Mohon tunggu...
Emil Bachtiar
Emil Bachtiar Mohon Tunggu... -

Bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kuli Cangkul dan Pengemis

14 Januari 2010   02:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:28 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

sumber: http://acehindiephoto.blogspot.com/2008/11/job-minta-minta.html Pada perempatan Jl. Karang Tengah – Lebak Bulus 1 - Adhyaksa di daerah Jakarta Selatan, terdapat lampu lalu lintas yang biasanya memaksa kendaraan dari arah Karang Tengah untuk berhenti karena padatnya arus lalu lintas. Kalau kebetulan kita menengok ke pembatas jalan di sebelah kanan kendaraan, tepat di bawah pohon-pohon yang cukup rindang, kita akan menemukan kuli cangkul yang tengah duduk di situ dengan peralatannya, yang biasanya sebuah pacul. Biasanya sejak pagi-pagi buta mereka sudah datang dan berkumpul di situ menunggu mobil yang akan mengangkut mereka untuk bekerja di suatu proyek galian kabel atau lainnya. Jika hari baik, mereka semua dapat segera terangkut dan bisa membawa uang pulang. Tapi jika hari kurang baik, maka sebagian dari mereka yang tidak terpilih akan terlihat duduk-duduk menunggu sampai sore hari. Kebetulan ada seorang kuli cangkul yang sudah agak tua yang tampaknya sudah beberapa hari tidak terpilih untuk dapat bekerja. Kemungkinan uangnya sendiri sudah habis untuk makan, sehingga akhirnya dia menjadi pengemis yang meminta-minta kepada pemilik mobil-mobil yang kebetulan sedang menunggu lampu lalu lintas. Walaupun menjadi pengemis mungkin lebih menghasilkan daripada menjadi kuli cangkul, tetapi kuli cangkul tersebut tidak lalu beralih profesi. Dia tidak setiap hari menjadi pengemis di situ. Malah belakangan ini saya sudah lama tidak melihat dia mengemis. Begitu pula, teman-temannya sesama kuli cangkul juga tidak ada yang ikut-ikutan menjadi pengemis. Saya pernah bertanya kepada sekelompok mahasiswa yang sedang mempelajari Etika Bisnis, apakah etis bagi kita memberi uang kepada kuli cangkul yang menjadi pengemis tersebut. Hampir seluruhnya menjawab bahwa tindakan tersebut tidak etis, karena bapak kuli cangkul tersebut dalam keadaan tidak cacat. Seharusnya dia bisa mencari pekerjaan lain. Ada satu atau dua mahasiswa yang menjawab tindakan tersebut etis, karena mencari pekerjaan tidaklah mudah. Lalu saya menanyakan lagi, seandainya kuli cangkul tersebut “bekerja” dengan bernyanyi diiringi tepuk tangan (atau botol aqua yang diisi batu) di jendela mobil, apakah para mahasiswa akan memberikan honor untuk hiburan tersebut. Jawaban mereka belum tentu, tergantung apakah nyanyiannya bagus atau tidak. Jika kuli cangkul tersebut “bekerja” mengelap kaca mobil, apakah akan diberikan honor. Seluruhnya menjawab tidak, karena tidak memerlukan jasa pengelapan kaca mobil. Bahkan mereka berkeberatan kaca mobilnya dibersihkan oleh kuli cangkul. Apakah jika kuli cangkul berusaha menjual minuman air mineral atau koran, mereka akan membeli? Jawabannya, tergantung kebutuhan. Pertanyaan terakhir, jika kuli cangkul tersebut tidak meminta uang, tapi meminta pekerjaan, apakah akan diberikan? Jawabannya adalah mereka tidak punya pekerjaan yang dapat diberikan. Buntut-buntutnya mereka menyatakan bahwa tanggung jawab Pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja bagi warganya. Dan jika Pemerintah tidak mampu, apa yang bisa dilakukan oleh pak kuli cangkul tersebut? Kemudian kita berdiskusi, seandainya orang tidak memberikan uang kepada kuli cangkul yang mengemis tersebut, dan akibat pergaulan yang kurang baik, kuli cangkul tersebut mencari uang dengan cara mencopet dan setiap minggui dia mencopet satu orang. Maka dalam satu tahun dia telah merugikan 52 orang. Seandainya dia, bersama teman-temannya, mencuri atau merampok, satu rumah dalam 1 minggu dan setiap rumah terdiri dari 5 orang penghuni, maka dia telah merugikan sekitar 260 orang. Dengan demikian, menjadi pengemis, walaupun menurut Majelis Ulama Indonesia menjadi diri hina dan merugikan orang lain, tapi masih merupakan pekerjaan yang lebih baik daripada menjadi pencopet ataupun perampok karena tidak ada pemaksaan dalam hubungan antara pengemis dan penderma dibandingkan dengan hubungan antara pencuri dan korbannya. Memang yang sering terjadi adalah unsur penipuan (pura-pura miskin, sementara rumah mereka ternyata bagus di kampungnya) dan penyiksaan anak kecil (dijemur panas-panas) tapi pemberian uang dilakukan dengan sukarela dan sepenuhnya dengan seizin pemilik uang. Dan bagi masyarakat di negara dengan lapangan kerja terbatas ini, pemberian uang kepada pengemis malah dapat mencegah kriminalitas dan kerugian yang lebih besar, yaitu terciptanya lebih banyak pencuri dan perampok. Dan sulit sekali membandingkan antara pengemis dengan pegawai negeri dan anggota DPR yang korupsi. Bayangkan saja, mereka sudah makan dari gaji yang dibiayai oleh lebih dari 200 juta rakyat Indonesia dan dengan sekali korupsi mereka langsung merugikan 200 juta orang yang membayar gaji mereka. Dan bayangkan lagi, diantara orang-orang yang dirugikan oleh koruptor itu adalah pengemis-pengemis yang hina dan malas itu, yang mungkin terpaksa menjadi pengemis akibat negara tidak dapat memberikan lapangan kerja bagi mereka karena anggaran Pemerintah telah dikorupsi. Dan lebih jahat lagi, seorang koruptor biasanya menyebarkan virus korupsi kepada lingkungannya, untuk berbuat yang sama. Dengan perbandingan seperti ini, sulit sekali membayangkan betapa hina dan jahatnya koruptor-koruptor itu. Paling tidak, dilihat dari jumlah orang yang dirugikan, kehinaan dan kejahatan mereka paling tidak 1.000.000 kali lipat dibandingkan copet dan maling. Ironisnya, Majelis Ulama Indonesia malah menyibukkan diri mengharamkan pengemis daripada berpartisipasi memberantas korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun