LSF atau Lembaga Sensor Film adalah lembaga independen yang  jauh dari intervensi pihak manapun.  LSF ada 17 anggota terdiri dari unsur masyarakat dan unsur pemerintah,  berdasarkan PP 18 tahun 2014 yang berarti di mana LSF terdapat beberapa kementerian seperti: Kemenpar, Menperkeraf, kemenag, kemenristek (Bahasa dan Budaya), dari ke 17 tadi terbagi menjadi 5 Bidang yaitu,  bidang Kebudayaan, IT, Ahli bahasa, Ahli Komunikasi, dan dari unsur perfilman. LSF tugasnya ada 2 yaitu menyensor film dan iklan untuk di pertunjukan serta tugas yang ke 2 adalah menilai dan meneliti tayangan film agar layak menjadi tontonan di masyarakat.
Kriteria film seperti apa yang layak untuk di nikmati penonton? film yang di dalamnya tidak ada 5 Hal yang sensitif antara lain,
1. Film yang tidak mengandung kekerasan yang sadis.
2. film yang tidak mengandung pornografi secara nyata dan berniat mengeksploitasi.
3. Film yang tidak mengganggu ideologi Pancasila.
4. Film yang tidak mengganggu sara.
5. Film yang tidak menjatuhkan hak-hak dan martabat orang lain.
Jadi seandainya sebuah film telah clear dari ke 5 yang diatas tadi maka film itu dinyatakan layak untuk di pertontonkan nah intinya adalah LSF meneliti kelayakan sebuah film dan apa yang di teliti agar sebuah film layak untuk tayang terdiri dari 5 juga antara lain : Tema, Judul, adegan visual, dialog monolog dan teks terjemahan ketika film ini sudah oke maka di berilah surat tanda telah lulus sensor.
Adapun untuk tanda lulus sensor maka dapat di golongkan menjadi 4 golongan usia yang terdiri dari
1. Semua Umur (SU)
2. Usia 13 -16 tahun
3. usia 17 - 20 tahun dan
4. Usia 21 tahun keatas
Setelah sebuah film telah melalui semua tahapan dari uji kelayakan tadi maka pihak LSF memberikan surat STLS Â atau Surat Tanda Lulus Sensor. Lalu apa saja isi dari STLS itu tertulis milik siapa, durasinya berapa, dan tayangnya di tujukan pada siapa dan ada masa berlakunya
Lalu bagaimana bila sebuah film tayang tanpa ada Surat tanda lulus sensor? maka dalam UU 33 PP 18 dimana bisa kena sanksi pidana 10 tahun penjara dan denda uang 4 Milyar rupiah. Yang di penjara di sini adalah orang yang sengaja menayangkan film tanpa ada surat tanda lulus sensor dari LSF
Tujuan LSF adalah bersama masyarakat memajukan perfilman Nasional karena arah dari tujuan ini adalah
1. Demi kecerdasan dan pengetahuan luas anak bangsa
2. Mensejahterakan masyarakat Indonesia
3. Berakhlakul Karimah (akhlak yang baik)
4. NKRI tetap terjaga baik dan
5. Agama walau berbeda berjalan dengan harmonis
6. Tidak melecehkan martabat orang lain
7. Ideologi Pancasila tetap terjaga.
CARA KERJA LSF SAAT INI
BSF atau Badan Sensor Film berbeda dengan LSF yang merupakan Lembaga karena badan dengan lembaga adalah 2 hal yang berbeda, ketika masih berbentuk Badan Sensor Film maka tehnik penyensoran dalam  bentuk guntingan yang di beri seluloid kemudian setelah itu diberi solatip setelah itu yang berwenang mengembalikan  film yang telah di sensor kepada yang punya film, akan tetapi untuk guntingannya film-film tadi ada di kantor BSF.  Dulu BSF terkesan sangat powerful dan Diktator di sana ada in nuansa penafsir kebenaran tunggal.
Sedang untuk era LSF cara kerjanya saat ini adalah :
1. Â Mengikuti perkembangan teknologi yang semua sudah digital dimana LSF tidak pegang barang (Film yang akan disensor) Â tetapi bersama teman-teman (anggota LSF) nonton di bioskop mini milik LSF setelah itu hanya mencatat dimana menit sekian sampai sekian ada adegan yang tidak layak tonton. Catatan itu di buat tentu berdasar pada aturan yang ada kalau hanya sebatas orang ciuman (mohon maaf) ya kalau ciuman dipotong terus yang anak 17 tahun nonton apa seringkali begitu alasannya sehingga seringkali yang ciuman itu dianggap masih secara normatif masih oke di masyarakat.
Meskipun beberapa kalangan menganggap ini bukan muhrim dan lain-lain, ya tetap harus diingat bahwa Indonesia ini kan berwarna tidak di ekstrim kanan tidak di ekstrim luar  dan juga bukan negara liberal akan tetapi merupakan negara dengan ragam agama yang ada di masyarakat. Setelah selesai maka catatan itu di kembalikan lagi pada pemilik film entah itu filmnya mau di potong atau mau syuting ulang itu terserah pada si empunya film
2. Â Perkembangan demokrasi
Seiring perkembangan Indonesia yang sudah sangat demokratis kita sangat memahami apa yang disebut dengan property right atau hak kekayaan intelektual dalam hal ini LSF tidak mungkin seenaknya gunting film lalu menahan guntingannya seperti dulu akan tetapi di kembalikan langsung selanjutnya terserah pada si pemilik film.
Begitulah wajah baru dari LSF sekarang yang perkembangannya sudah mengikuti zaman, Untuk penonton khususnya para orang tua marilah melek tentang film karena itu tugas kita semua dan harus bijak dalam memilah dan memilih tayangan untuk keluarga kita di rumah.
Tontonan yang tayang di dunia hiburan yang sudah demikian dahsyatnya bila kita tidak dapat mengontrolnya maka akan jadi apa bangsa ini disinilah LSF dan kita semua bersama bersinergi dalam mengembangkan budaya sensor mandiri, membudayakan masyarakat dapat memilah dan memilih tontonan sesuai penggolongan usianya dan ini paling penting serta PR untuk kita semua.
Semoga kedepannya para pembuat film lebih mengutamakan kualitas agar dapat mengiringi jalannya negeri ini dengan tontonan yang layak dan menjadi tuntunan tidak saja dari segi agama, budaya dan sosial kemasyarakatan, dengan tidak melanggar ideologi bangsa maupun hak dan martabat orang lain, serta yang lebih penting adalah tetap menjaga keutuhan NKRI yo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H