Kisahku Mengalami Toleransi
Oleh: Emilianus Elip
Saya hampir tidak percaya jika dikatakan bahwa bangunan rasa toleransi di Indonesia akhir-akhir ini retak. Apalagi retak parah hampir pecah. Selama lebih dari 15 tahun terakhir saya keluar masuk hampir diseluruh wilayah Indonesia, entah dalam rangka membantu kegiatan lembaga sosial atau kegiatan-kegiatan dari institusi-institusi pemerintah di Pusat. Mulai dari Jayapura, Wamena, seluruh kabupaten di Kupang, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Tengah, Kalimantan Selatan, seluruh Jawa, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, bahkan saya yang Katolik ini pernah menjelajah Aceh selama 3 tahun di pusat-pusat komunitas Muslim paling dalam seperti Lhokseumawe, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar, Kab. Bener Meriah dan Aceh Tengah, serta Kota Banda Aceh.
Saya ingin katakan, bukan saja karena (mungkin) saya mencoba berpandai-pandai membawakan diri di seluruh masyarakat yang saya pernah hidup tadi, tetapi tentu saja saya percaya "ada sebuah ruang terbuka" di hati para masyarakat itu untuk menerima kehadiran orang lain diluar adat, kebiasaan, dan religiusitas mereka. Saya amat percaya itu!
Saya terkadang terperanjat. Terkejut campur penasaran. Oleh karena ketidaktahuan saya atas adat, kebiasaan setempat sehari-hari, atau aturan-aturan dalam adat religiusitas mereka, kesalahan-kesalahan saya malah justru "ditertawakan", menjadi lelucon bagi mereka. Saya ditertawakan, tetapi kemudian diberitahu jangan begini atau begitu, sebaiknya begini sebaiknya begitu.... Anehnya tidak ada amarah ketika pertama kali saya muncul dalam masyarakat-masyarakat yang saya sebutkan tadi.
Mereka ternyata punya hati "reserve" (ruang terdalam dalam hati mereka) untuk sesungguhnya mampu memaafkan atas orang lain yang tidak tahu. Saya selama bergaul di berbagai komunitas dan institusi pemerintah di Aceh misalnya, kadang tidak melakukan salam seperti kebiasaan saudara Muslim kalau membuka diskusi atau rapat, tetapi saya --maafkan jika tidak sidang pembaca tidak berkenan-- kadang mengutip salam saudara-saudara saya yang Muslim. Dan tokoh agama, tokoh pemerintahan daerah, tokoh adar, serta rekan-rekan saya di Aceh tidak memcibir apalagi marah terhadap saya.
Semua ini karena mereka tahu saya seorang Katolik, non Muslim. Tapi bagi saya jelas bisa saya rasakan, bahwa tidak sampai hati atau tidak terpikir dibenak mereka untuk mengatakan bahwa saya "kafir". Kalau mereka menganggap saya kafir, pasti sejak beberapa bulan pertama saya di Aceh, saya sudah disuruh pergi keluar dari Aceh. Dan saya.... 3 tahun bergerak hampir diseluruh kabupaten di Aceh dalam rangka tugas saya. Yang hendak saya katakan adalah bahwa, meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia adalah Muslim, mereka sadar bahwa di lingkungan mereka ada kelompok lain non Muslim. Saudara-saudara kita Muslim dipelosok-pelosok tanah air ini, adalah orang-orang bersahaja dalam meyakini religiusitas mereka dan oleh karena itu "tidak beringas" atas apapun perbedaan yang ada.
 * * *
Ini kisah menarik yang ingin saya bagikan buat Anda... Ketika tiba waktunya hari Jum'at, dimana sahabat-sahabat Muslim harus Sholat di Masjid, saya sering terpaksa beristirahat diwarung karena perjalanan pulang ke kantor saya masih jauh. Saya pikir lebih baik duduk di warung dari pada berkeliaran di jalanan yang pasti amat sepi karena semua orang Sholat di Masjid. Warung itu terletak di sebuah pasar, di Kec. Redelong, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Dan Masjid itu berdiri hanya dibalik pasar. Saya non-muslim dibelantara hutan masyarakat Muslim, Aceh lagi!
Si empunya warung tidak mengusir saya. Justru dia bertanya "Bapak non-Muslim?, bapak duduk di sini saja, tidak apa-apa, justru saya titip warung saya". Kemudian si empunya warung menutup pintu warung dengan korden. Tentu orang lain di luar warung tahu bahwa di dalam masih ada saya, yang sedang jajan. Dan sepertinya semua orang paham bahwa ada seorang non-muslim sedang jajan di warung itu. Saya tidak takut atau resah sedikit pun, seakan-akan saya tahu persis bahwa pasti tidak akan terjadi "hukum rajam" kepada saya. Setelah Sholat Jum'at selesai, warung kembali penuh orang yang jajan sesuai menunaikan ibadah.
Orang-orang yang saya temui tadi di warung sebelum Jum'atan pun datang lagi...mereka senyum-senyum saja kepada saya, bahkan satu dua mulai mengajak saya bicara dari mana, ada keperluan apa, apa kerjanya, sudah lamakah di Aceh, di Aceh tinggal di mana, sudah berkeluarga atau belum.....dll. Semua terjadi begitu saja...mengalir indah...tak satupun bermuka amarah..... Hal seperti ini tidak hanya satu atau dua kali saja, tapi berpuluh-puluh kali hampir disemua kota kabupaten di Aceh yang pernah saya kunjungi...