WTP: "Menembus Batas Hambatan Kultural"
Oleh: Emil E. Elip
Harian Serambi 30/6/2010 lalu menurunkan berita kecil, yang sesungguhnya merupakan perkara besar, berjudul "Sabang Kembali Dapat WTP" untuk tahun 2009, dimana tahun 2008 juga telah mengantongi predikat ini. Jadi setidaknnya sudah enam kabupaten/kota di Propinsi Aceh yang berhasil meraih WTP (Wajar Tanpa Pengecualian), yakni Aceh Tengah, Lhokseumawe, Banda Aceh, Langsa, Pidie Jaya dan Sabang (lihat juga Serambi 5/9/2009). Mengapa predikat WTP dari BPK-RI perwakilan Aceh ini merupakan perkara besar?!
Dalam konteks Aceh predikat WTP ini menjadi perkara besar karena tiga ranah alasan, yaitu: Pertama, sistem keuangan daerah pernah dibuat "kalang kabut" karena keluarnya tiga peraturan Pusat dalam rentang waktu amat pendek. Belum paham yang satu sudah muncul yang baru. Baru dibaca-baca hendak dicoba diterapkan yang baru ini, eh...datang yang terbaru!! Tahun 2006 muncul Permendagri no. 26 tentang Pedoman Penyusunan APBD, kemudian muncul Permendagri No. 13 Tahun 2007, dan diperbaharui lagi dengan Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Aparatur di daerah terpaksa melaksanakan sistem keuangan "campur aduk" lantaran intepretasi yang berbeda-beda atas tiga pedoman keuangan tersebut.
Carut marut ini ditambah lagi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 mengenai Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Daerah, yang memaksa pemerintah daerah secepat-cepatnya merombak struktur organisasi, termasuk memusatkan segala urusan keuangan dan asset daerah di bawah satu instansi yang disebut Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD).
Kedua, Propinsi Aceh belum lama menata pemerintahannya menuju good-governance dalam situasi keamanan yang lebih stabil, namun sudah mampu beberapa kabupaten/kota-nya meraih predikat keuangan daerah cukup prestisius. Ketiga, dalam konteks Aceh yang secara sosio-kultural amat kental ikatan-ikatan kekerabatan serta relasi primordial-paternalistiknya, tentu membutuhkan "energi" yang luar biasa besar guna mencapai WTP.
Tulisan pendek ini ingin mereintepretasi kembali capaian WTP oleh beberapa kabuaten/kota di Aceh bukan dalam ranah ekonomi-akuntansi, namun ingin masuk kedalam tema-tema analisa sosio-kultural guna memperkaya konteks pembelajaran kita.
Melompati Sekat Primordial-Paternalistik
Dari sudut bahasa ekonomi-akuntansi penilaian WTP tersebut hendak melihat performa akuntabilitas dan transparansi sebuah pemerintahan kabupaten/kota menerapkan sistem keuangannya: Tepat waktukah dia; Sesuai kaidah peraturankah dia; Adakah temuan ke arah korupsi; Transparankah dia; dll. Yah...secara teknis sesungguhnya sederhana saja dan umumnya di daerah sudah memiliki format yang computerise. Namun jika ingin ditilik dari sudut konteks sosio-kultural, masalah "keuangan" tidaklah sesederhana itu!
Pada awal-awal penerapan tata kelola keungan yang baik pasti muncul penolakan atau perlawanan. Tentu saja penolakan tersebut tidak mungkin terungkap secara verbal.Namun, persis pada ranah "penolakan" inilah maka mewujudkan performa pengelolaan keuangan yang baik ternyata bukan sekadar menegakkan Qanun Pengelolaan Keuangan Daerah, standardisasi harga barang, penerapan software keuangan, atau ketersediaan bendaharawan serta akuntan handal. Dengan kata lain ada tema sosio-kultural yang mesti diperbincangkan bahkan kalau perlu sekat hambatan yang ada harus "ditembus".
Menerapkan performa pengelolaan keuangan yang baik di pemerintahan lokal memerlukan energi yang luar biasa besar. Energi yang terus bergerak terfokus dilandasi leadership dan political will kuat, untuk melompati sifat sektoral instansi yang egonya minta ampun, dan lebih-lebih lagi menembus sekat-sekat hambatan dasar kultural di tingkat kesadaran individu serta masyarakat. Seperti kita semua tahu bahwa primordial-paternalistik adalah satu ciri sifat dasar budaya bangsa kita, termasuk di masyarakat Aceh. Ringkasnya, sifat budaya ini ialah kecenderungan memberikan penghormatan atau bentuk-bentuk prevelese lain terhadap orang/pihak yang dianggap "dituakan" atau secara ikatan kekerabatan dianggap "lebih tinggi", dan disisi lain juga mengutamakan relasi ikatan "keluarga" (bisa suku, marga, silsilah, dll) atau "kelompok" (bisa ideologi agama, asal usul daerah, partai, dll).
Tempat hidup sifat primordial-paternalistik ini ada di dalam individu. Dari individu kemudian menjalar ke jalinan keluarga dan kemudian meluas ke komunitas dan masyarakat. Di masyarakat yang sistem kekeluargaannya dan ikatan kelompoknya kuat maka cenderung tumbuh subur sifat primordial-paternalistik itu, dan mewabah ke hampir semua bentuk relasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Idikasi-indikasinya antara lain: bekerjanya bentuk-bentuk kolusi dan koneksi; mendahulukan ikatan keluarga demi gengsi keluarga besar; takut dianggap "tidak tahu diri" (tidak paham balas budi) jika tidak memberikan prevelese; dll.
Maka jika seseorang atau kelompok aparatur hendak mewujudkan dengan tegas kebijakan akuntabilitas keuangan, jelaslah akan terjadi perlawanan, penolakan, mekanisme menghindar dengan segala macam bentuk. Sangat mungkin terjadi bahwa yang "menolak" ada pula oknum dari garis kekerabatannya sendiri dan/atau dari dalam relasi primordialnya.
Melawan Sikap Dasar Budaya
Dari penelaahan penulis terhadap artikel yang membahas sikap dasar budaya masyarakat Aceh ("Tentang Tueng Bila"-http://plik-u.com-9/12/2009; "Siapakah Orang Aceh"-Kris Bedha Somerpes-http://umum.kompasiana.com-25/9/2009), setidaknya ditemukan bahwa: orang Aceh sangat mengutamakan menegakkan kehormatan diri dan keluarga; loyal dan patuh kepada "pimpinan"; haram dipermalukan apalagi di tempat umum; cenderung temperamental; dll. Pandangan-pandangan ini memang belum merupakan hasil penelitian akademis, tetapi kiranya bolehlah kita sebut mendekati realitas yang ada.
Persoalannya adalah setiap orang Aceh, yang kini berstatus pimpinan maupun bukan pimpinan di birokrasi pemerintah, mereka memahami semuanya ini. Bahwa di dalam diri mereka "bekerja" sikap dasar budaya tersebut. Oleh karena itu siapapun yang hendak menegakkan peraturan perundangan, dalam hal ini penerapan tatakelola keuangan yang baik, dia menghadapi dua dilema besar: Pertama, melawan rasa "tidak enak", keraguan serta kebimbangan di dalam dirinya karena adanya stereotip budaya ini; dan Kedua, dia sendiri tahu bahwa di luar dirinya akan datang oposisi dari relasi-relasi primordial-paternalistiknya. Para aparatur "pencetus" gagasan baik, yang tidak kuat atau goyah memegang fokus pada perubahan sistem pengelolaan keuangan pasti akan lembek, dan gagasan bagus itu tinggal isapan jempol bahan parodi media massa dan komunitas di warung-warung kopi.
Mematahkan "Primus Inter Pares"
Seorang kepala badan, kantor, atau dinas dalam wacana model kepemimpinan (instansi pemerintahan) daerah di Indonesia, boleh dibilang semacam "raja kecil" di kerajaan instansinya. Tradisi "kepemimpinan" dalam budaya Timur masih dilandasi makna primus inter pares, yaitu: orang terkuat, paling berkuasa, pemilik segara resources, dll. Bahkan bisa menentukan "mati-hidup" karir seseorang. Kepala suku, kepala desa/gampong, ulebalang, sampai dengan raja adalah primus inter pares, yang tidak hanya bermakna individual namun juga kelompok. Keluarga-keluarga mereka pun (terkadang) mendapatkan prevelese yang berlebih dalam banyak urusan kehidupan.
Celakanya model pemimpin primus inter pares sampai detik ini masih bekerja dan merasuk juga kepada para pemegang jabatan-jabatan publik saat ini. Mengapa begitu?!! Itulah cara bekerjanya wilayah ideologi dari sebuah budaya, dimana dalam telaah kebudayaan aliran Marxian disebut "superstrukture" (lihat Marvin Harris,1979: Cultural Materialism), yaitu suatu ranah bangunan kebudayaan yang berisi ideologi antara lain seperti pandangan, nilai, dan norma, yang umumnya amat sulit untuk berubah. Jadi meski kita rakyat Indonesia kini hidup di jaman millennium, tetapi tetap masih ada disudut kepala kita pandangan dan sikap tradisional "belum mampu membedakan secara benar urusan public dan urusan private".
Siapa Menyusul?
Kabupaten/Kota yang telah meraih WTP bisa dikatakan bahwa mereka sudah "memilih" dan "mengambil sikap" untuk menata pengelolaan keuangannya dengan dilandasi leadership yang bervisi baru mengatasi hambatan kultural yang ada. Di dalam kukungan sikap dasar budaya seperti dipaparkan di atas, hampir tidak mungkin hanya seseorang pimpinan katakanlah kepala DPKKD, Sekda, maupun Bupati mampu melakukan sendiri penataan keuangan daerah. Mari kita sama-sama akui, apa yang telah dilakukan oleh kabupaten/kota penerima WTP itu, akhirnya memang merupakan hasil kerja keras bersama, kekompakan, serta komitmen untuk menembus batas budaya birokrasi primordial-paternalistik.
Tidak sedikit kabupaten/kota di Indonesia atau di Aceh yang APBK-nya relatif besar, pegawainya mencukupi dengan tingkat pendidikan lumayan, yang telah memakai aplikasi keuangan canggih, yang PAD (Pendapatan Asli Daerah)-nya lumayan, yang fasilitas kerjanya cukup memadai, dll. Namun hanya sedikit saja yang mampu meraih WTP itu. Bahkan di Jawa yang notabene dengan tingkat edukasi relatif baik serta dekat dengan sumber ahli di universitas-universitas ternama, pun kurang signifikan jumlah kabupaten/kotanya yang mendapatkan nilai WTP. Mengapa?!
Sekali lagi "Selamat" bagi kabupaten/kota di Aceh yang telah meraih predikat WTP dalam sistem pengelolaan keuangannya. Semoga ke depan semakin banyak kabupaten/kota yang mampu "Menembus Batas Hambatan Kultural" ini untuk menuju predikat WTP. Siapa takut!! [e.e]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI