Dua tahun setelah Bapak berpulang, ibu menyusul menghadap Sang Khalik. Sejak itulah rumah Bapak kosong tidak ada yang menempati. Aku sendiri setelah menyelesaikan kuliah bekerja di luar kota dan hanya pulang satu bulan sekali untuk menengok Bapak dan Ibu.
Kini setelah hampir tujuh tahun ibu menyusul Bapak, saudara-saudaraku mengusulkan untuk menjual rumah Bapak, sebuah keinginan yang dengan tegas ku tolak.
"Sudah rumah Bapak dijual saja, uang hasil penjualannya kita bagi empat." Kata mas ku yang sulung.
"Saya setuju," Kata mbakku yang nomer dua.
"Usul yang bagus." Mbak ku yang nomer 3 mendukung.
Walaupun usia ku seumuran anak mereka, tapi demi mempertahankan rumah Bapak dengan berani aku melawan dan menentang usul mereka.
"Saya tidak setuju rumah ini dijual ke orang lain." Kataku tegas.
"Terus mau dibiarkan rusak begitu saja?" Tanya mas sulungku ketus.
"Saya yang akan membeli rumah ini, tapi mohon waktunya dan saya tidak bisa langsung membayar lunas rumah ini, akan saya bayar bertahap dengan batas waktu yang tidak ditentukan." Aku meminta pengertian mereka.
"Bagus kalau begitu, saya setuju kalau kamu memang mau membeli rumah ini, tidak apa-apa kalau bayarnya bertahap, tapi ya tetap harus pakai batas waktu lah, dan mau mulai kapan membayarnya?" Mas sulungku bicara lagi.
"Yaampun mas, betapa mata duitan sekali ya mas ini, masak sama adik sendiri hitung-hitungan begitu."