Sekitar dua bulan yang lalu, saya melaksanakan Kerja Praktek di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Bandung. Saya sempat membantu beberapa pekerjaan di bidang keuangan, salah satunya adalah mengetikkan data untuk pengadaan barang. Salah satu pembimbing disana mengatakan bahwa segala spesifikasi dan harga harus tertulis persis dengan kontrak yang diberikan oleh pihak penyedia. Jika dilihat, nilai kontrak cukup besar. Tentu, nilai yang harus dipertanggungjawabkan pula.
***
Masih banyak dari kalangan masyarakat kita yang tidak menyadari bahwa salah satu unsur pendukung dalam kegiatan pembangunan sebuah negara adalah kegiatan pengadaan barang dan atau jasa. Contoh yang paling sederhana adalah pengadaan ATK. Bagaimana jadinya jika sebuah lembaga pemerintahan kehabisan persediaan ATK ? Tentunya banyak kegiatan operasional yang sifatnya rutin maupun aktivitas lainnya yang akan terhambat.
Pengadaan merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan pemenuhan atau penyediaan sumber daya (barang atau jasa) pada suatu proyek tertentu (Setiadi, 2009). Pengadaan barang atau jasa atau yang lebih dikenal dengan lelang (procurement) telah banyak dilakukan oleh semua pihak baik dari pemerintah maupun swasta. Selama ini proses pengadaan barang atau jasa dilakukan dengan cara konvensional dimana langsung mempertemukan penyedia barang atau jasa dan penggunanya. Pengadaan yang dilakukan secara konvensional dinilai memiliki beberapa kelemahan yang banyak merugikan seperti mudah berkembangnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Hal ini terungkap secara gamblang dalam laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan bahwa 43% kasus yang ditangani KPK adalah terkait Pengadaan Barang atau Jasa
BPK memeriksa aspek ketidakefektifan terkait pencapaian hasil (outcome) pengadaan barang atau jasa. Ketidakefektifan tersebut mencakup beberapa hal, yaitu pemanfaatan barang atau jasa dilakukan tidak sesuai dengan rencana yang ditetapkan, barang yang dibeli belum atau tidak dapat dimanfaatkan, serta pemanfaatan barang atau jasa tidak berdampak pada pencapaian tujuan organisasi.
Berdasarkan cakupan entitas, temuan ketidakefektifan dalam pengadaan barang atau jasa terdapat dalam empat jenis entitas, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan BUMN, dan perusahaan BUMD. Temuan ketidakefektifan pada pemerintah pusat sebanyak 19 kasus yang senilai Rp. 455.790.000.000,00. Temuan pada pemerintah daerah sebanyak 89 kasus senilai Rp.123.877.030.000,00. Temuan pada perusahaan BUMN sebanyak 1 kasus senilai Rp.11.990.650.000,00. Lebih lanjut, temuan pada entitas perusahaan-perusahaan BUMD sebanyak 18 kasus senilai Rp. 6.415.850.000,00.
Temuan atas pengadaan barang atau jasa yang menimbulkan ketidakefektifan terdiri dalam tiga bentuk kasus. Kasus “barang yang dibeli belum atau tidak dapat dimanfaatkan” mendominasi munculnya ketidakefisienan dalam pengadaan barang/jasa dengan 92 kasus atau 72% dari keseluruhan kasus ketidakefektifan.
Beberapa negara maju seperti Amerika dan negara yang tergabung dalam Komunitas Eropa, lebih dari 20% GDP dialokasikan untuk pengadaan barang atau jasa, sedangkan di Indonesia tiap tahunnya lebih dari 30% APBN dialokasikan untuk pengadaan barang atau jasa. Oleh sebab itu, sistem pengadaan publik yang transparan, efektif dan efisien sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (LKPP, 2009).
Dalam usaha untuk menutup kelemahan-kelemahan dalam proses pengadaan serta untuk mewujudkan pengadaaan barang atau jasa yang efektif dan efisien, perlu dimanfaatkan perkembangan teknologi informasi dalam proses pengadaan barang atau jasa tersebut, salah satunya adalah dengan penerapan e-procurement.
E-procurement merupakan suatu proses pengadaan yang mengacu pada penggunaan internet sebagai sarana informasi dan komunikasi (Croom dan Jones, 2007). Proses pengadaan barang dan jasa dengan sistem e-procurement memanfaatkan fasilitas teknologi komunikasi dan informasi yang digunakan untuk mendukung proses pelelangan secara elektronik. Dengan sistem lelang elektronik ini, praktek-praktek KKN dapat dihindari, karena pihak penyedia dan pengguna barang atau jasa jarang sekali bertemu langsung.
Pada tahun tahun 2010, terdapat 48 instansi pemerintah di Indonesia baik di pusat maupun di daerah yang sudah menerapkan sistem e-procurement (Rahardjo, 2010). Tim Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (LKPP) menargetkan jumlah instansi pemerintah yang mengaplikasikan sistem e-procurement bertambah dari awalnya hanya 48 instansi menjadi 280 instansi termasuk perguruan tinggi. Dari hasil penerapan sistem e-procurement, beberapa instansi memberikan data efisiensi realisasi proyek yang dibandingkan dengan Pagu Anggaran ataupun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) menyatakan bahwa penghematan tender instansi pemerintah tersebut mencapai kisaran 20 persen (Rahardjo, 2010).