Nonton bareng film jadoel kenapa tidak? Untuk pertama kalinya saya ikutan tour museum penerangan, dan sungguh saya begitu takjub dengan isi di dalam museum itu. Setelah tour selesai kita pun nonton bareng film perdana buah karya maestro perfilman yaitu bapak Usmar Ismail yang berjudul Darah dan Doa.
Mungkin bisa di bilang begitu banyak isi dalam museum penerangan yang sudah sangat tua dan ringkih baik untuk cahaya Blitz kamera atau handphone maupun sentuhan tangan kita yang memang pas untuk dilihat dan di kagumi saja, mulai dari kentongan yang di gunakan hampir setiap daerah di Indonesia. Makna dari kentongan itu sendiri adalah berupa cara untuk mengumpulkan massa juga untuk menyiarkan pengumuman berita pada masyarakat.
Kemudian lanjut pada selebaran berita yang menjadi cara berkomunikasi yang memang sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan di Indonesia. Zaman dulu cara berkomunikasi dengan selebaran-selebaran sudah ada di kerajaan-kerajaan Sumatera lalu surat kabar seperti RetnoDhoemilah telah terbit di abad 19 yang di ikuti oleh surat kabar lainnya, kemudian sistem komunikasi mengalami perkembangan sejak berdirinya organisasi Budi Utomo pada 1907 oleh bapak. Wahidin Soedirohusodo.
Dengan berkembangnya sistem komunikasi masuklah Radio pertama di Batavia yang di bawa oleh Jepang dengan radio pulalah tersiar kabar kemerdekaan republik Indonesia melalui proklamasi yang di bacakan oleh Soekarno Hatta pada tahun 1945. Selanjutnya perkembangan komunikasi di tanah air lebih terbuka sejak lahirnya pertelevisian yang pertama di Indonesia yaitu TVRI tahun 1962.
Setelah tour selesai lanjut kita nonton bareng film perdana karya Usmar Ismail yaitu Darah dan Doa yang di produksi 30 Maret 1950. Film ini intinya menceritakan long march divisi Siliwangi dari Bandung ke Yogyakarta yang tentunya di bumbui kisah para prajuritnya, karakter yang menonjol pada film Darah dan Doa ini antara lain Sudarto/Darto, Mula, Widia, dan connie.
Tidak seperti kebanyakan film-film Bollywood ataupun Hollywood yang jagoannya kalah duluan lalu menang di akhir akan tetapi berbeda di film Darah dan Doa ini jagoan utamanya yaitu Sudarto atau Darto mati di tembak oleh orang yang menaruh dendam padanya.
 Nah untuk detail keseruan film ini dapat di saksikan di bioskop kesayangan yang tentunya sudah di reproduksi menjadi lebih kekinian agar dapat di saksikan oleh kita semua tanpa mengurangi esensi film tersebut.
Begitu banyak karya-karya Mendiang bapak Usmar Ismail yang di tinggalkan, tidak hanya puluhan berupa film-film legendaris seperti, Darah dan Doa, Enam Djam di Jogja dan 3 dara yang sudah di buat versi kekiniannya akan tetapi juga ada beberapa drama, puisi dan beliau seorang penulis juga lho! wow produktif banget ya Maestro kita ini.
Berdasarkan penuturan dari putra kandung dan cucu mendiang Bapak Usmar Ismail ini mengatakan bahwa film-film karya Usmar Ismail  ini di buat dengan senyata mungkin contohnya lokasi yang benar-benar di Bandung dan Jogyakarta demikian pula dengan meriam dan senjata, itu semua nyata dengan persenjataan yang di pinjam dari tentara divisi Siliwangi. Wow Keren ya jaman dulu saja kolaborasi antara seniman dan TNI sudah terjalin sedemikian baiknya.
Dengan adanya reproduksi kembali karya-karya lawas dari bapak Usmar Ismail oleh keturunannya, Â membuat bangsa ini lebih mengenal dekat tentang maestro ini, setidaknya anak-anak millenial zaman now mengetahui tonggak bermula dunia perfilman di tanah air. Mungkin film-film mancanegara bagus akan tetapi kalau bukan kita yang mencintai karya anak bangsa lalu siapa lagi?Â
Yuk kita cintai, hargai, pelajari dan menciptakan seni karya dari orang-orang sebelum kita, dengan begitu kita dapat mempersembahkan suatu karya untuk bangsa ini yang juga akan di kenang kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H