, masih bilang "ada.. ada..", ucapan untuk lada yang berarti pedas. Tetapi, kebetulan bapakku masih rajin bercocok tanam, termasuk daun sambiloto pun tersedia. Tidak banyak yang diulek dan dioles, sepertinya dibawa mandi pun masih terasa pahitnya. Dua malam rewel karena belum kenal dot dan susu formula sebagai pengganti ASI. Dua malam juga aku cukup meriang menyapihnya.
Menghadapi penyapihan Zia ini, bapak sudah tidak menanam lagi sambiloto. Alhamdulillah teman sekantor ada yang punya tanaman ini di rumah. Namun, tepat di ulang tahun keduanya, ayahnya tidak di rumah karena harus mengantar ibu mertua melanjutkan kemoterapi ke Bandung. Ada alasanku menunda menyapih, aku menunggu ayahnya pulang agar saat Zia rewel ada yang menenangkan.
Ada teman mengajar satu sekolah yang bertanya "ibu sendiri sudah lepas belum? Kadang ibunya sendiri yang menangis karena saya juga pernah merasakan". Ya, saya dan suami memang berencana cukup dengan dua anak yang sudah sepasang, kalau Tuhan berkehendak sama, inilah momen terakhir saya menikmati indahnya menjadi ibu menyusui.
Ikhlas itu rasanya memang berat, tapi harus dijalani mengingat anjuran dalam agama demikian, anjuran medis pun ASI setelah 2 tahun sudah berkurang kualitasnya. Oleh karena itu, kemarin adalah malam terakhir aku berpuas dan biar aku menyimpan kenangan terakhir itu.Â
Tadi pagi, pengasuh tidak datang lagi. Sudah tiga pekan ini dia sering sekali bolos. Akhirnya, aku membawa serta Zia mengajar. Beruntung kalau jadwal mengajar kewirausahaan, biasanya anak-anak anteng diskusi dan itu bisa dilakukan di perpustakaan, di mana Zia pun bisa tetap nyaman.
Fawaaz, kakaknya yang kelas 3 SD pun kebetulan tidak sekolah karena di sekolahnya sedang ada kemah mandiri siswa kelas 4-6 dan guru-gurunya fokus di sana. Biasanya, kakak pun nyaman melakukan aktifitas menggambar di perpustakaan. Sesekali mereka minta jajan ke koperasi siswa. Hari ini pun kebetulan kantor diubah formasi bangku guru-gurunya, aku pun beres-beres. Gema adzan jumat, alhamdulillah kakak pergi sholat. Tak kuperhatikan ia ada dekat bapak guru atau aa-aa SMA. Selepas jumatan, kakak makan sendiri dan aku menyuapi Zia sambil makan juga.Â
Mestinya, Zia tertidur karena ngantuk tetapi tadi gagal. Dan sepulang sekolah, kakak ada janji membuat tugas kelompok di rumah temannya. Mau tidak mau aku antar juga. Untuk kedua kalinya, anak-anak kelas 3 SD ditinggal bunda-bundanya mengerjakan tugas sendiri.Â
Tidak ada yang menemani, tidak tahu kalau mereka hanya main atau asyik dengan gadget. Akhirnya aku bilang biar masing-masing mengerjakan sendiri kreasinya di rumah, nanti hasilnya dikumpulkan satu kelompok hari kamis. Terburu-buru kami pulang karena langit sudah mendung dan bunyi guntur isyarat hujan sudah bersahutan dari langit. Terburu-buru pula aku memandikan Zia takut keburu ngantuk.Â