sering tidak memadai, namun karena mereka juga berulang kali harus dipermainkan oleh kebijakan pemerintah.
Salah satu kebijakan yang kembali menuai kekecewaan adalah janji pemerintah yang akan mengucurkan dana Rp 500.000 per bulan kepada setiap guru. Kontan kebijakan ini disambut dengan gembira oleh para guru. Mereka yang hidup “Senin-Kamis” itu melihat bahwa dengan adanya tunjangan tersebut minimal mereka bisa menggunakannya untuk meningkatkan kualitas diri. Nyatanya, pemerintah hanya akan merealiasikan sebesar Rp 100.000.
Kebijakan yang kerap disebut sebagai plintat-plintut ini memang amat mengecewakan banyak pihak, dari sekian banyak kekecewaan kepada pemerintah. Masih ingat bagaimana kecewanya para guru ketika mereka mengeluhkan nasibnya? Bukannya meresponi positif, Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan dengan nada marah meminta para guru untuk tidak cengeng dengan mengejek diri sendiri.
Lalu kekecewaan berikutnya datang ketika pemerintah memotong dana pendidikan dengan alasan bahwa dana tersebut sudah termasuk ke dalam anggaran dana pembangunan pendidikan di sektor lain. Kamuflase anggaran pendidikan ini kemudian dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi atas gugatan PGRI.
Namun sesunggunya kekecewaan masih banyak. Ada dana BOS yang disunat oleh oknum tertentu. Bahkan seorang guru dari daerah terpencil menyatakan bahwa dana untuk sekolah kebanyakan berputar-putar di Dinas Pendidikan, tanpa pernah tersalurkan kepada masyarakat dan guru yang membutuhkan.
Fenomena terakhir adalah ketika permainan politik datang ke sekolah. Hal ini mengemuka ketika voucher bantuan pendidikan disampaikan menggunakan saluran yang tak lazim, yaitu pelaku politik. Tindakan yang ternyata sudah lama dilakukan ini adalah sebuah model dari politisasi pendidikan. Model inilah yang membuat persoalan pendidikan tak pernah putus. Dari masalah ke masalah tak pernah diselesaikan karena pendidikan dianggap sebagai komoditas politik yang bisa diperjualbelikan untuk kepentingan politik tertentu.
Apa boleh buat, nasib guru memang demikian pula. Persoalan politik selalu saja mengedepan ketika ada kepentingan tertentu di dalamnya. Padahal bagaimana pun sepanjang nasib guru tidak pernah selesai, maka persoalan pendidikan juga tidak akan pernah selesai dalam batasan tertentu. Artinya, kita tidak akan mungkin memaksa mereka untuk bekerja melebihi kapasitas yang ada karena penghargaan yang kita berikan memang tidak memadai untuk itu.
Sampai kapan nasib guru akan terus begini? Persoalan penting adalah bahwa lembaga yang menyatukan para guru semisal PGRI juga tidak memiliki kekuatan bargaining untuk mendesak dan memaksa pemerintah. PGRI dianggap hanya sebagai sebuah paguyuban semata yang hanya akan bergerak tidak berdasarkan kepentingan taktis tertentu.
Yang menjadi masalah adalah andaikan para guru memperjuangkan nasibnya melalui jalur lain, katakanlah lembaga politik semisal DPR, nasibnya tidak akan jauh berbeda. Lihat saja kasus voucher pendidikan tadi, nyata-nyata pemerintah bermain mata dengan DPR supaya mereka tetap mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang menyangkut para guru.
Inilah persoalan yang sangat menyedihkan kita. Para guru yang notabene adalah pekerja pendidikan yang menutupi kelemahan pemerintah dalam membangun negeri ini ternyata diperlakukan dengan amat tidak hormat oleh pemerintah. Maka tidak ada jalan keluar selain bahwa para guru harus berjuang untuk hal itu. Para guru harus menyatukan langkah untuk mengadvokasi dan mengkomunikasikan kepentingan kepada semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H