Mohon tunggu...
Emil Bachtiar
Emil Bachtiar Mohon Tunggu... -

Bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Lebih Cepat Lebih Baik atau Lambat Asal Selamat?

16 Agustus 2010   10:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:59 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebagai bagian dari masyarakat modern dan industrialis, kita tentunya paham bahwa kecepatan merupakan bagian dari produktivitas. Semakin cepat kita bekerja, semakin banyak output yang kita hasilkan. Di dalam bisnispun, cepatnya perputaran merupakan kunci untuk menghasilkan pendapatan yang besar. Karena itu, banyak perusahaan yang menerapkan strategi margin rendah volume tinggi, untung yang lebih kecil, selama uang dapat diputar kembali.

Dengan keyakinan semakin cepat semakin produktif dan semakin produktif berarti semakin menghasilkan kekayaan, maka bekerja cepat menjadi bagian dari budaya. Dengan kecepatan kerja yang tinggi maka orang akan menjadi sibuk dan semakin seseorang berarti dia semakin penting, karena kesibukan mencerminkan banyaknya beban kerja dan keputusan yang harus diambil.  Orang sibuk adalah orang yang berhasil kerja atau berbuat lebih banyak karena lebih cepat. Orang-orang sibuk akhirnya menciptakan budaya 24/7/365, dan selalu merasa kekurangan waktu.

Berbagai upaya dilakukan untuk menambah kecepatan. Otomasi, yaitu menggantikan orang dengan mesin, atau menjadikan orang bekerja seperti mesin merupakan salah dua cara. Di masyarakat juga budaya kerja cepat ini menciptakan berbagai dukungan, seperti fast food, speed reading, jalan tol bebas hambatan, sampai dengan program akselerasi di sekolah. Program pendidikan harus memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk dapat menyelesaikan sekolahnya secepat-cepatnya. Sekarang ini, seorang siswa yang cerdas diharapkan dapat menyelesaikan pendidikan sekolah 3 tahun dalam tempo 2 tahun melalui program akselerasi. Mahasiswa di Indonesia diharapkan dapat lulus dalam 3,5 tahun dari program pendidikan 4 tahun. Dan di luar negeri, program pendidikan S1 sekarang ini pada umumnya merupakan program 3 tahun. Mahasiswa abadi sudah tidak ada karena sebuah universitas dianggap tidak produktif jika menghasilkan lulusannya dalam tempo 7 tahun.

Bahkan untuk beribadah hajipun disediakan fasilitas jalur cepat, yaitu ONH plus, yang memberikan kesempatan bagi umat muslim yang sibuk untuk menyelesaikan ibadah haji lebih cepat sehingga bisa kembali produktif di masyarakat. Masyarakat perlu kecepatan. Semakin cepat, semakin produktif. Semakin cepat, semakin baik.

Obsesi terhadap kecepatan pada akhirnya menghasilkan juga suatu masyarakat yang ingin menghasilkan dan memperoleh sesuatu dengan kecepatan instant. Proses diupayakan sependek mungkin. Lalu juga diupayakan untuk menciptakan jalan-jalan pintas, untuk memperpendek proses. Berlomba dalam kecepatan dan kesibukan pada akhirnya menyebabkan banyak orang yang mengalami kekurangan waktu. Mereka tidak memiliki waktu untuk berkumpul bersamakeluarga, bersilaturahmi dengan kerabat, dan menikmati hari libur. Mereka bahkan tidak memiliki waktu untuk diri sendiri, menyendiri memberi kesempatan pada diri sendiri untuk berefleksi atas pekerjaan dan kesibukannya. Semua orang merasakan waktu yang berjalan begitu cepat dan tiba-tiba saja menyadari bahwa mereka telah menjadi tua. Bahkan sering ditemui orang yang memiliki banyak uang tapi tidak memiliki cukup waktu untuk menghabiskan uangnya.

Tidak semua orang senang dengan orientasi kepada kecepatan dan sikap yang terburu-buru. 25 tahun yang lalu, sekitar tahun 1985, di Italia, dimulai suatu gerakan yang disebut Slow Food Movement, sebagai reaksi terhadap kehadiran outlet McDonalds di seluruh wilayah Italia.Gerakan ini berupaya untuk melindungi masakan lokal dari serangan franchise global dengan mengkampanyekan makan siang yang lebih lama dan merayakan makan malam dengan masakan-masakan lokal (pada tahun yang sama di Indonesia sendiri sempat terjadi keresahan dengan kehadiran Kentucky Fried Chicken yang dikhawatirkan akan membunuh usaha masakan ayam goreng lokal).

Slow Food Movement ini kemudian melahirkan Slow City Movement pada tahun 1999. Ada sekitar 31 kota yang bergabung dalam gerakan ini. Bentuk dari slow city movement ini antara lain adalah melarang toko-toko berjualan pada hari Kamis dan Minggu, melarang mobil untuk masuk ke pusat kota, sayur dan buah-buahan yang diberikan di sekolah harus merupakan hasil tanaman organik, bunga KPR yang lebih rendah untuk rumah-rumah yang menggunakan bahan bangunan lokal, penyediaan lokasi yang strategis untuk pengusaha yang berjualan barang-barang dan makanan hand-made. Gerakan yang mendukung perekonomian lokal ini ternyata mengundang turis untuk berkunjung. Berbagai festival lokal diselenggarakan. Banyak orang-orang muda yang kemudian pindah ke kota-kota “lambat” ini karena kesempatan kerja lebih besar. Tingkat pengangguran hanya 5%, separo dari tingkat pengangguran nasional.

Negara lainnya, yaitu Perancis, melaksanakan apa yang disebut slow economics, dalam bentuk jam kerja yang lebih pendek, waktu liburan yang lebih panjang dan proteksiyang kuat terhadap pekerjaan dan industry. Hal yang membingungkan adalah walaupun dengan etos kerja minimal dan jam kerjapun dipotong menjadi 35 jam per minggu, orang-orang Perancis lebih produktif jika dihitung per jam kerja dibandingkan dengan pekerja di Amerika Serikat dan Inggris. Banyak yang berpendapat bahwa tenaga kerja di Perancis lebih trampil untuk mengerjakan tugas-tugas yang rumit. Namun pendapat lainnya adalah tidak bekerja terlalu keras untuk waktu yang terlalu lama mungkin merupakan kunci produktivitas pekerja Perancis. Kebiasaan bekerja lembur dalam jam kerja yang panjang menjadi kurang produktif dibandingkan jam kerja yang singkat. Selain itu, jam kerja yang lebih pendek ternyata menciptakan fleksibilitas yang lebih tinggi dalam menentukan shift untuk kerja akhir pekan, malam hari ataupun pada hari libur nasional. Pegawaipun didorong untuk mencicil cutinya dan tidak digunakan sekaligus dalam jangka waktu yang panjang.

Belgia mengikuti kebijakan 35 jam kerja Perancis. Pemerintah Swedia bahkan mempertimbangkan untuk mengeluarkan kebijakan jam kerja yang lebih pendek dan cuti yang lebih panjang. DI Jerman, VW telah menerapkan 28,5 jam kerja per minggu.Dengan jam kerja yang lebih pendek, Perusahaan memiliki kapasitas berlebih yang bisa digunakan pada saat-saat permintaan meningkat, tanpa harus merekrut dan melatih pegawai baru. Kebijakan ini telah berdampak kepada kenaikan produktivitas dan menciptakan loyalitas kepada perusahaan.

Tren yang kemudian muncul di Perancis adalah semakin banyak orang yangmemilih bekerja dengan status temporer.Para pekerja temporer ini tidak lagi terbatas kepada pekerja-pekerja kasar, tapi juga untuk jabatan-jabatan manajerial, yang bekerja untuk suatu proyek tertentu dengan jangka waktu yang pendek. Para pekerja temporer ini, menurut UU tenaga kerja Perancis, memperoleh hak yang sama dengan pegawai permanen, termasuk jaminan kesehatan dan hari tua. Para pekerja temporer ini awalnya merupakan pegawai permanen yang berhenti bekerjakarena ingin lebih banyak menggunakan waktunya untuk melakukan hal yang disukainya. Kebanyakan dari mereka juga bekerja sebagai tenaga relawan, di lembaga-lembaga internasional.

Slow movement ini kemudian berkembang menjadi berbagai gerakan lainnya, seperti Slow Money, Slow Parenting, Slow Travel, dan Slow Art. Slow Money terkait dengan penghimpunan dana untuk membiayai kegiatan-kegiatan pertanian dan perkebunan yang lebih sehat dan melestarikan produk lokal, slow parenting terkait dengan upaya agar orang tua lebih melepas anaknya untuk menikmati masa kecil dan belajar sesuai dengan kecepatan yang mereka inginkan, slow traveling terkait dengan wisata yang lebih menyatu dengan kehidupan masyarakat setempat, slow art dapat berarti menikmati karya seni secara lebih perlahan, tidak terburu-buru, atau menciptakan karya seni pelan-pelan, dengan memperhatikan hal-hal yang detil dan kecil (wikipedia).

Selain itu, baru-baru ini juga diperkenalkan slow reading. Gerakan ini untuk melawan banjir informasi yang mendorong kita untuk membaca lebih cepat agar menguasai pengetahuan baru lebih banyak. Dengan slow reading pembaca membangun hubungan yang lebih dekat dan kaya dengan informasi yang diberikan oleh satu buku yang pada akhirnya akan membangun ingatan dan kecerdasan yang lebih kaya. Membaca pelan-pelan juga memberikesempatan bagi kita untuk mencerna dan menghayati serta berimajinasi dengan informasi yang diberikan, sehingga memberikan pemahaman yang lebih dalam dan memberi kesempatan untuk melahirkan gagasan-gagasan baru.

Dan sejak beberapa tahun terakhir, setiap tanggal 21 Juni, diperingati sebagai International Day of Slowness, di mana kita mengambil jeda dari arus cepat yang harus kita ikuti,dengan mengerjakan lebih sedikit, menggunakan sebagian waktu untuk berefleksi, mungkin sekedar berjalan-jalan di sekitar kompleks perumahan, memasak, membaca buku, atau tidak melakukan apa-apa.

Slow movement merupakan suatu tanggapan terhadap tren yang memutar dunia lebih cepat, membuat orangterburu-buru dan kekurangan waktu untuk menikmati aspek kehidupan lainnya. Di lain pihak, kita juga menghadapi fenomena kelambanan yang disebabkan oleh kemalasan. Jadi di satu pihak ada orang yang terburu-buru dan di lain pihak ada orang yang malas untuk bergerak. Di Indonesia sendiri mungkin kita menyaksikan berbagai irama kehidupan. Kehidupan yang terburu-buru oleh orang-orang yang bekerja di sektor industri dan kehidupan yang lamban dari birokrasi, serta bagaimana birokrasi memanfaatkan sikap terburu-buru dari industri dengan meminta insentif pelicin ataupun pelayanan premium yang lebih cepat. Tantangan yang dihadapi oleh slow movement adalah menentukan tingkat kecepatan yang tepat, agar tidak terjebak ke dalamkelambanan atau terburu-buru. Mencari titik keseimbangan atau jalan tengah ini yang tidak mudah. Kita selalu bergerak dari satu sisi pendulum ke sisi lainnya.

sumber utama:http://www.newsweek.com/2001/07/01/eat-drink-and-go-slow.html

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun