Sudah lama saya mengagumi Daniel Ziv. Pertemuan saya dengan karyanya berawal di awal tahun 2000an melalui majalah Djakarta Magazine. Majalah ini unik dan menarik dalam hal memiliki sudut pandang yang berbeda, dengan hal-hal di sekitar kita di Jakarta yang disajikan secara lucu. Selain itu, majalah ini dipenuhi dengan foto-foto besar yang bagus dan unik. Sayang, majalah ini kemudian tidak berumur panjang, setelah dicoba dipertahankan menjadi majalah gratisan.
Tidak lama kemudian, Daniel menerbitkan buku yang berjudul Jakarta Inside Out, dengan lay-out mirip majalah Djakarta. Buku ini semacam panduan hidup di Jakarta, terutama hal-hal yang tidak umum pada buku-buku travel. Misalnya mengenai asongan, bajaj, ojek, Blok M, gorengan , teh botol, joki 3 in one dan lain-lain. Setelah itu, saya sempat menemukan bukunya yang berikutnya terbit, yaitu Bangkok Inside Out. Pada saat itu, saya berpikir bahwa dia sudah pindah ke Bangkok. Ternyata dia masih di Jakarta dan sejak tahun 2006, sepanjang 6 tahun, ia mengikuti kehidupan pengamen. Hasilnya adalah dua film. Filmnya yang pertama adalah Street Ballad – A Jakarta Story, sebuah film dokumenter mengenai pengamen Titi untuk TV. Film ini diputar di PBS Amerika Serikat dan mendapat pujian dari New York Times. Film yang kedua adalah Jalanan yang pada saat ini sedang tayang di dua bioskop jaringan Studio 21.
Sebagai follower dari twitter Daniel Ziv, yang mengikuti secara sekilas mengenai film-filmnya. Namun baru pada hari Jumat lalu, 11 April 2014, saya lebih mengetahui film tersebut melalui acara Kick Andy di Metro TV. Selanjutnya saya membaca ulasannya pada Kompas Minggu dan kemudian Koran Tempo, yang semua memuji film tersebut karena menggambarkan orang-orang yang berjuang melawan kemiskinan dengan jenaka tanpa ratap tangis.
Sebagai penggemar Daniel Ziv, sayapun bergegas untuk menonton film tersebut dengan harapan akan menikmati sajian tontonan sebagaimana yang disampaikan oleh para pengulas. Film ini memang bagus dan unik, tapi tidak terlalu istimewa, terutama untuk saya yang sering juga naik metro mini dari terminal Blok M dan menikmati pengamen yang turun naik bis.Mungkin juga menjadi tidak terlalu istimewa karena cukup banyak dokumenter mengenai dinamika kesulitan hidup, seperti dokumenter BBC mengenai Toughest Place to Be, yang antara lain meliput kehidupan tukang sampah di Jakarta.
Film ini memang sebetulnya bukan tentang pengamen, tapi lebih merupakan kritik sosial atas korupsi dan ketidak-becusan Pemerintah dalam mengelola negara, yang digambarkan dalam bentuk banjir. Film ini juga ingin menceritakan mengenai Reformasi Maturbasi, kalau mengutip judul lagu Ho. Masalahnya kemunafikan dan ketidak-becusan Pemerintah ini juga sering kita tonton di berbagai berita pada stasiun televisi swasta. Namun semuanya ini tidak menolong saya mengatasi rasa kantuk  di beberapa adegan. Hal yang membuat saya tetap dapat menikmati film ini adalah gambar-gambarnya yang bagus-bagus, yang memang menjadi kelebihan dari Daniel Ziv dan lagu-lagu yang dibawakan oleh para pengamen tersebut, terutama lagu Alhamdulillah yang dibawakan oleh Titi. Bayangkan seorang pengamen yang hidupnya kurang beruntung mengajak orang lain yang lebih beruntung untuk bersyukur.
Mungkin yang mengganggu saya dalam film ini adalah Ho. Ho sepertinya berupaya untuk menjadi seorang bijak dengan ceramah-ceramahnya. Terus terang, saya sering juga bertemu dengan orang seperti Ho, yang semangat untuk menasehati orang lain itu. Jadi, saya agak capek dengan dengan ceramahnya Ho.
Sementara itu, saya juga tidak terlalu berkesan dengan Titi. Kehidupan Titi yang paling menarik pada saat dia masih menikah dengan Jagger dan menumpang tinggal di rumah mertuanya yang merupakan guru ngaji. Menonton suami Titi yang pengangguran dan sibuk dengan ikan-ikannya. Hal yang mengharukan pada saat Titi menceritakan bagaimana dia harus membagi pendapatannya, seperempat untuk membiayai suaminya membeli rokok dan makanan ikan.  Namun kemudian perceraian mereka yang tiba-tiba membingungkan, karena tidak ada kesan bahwa mereka tidak cocok. Dan pemaparan mengenai kehidupan keluarga Titi di kampung bagi saya juga biasa saja, karena tidak tergambarkan bagaimana kesulitan kehidupan mereka.
Kehidupan Boni, Ho dan Titi sebagai pengamen  sebetulnya tidak terlalu tergambarkan. Mungkin memang akan membosankan melihat gambar pengamen yang naik turun bus. Namun ketika banyak muncul adegan hujan dan banjir, sebetulnya saya berharap ada gambar mengenai apa yang dilakukan oleh pengamen-pengamen tersebut.
Beberapa peristiwa yang terkesan rekayasa, bukan dokumenter, menurut saya adalah pada saat Ho ditangkap Satpol PP dan pada saat Titi memberi sambutan pada upacara penyerahan ijazah. Tidak jelas bagaimana proses penangkapan Ho dan bagaimana Daniel Ziv bisa ikut mobil satpol PP yang membawa Ho ke panti sosial. Dalam dokumenter Michael Moore, proses pembuatan film, termasuk misalnya negosiasi dengan petugas satpol PP, juga menjadi bagian dari dokumentasi. Peristiwa lain yang terkesan rekayasa adalah pada saat Titi memberikan kata sambutan pada saat upacara pemberian ijazah SMA.
Bagi saya, orang yang paling menarik dalam film ini adalah Boni. Dia tidak banyak omong dibandingkan dengan Ho dan Titi. Dia juga tidak dapat menulis. Tapi lirik lagunya bagus sekali. Kehidupannya yang sejak kecil di jalanan merupakan kisah yang paling sedih bagi saya. Dia mulai dari pengamen cilik dengan kecrekan, sampai kemudian menjadi penjual koran, pedagang asongan dan akhirnya menjadi pengamen, setelah belajar gitar dan harmonika. Kelihatannya dia juga sudah terbiasa menerima kekerasan sebagai anak jalanan, termasuk dipaksa untuk minum segelas air kencing. Adegan yang paling mengharukan bagi saya adalah pada saat Boni mengobrol dengan istrinya, membicarakan kekhawatiran mereka bahwa tempat tinggal mereka di kolong jembatan akan digusur. Boni berusaha menghibur istrinya (dan dirinya sendiri) dengan mengatakan bahwa mereka tentunya tidak ingin selamanya tinggal di kolong jembatan. Mereka tidak ingin kalau nanti cucunya menemui kakek-neneknya tinggal di kolong jembatan. Mereka mengobrol dengan semangat bahwa masa depan mereka akan lebih baik. Tapi sebetulnya mereka juga tahu, bahwa masa depan mereka sebetulnya gelap. Â Dan film ini dengan indahnya menggambarkan kegelapan masa depan Boni dengan gambar yang meredup, yang mengakhiri film ini.
Film mengenai orang bawah, atau orang yang termarginalisasi, meminjam istilah yang digunakan Ho, mungkin menarik bagi orang-orang yang beruntung yang selama ini terlalu sibuk menikmati hasil keberuntungannya sehingga tidak melihat kehidupan orang lain yang kurang beruntung, sebagaimana yang menjadi penutup dalam ulasan Koran Tempo. Bagaimana kita menikmati perjuangan dan semangat para pengamen itu di kursi empuk ruang teater XXI yang sejuk, sementara itu kita sendiri mungkin kurang peduli dengan mereka yang ada di jalanan sekitar kita.
Menonton Jalanan mengingatkan saya kepada Sindhunata. Romo Sindhu ini di antara akhir tahun 1970an dan awal tahun 1980an banyak menulis feature di Kompas mengenai semangat sekaligus keikhlasan orang-orang bawah yang kurang beruntung secara ekonomi dan mengalami ketidak-adilan secara hukum di mana mereka harus hidup dicukup-cukupkan. Tulisan-tulisan itu kemudian dibukukan oleh Penerbit Kompas menjadi 5 buku, yaitu Dari Pulau Buru ke Venezia, Segelas Beras Untuk Berdua, Ekonomi Kerbau Bingung, Petruk Jadi Guru dan Burung-Burung di bundaran HI. Sayang sekali, Romo Sindhu sudah tidak menulis feature lagi dan belum ada orang yang dapat menggantinya. Menonton Jalanan membuat saya teringat dan kangen dengan tulisan Romo Sindhu. Tulisan yang mengajak kita untuk menyadari keberuntungan yang  kita peroleh,  dan menyukurinya dengan membantu orang-orang yang tidak beruntung, yang harus berjuang agar dapat menjalani dan mempertahankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H