Di hadapan hukum semua harus setara
Jangan dipengadilan hasilnya malah berbeda
Jangan sampai hukum malah tumpul ke atas
Pada yang lemah hukum justu menjadi buas
Keadilan harus dirasakan oleh semua
Hukum bukan untuk mereka yang berkuasa
Sudah terlampau banyak peraturan
Kini saatnya memperbanyak keadilan
Itu adalah penggalan epilog pada acara Mata Najwa edisi Rabu, 14 Agustus 2019 dengan topik Kasta Hukuman. Sangat menarik memang untuk didiskusikan lebih lanjut tentang bagaimana seharusnya hukum itu menjadi panglima keadilan. Menurut Rifqi Sjarief Assegaf (seorang peneliti yang juga  diundang ke acara tersebut) bahwasan ada dua masalah besar dalam penegakan hukum di Indonesia.
Yang pertama, bagaimana aparat menegakan hukum dan kedua, bagaimana pembuat Undang-Undang membuat Undang-Undang yang memungkinkan penegakan hukum yang lalim. Kasus yang menimpa salah seorang kakek bernama Busrin dari desa Probolinggo, Jawa Timur yang dijerat dengan UU No 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Terkecil, mendapat hukuman 2 tahun penjara karena mengambil tiga batang kayu manggrow sebetulnya memperlihatkan pendekatan penegakan hukum yang tidak berkemanusiaan atau kalau boleh dibilang sedikit tidak mencerminkan keadilan.Â
Mengapa? Yang pertama, Pak Busrin ini adalah seorang buta huruf, tidak bisa berbahasa Indonesia dan seorang petani miskin. Dari fakta ini sesungguhnya pak Busrin tidak punya pengetahuan apa-apa tentang hukum. Yang ada di dalam pikirannya bahwa segala yang ada di bumi ini diciptakan Tuhan untuk keberlangsungan hidup manusia. Karena sebelum hukum itu ada, manusia sudah memulai memotong kayu-kayu (kayu apa saja ) untuk dijadikan sebagai rumah atau untuk keperluan lain.Â
Yang kedua, Megambil tiga batang kayu mangrrow untuk dijadikan penyangga tanaman pisangnya dan untuk keperluan memasak nasi tidak sepatutnya dihukum 2 tahun penjara. Seharusnya diberi teguran saja karena tiga batang kayu yang diambilnya pun tidak menimbulkan kerusakan pada ekosistem mangrow di wiliayah itu.Â
Motivasi pengambilan kayu Inilah yang menurut Rifqi bahwa Undang-Undang ini sebetulnya didesign untuk menjangkau orang-orang yang merusak ekosistem kawasan pesisir yang serius dan berdampak luas terhadap kelestarian tumbuhan itu sendiri.Â
Tapi sayangnya, pasal-pasalnya dibuat dengan cukup karet sehingga tindakan yang sangat kecil (hanya mengambil TIGA batang kayu) yang dilakukan oleh Pak Busrin ini dinilai telah merusak ekosistem kawasan pesisir.Â
Hukum memang tidak memandang miskin -- kaya, tua -- muda, berpendidikan -- tidak berpendidikan, namun spriritualitas hukum harus tetap mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan. Dari data yang diperlihatkan tentang perbandingan kasus pencurian biasa dengan korupsi menunjukan sebuah sisi kelam penegakan hukum yang ironis dan memilukan. Koruptor yang terbukti merugikan Negara sebanyak miliaran rupiah hanya dihukum 12 bulan penjara. Istilah hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas memang masih saja terjadi di Republik Indonesia ini.Â
Ketika masyarakat lemah, miskin dan tidak sekolah melakukan pelanggaran hukum maka pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang tersebut menjadi sangat tajam. Namun lain halnya kalau yang melanggar itu adalah penguasa, pejabat atau orang berduit, pasal-pasal yang ada  menjadi tumpul. Kondisi inilah yang oleh Donal Black (1976: 21) disebut sebagai Downward law is greater than upward di mana akses keadilan bagi kalangan menengah ke atas menjadi sangat mudah ketimbang kaum marginal atau miskin.Â
Lebih lanjut Najwa Sihab dalam epilognya mengatakan "Di hadapan hukum semua harus setara, Jangan dipengadilan hasilnya malah berbeda, Jangan sampai hukum malah tumpul ke atas, Pada yang lemah hukum justru menjadi buas, Keadilan harus dirasakan oleh semua karena sudah terlampau banyak peraturan, Kini saatnya memperbanyak keadilan". Tentu apa yang dialami oleh Pak Busrin adalah salah satu contoh bentuk ketidakadilan dalam proses penegakan hukum.Â