Serial kartun cerita anak Ipin-Upin dibuat oleh produser (rumah produksi) Malaisia, sebuah negara yang mirip dengan Indonesia, berbasis budaya Melayu dengan diwarnai oleh berbagai suku bangsa baik Melayu, India, Cina, dan keturunan Eropa. Dari karakter wajah dan logat bicaranya, kita sudah bisa menduga anak-anak tersebut anak dari keturunan mana Cinakah, Indiakah, Melayukah, dll.
Untuk memberi pendidikan tentang harmonisasi pergaulan antar etnis di dunia anak ini, serial Ipin-Upin tidak mengambil alur cerita dengan memunculkan konflik diantara mereka berkaitan dengan etnis yang kemudian dibelakang diselesaikan dengan saling menyadari satu sama lain, dan berkesimpulan bahwa kita perlu perdamaian. Mengapa begitu? Mungkin karena pemikirannya adalah dunia kanak-kanak adalah "kanvas putih". Pada dasarnya anak-anak tidak mengenal konflik etnis, atau konflik yang mempermasalahkan berbedaan wajah dan warna kulit, bahkan yang mungkin mempermasalahkan status ekonomi. Orang dewasalah yang bermasalah terkait dengan sentimen etnis ini, dan kemudian hendak mereproduksinya secara turun temurun termasuk kepada anaknya dalam bentuk sentimen etnis. Jadi adalah keliru secara ideologis menghadirkan ide konflik sentimen etnis dalam cerita anak-anak, meski di akhir cerita diselesaikan dengan saling damai.
Dibeberapa seri diceritakan bagaimana anak-anak ini saling kerja sama baik di sekolah, waktu bermain, atau bersama keluarga mereka. Bagaimana mereka saling berkunjung ke keluarga-keluarga lainnya. Konflik yang ada tetap konflik dunia "kekanak-kanakan", misalnya saja saling bersaing membuat pesawat dari kertas dan siapa yang paling bagus terbangnya. Diceritakan pula bahwa suatu saat Ipin-Upin ingin bermain dan kemudian nyamperin ke rumah anak lain. Si anak masih sibuk membantu membersihkan rumah orang tuanya. Ipin-Upin ikut membantu agar cepat selesai dan di anak segera diperbolehkan ikut bermain.
Tanpa perlu dogmatis tekstual cerita, Ipin-Upin mampu menghadirkan edukasi mengenai multikulturalisme. Karakter wajah dan logat bahasa yang ada di dalam sudah menunjukkan "multikulture", dan tanpa dibenturkan menjadi konflik (karena konflik memang dunia ontologi anak-anak) pun kita sudah bisa mencerna betapa sejuknya multikultur yang harmanis.
Edukasi Lingkungan dan Sosialitas Kampung
Satu ciri khas kuat, yang sering disangkah para pembuat cerita film, adalah bahwa Ipin-Upin konsisten menghadirkan konteks cerita mengenai "kampung". Setting cerita Ipin-Upin adalah di pedesaan Malaisia yang disebut kampung, lengkap dengan bentuk rumah-rumah panggung, ada lapangan, persawahan, hutan, perkebunan, ada warung kapung, ada hewan sapi dan macam-macam. Produser Ipin-Upin tidak mau terjebak dengan mitos, bahwa hanya setting metropolis yang bisa membawa cerita itu menarik dan laku dijual.
Menurut saya hanya para seniman cerita serial film yang bodoh dengan ilmu cinematografi yang belum suntuk, yang berpendapat bahwa setting metropolis itu menjamin cerita akan menarik pemirsa. Bahkan saya yakin kalaupun orang-orang ini membuat cerita dengan setting metropolis pun, kadar edukasinya akan tetap kering. Mereka hal baru dan sensasi itulah pengetahuan. Aduh...ini cara pikir yang amat mengenaskan. Dari para cenimatrografer yang semacam ini mengapa sebabnya transformasi kebudayaan kita, didunia film dan serial film, tidak berkembang dan justru mematikan kekayaan intelektual budaya. Bayangkan saja apa yang sedang dibangun secara ideologis bagi generasi muda bangsa ini, jika semua stasiun tv membeli dan menayangkan produksi-produksi para cenimatografer kelas ini berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, satu dasawarsa, bahkan mungkin lebih.
Dan Ipin-Upin menawarkan sesuatu yang lain, yang sederhana. Dia mengajarkan betapa asrinya kampung. Meski asri tapi bisa rusak jika anak-anak tidak suka menanami kebunnya atau membiarkannya kosong. Dan masih banyak ide lain terkait dengan promosi sosialitas dan menjaga lingkungan kampung (desa).
Apapun alasannya, saya harus tetap mengatakan "sayang": sayang karena Ipin-Upin itu bukan dibuat oleh orang Indonesia. Tetapi dibuat oleh rumah produksi di Malaisia sana dan dibeli orang Indonesia untuk orang Indonesia. Bukannya saya mau sentimen temperamen etnis terhadap Malaisia, namun mau mengatakan Malaisia itu mirip dengan Indoneisa, berbasis Melayu, fasilitas yang ada katakanlah sama dengan yang kita punya, kekayaan tradisi dan cerita sama dengan kita punya .... tetapi sayang (mungkin) kekuatan memegang visi edukasi dan pengabdian untuk anak-anak, moral kita masih dibelakang.... [e.e]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H