Pada pedesaan yang terselubuk dengan panorama alam yang memukau di kaki Gunung Sindoro, ditemukan fenomena menarik; Anak-anak sekolah dasar (SD) yang sudah mahir mengendarai sepeda motor untuk bertransportasi.
Siswa/i SMA Global Prestasi School kelas X melakukan pelaksanaan program Local Immersion tahunan di Ds. Buntu dari 4 - 7 Maret 2024. Setelah empat hari bermalam, disimpulkan bahwa kebiasaan anak-anak setempat membawa kendaraan roda dua ini merupakan suatu folkway di desa kecamatan Kejajar tersebut.
Folkways bisa diartikan dengan suatu kegiatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama hingga terbentuk suatu kebiasaan. Folkway dalam konteks ini menimbulkan banyak pro dan kontra karena sudah menjadi salah satu bentuk penyimpangan sosial akibat pelanggaran norma yang telah dimaklumi warga Desa Buntu, yakni anak-anak yang diperbolehkan walinya untuk berkendara motor tanpa memenuhi standar mengemudi.
Mengapa hal demikian dinormalisasikan?
Berdasarkan observasi, berikut faktor pengaruh untuk menjawab pertanyaan di atas.
Pak Uud (55) yang merupakan seorang guru dan mantan kepala sekolah SDN 1 Desa Buntu mengatakan, “Sudah menjadi kebiasaan bagi anak SD disini membawa motor. Namun, diluar wilayah sekolah. Kami hanya bisa menasehati untuk jangan keluar ke jalan raya”.
Jalanan di Desa Buntu cenderung kecil dan sepi. Anak-anak yang berlalu tidak akan sering bertemu dengan kepadatan dan dapat mengemudi dengan leluasa. Kondisi ini begitu kontras dengan keadaan lalu lintas di luar gapura desa (jalan raya) yang ramai. Maka itu orang tua setempat selalu mewanti-wanti generasi mudanya untuk tidak keluar ke jalan raya dengan kendaraan.
Namun, masih ada yang melanggar hal ini dengan terpaksa. “Ada juga yang naik motor keluar, kakak-ku umur 13 tahun sekolah MTs diluar desa, ibu bapak nggak bisa antar jadi harus pakai motor”, Ucap anak SD yang saat itu sedang berjalan pulang sekolah bersama rombongan kami.
Pernyataan diatas menyatakan bahwa ada faktor lain yaitu adanya keterbatasan yang variatif seperti jauhnya lokasi sekolah.
Dilihat dari sisi positif, kehadiran anak-anak yang mampu berkendara bisa membantu mobilitas dan aksesibilitas terutama dalam hal menghadapi tantangan keseharian yang berkorelasi dengan kondisi geografis di daerah pegunungan. Namun, hal ini tidak menghapus masalah yang berpotensi timbul, terutama dalam hal keselamatan.
Pada dasarnya sudah ditetapkan regulasi yang mengatur batas usia untuk mengemudi. Tapi, ketentuan ini tidak dipandang begitu serius karena penegakan hukum yang relatif tidak ketat di daerah desa sehingga meningkatkan resiko kecelakaan tanpa pertanggungjawaban.
Secara ringkas, kemampuan anak-anak mengendarai kendaraan merupakan sebuah aset yang bermanfaat dalam hal memenuhi kebutuhan mobilitas, namun menjaga keselamatan, kebijakan, dan kesejahteraan tetap menjadi tantangan terbesarnya apalagi jika hal tersebut seharusnya tak lazim dilakukan. Perlu ditingkatkan adanya kesadaran lebih akan pentingnya patuh terhadap regulasi lalu lintas baik individual maupun dalam komunitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H