Mohon tunggu...
Emilisa Rosina
Emilisa Rosina Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berbeda Bukan Berarti Tak Sama

7 Juni 2012   08:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:18 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah bangsa majemuk. Artinya, keberagaman agama, suku, bahasa dan budaya adalah asetbesar yang tak ternilai harganya. Kekayaan dari keberagaman itu terlihat jelas dari semboyan Bhineka Tunggal Ika yang bermakna “meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan.”

Saudara-saudara sekalian, hal yang ingin saya bahas dalam tulisan ini adalah bagaimana kita saling menghargai satu dengan yang lainnya. Belum lama ini, yaitu pada Rabu 9 Mei 2012 waktu dini hari, masyarakat dikejutkan dengan adanya peristiwa tawuran yang terjadi di Dusun Glendongan, Depok, kawasan Babarsari, Sleman, Yogyakarta. Bentrokan antara mahasiswa dan warga terjadi sekitar pukul 02.00 WIB ini diduga karena salah paham dari cekcok masalah parkir di Jalan Babarsari.

Dua orang mahasiswa (berasal dari daerah timur Indonesia) dan dua orang warga (daerah setempat) yang terlibat percekcokkan itu berkelahi, tapi bisa diselesaikan oleh ketua RT setempat. Dua jam kemudian, sekitar pukul 04.00 WIB, salah seorang warga Glendongan dipukuli orang. Diduga pelakunya adalah mahasiswa yang sedang mabuk minuman keras. Kejadian itu terjadi di depan salah satu warnat di Jalan Babarsari. Akibatnya, warga marah dan mencari si pelaku pemukulan tadi, namun salah orang dan akhirnya bentrokan semakin memanas dan tidak terkendali. Sejumlah mahasiswa luar Jawa dengan membawa senjata tajam seperti parang, panah, balok, dan batu melakukan penyerangang ke rumah warga sekitar Babarsari. Sedikitnya dua puluh empat rumah dan ruko rusak serta tiga korban luka mengalami luka-luka. (http://jakartamagazine.com/bentrok-dan-tawuran-di-babarsari-sleman-ini-dia-kronologisnya/).

Permasalahan di atas sempat menjadi topik hangat di beberapa jejaring sosial, terutama twitter. Akibat terlalu banyak statement yang muncul, masalah kemudian merembet pada perbedaan-perbedaan yang bukannya menyelesaikan masalah tapi justru semakin menambah peliknya kasus tersebut. Masalah itu adalah perbedaan latar belakang para pelaku, terutama latar belakang daerah (dari Indonesia bagian timur dan dari daerah sekitar peristiwa).

Saya menemui beberapa orang yang menjadi “anti” terhadapsekelompok orang tertentu, tetapi menggeneralisasikannya dengan perlakuan yang tidak tepat.

Hal ini saya temui pada penjual nasi padang di dekat kost saya. Saat saya sedang makan siang disana, ada beberapa mahasiswa yang juga ingin makan siang di tempat itu. Sangat terlihat dari bahasa non verbal dua orang penjual nasi padang itu bahwa mereka tidak suka dan takut dengan kedatangan sekelompok mahasiswa tersebut. Ketidaksukaan mereka ditunjukkan dengan sedikit mengacuhkan para mahasiswa dengan berpura-pura sibuk dan berbisik-bisik sambil memandang dengan pandangan sindiran. Ternyata, mahasiswa yang makan disana adalah sekelompok mahasiswa yang berasal dari Indonesia bagian timur.

Ada juga teman kampus saya yang menjadi sedikit “anti” terhadap kelompok tertentu. Teman saya ini adalah mahasiswa yang berasal dari Indonesia bagian timur. Saat kami bertemu, ia menceritakan pada saya kasus yang sama tetapi dengan sudut pandang yang berbeda. Ia menceritakannya dengan nada menggebu-gebu dan menyalahkan kelompok satunya dengan memakai persepsi-persepsi tertentu yang menunjukkan bahwa ia adalah orang timur yang keras.

Kedua pandangan di atas bukanlah untuk diperdebatkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Kasus ini adalah kasus hukum yang bisa diselesaikan melalui proses peradilan bukan melalui judgements dari pihak-pihak tertentu.

Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan pada kalian:


  1. Mari klarifikasi kebenarannya. Apakah memang benar bahwa kita telah mengetahui kronologi peristiwa dari sumber yang dapat dipercaya, atau kita hanya mendengarkannya word of mouth sehingga memiliki efek misinterpretasi yang lebih besar?
  2. Jangan mudah terpancing. Masalah ini adalah masalah yang seharusnya diselesaikan secara hukum, bukan melalui kekerasan fisik sehingga kita tidak perlu ikut “adu tonjok”.
  3. Kembangkan pemahaman kita mengenai multikulturalisme. Multikulturalisme berbeda dengan pluralisme. Pluralisme adalah paham yang menghargai perbedaan, tapi tetap ada posisi mayoritas dan minoritas dalam masyarakat sedangkan multikulturalisme adalah paham yang menghargai perbedaan, tapi tidak mengenal posisi mayoritas dan minoritas.

Jadi, mari kita pahami bermacam-macam perbedaan yang ada dalam lingkungan kita sebagai pemersatu, bukan sebagai perbedaan yang dapat memicu terjadinya berbagai konflik antar sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun