Pengantar:
Hari ini saya coba sajikan BAGIAN KE-SEMBILAN dari serangkaian kisah yang saya tulis sebagai bagian utuh dari naskah Novel saya yang bertajuk “Tuhan Masih Hidup,” awalnya dengan penuh keraguan di tengah atmosfer wacana tentang hal-ihwal SARA yang tak berkesudahan. Beruntung ada dua orang dari dunia sastra yang menyemangati saya. Pertama Prof. Ismail Marahimin, dosen FIB-UI dan kedua, Korrie Layun Rampan, salah seorang guru menulis saya. Keduanya berujar, “Tak ada persinggungan SARA di karya ini, hanya judulnya saja yang menggoda, Tuhan Masih Hidup.”
Nah, Kompasianer yang Budiman, selamat menikmati….
———————————————————
“Biadab…! Aduh!,” Fredrick memegangi kepalanya. Kata “biadab” meluncur dari mulutnya mendengar kisah Zaleha, keluarganya dan saudara-saudara sekampung halaman. Lebih-lebih kisah penyerbuan Frans dan teman-temannya itu. Sesekali Fredrick mengomentari apa yang diungkapkan Zaleha.
Zaleha pun bercerita tentang Bang Mahmudnya. Tentang Majlis Taklim yang dibumihanguskan. Namun, ketika mendengar bagian kisah ini, Fredrick malah terdiam.
Bagaimana pun Fredrick merasa bersalah. Malah sangat bersalah. Bukankah ketika menyerbu Majlis Taklim itu ia ikut? Bahkan satu nyawa dari kelompok putih berakhir di ujung belatinya? Inilah masalahnya.
Zaleha pun menceritakan kisah sandal kulit kakaknya. Dan mayat bersandal kulit sebelah itu. Fredrick kini benar-benar seperti terdakwa. Betapa tidak. Jangan-jangan, memang ia yang membunuh Mahmud itu. Mati di ujung belatinya.
“Maafkan saya, Zaleha. Maafkan saya, Bu,” tiba-tiba Fredrick menangis lirih..
“Ada apa, Bang?” Zaleha sedikit terkejut
“Saya mohon maaf atas perlakuan Frans dan kawan-kawan!” Fredrick sedikit berbohong. Dadanya mendadak terasa sesak.
“Kenapa, Bang? Perlu saya panggilkan suster?” tanya Zaleha.
“O, nggak usah!”
“Tapi, Abang seperti menahan sakit?”
“Tidak apa-apa. Biasa. Sebentar juga hilang.” Jawab Fredrick jelas berbohong.
Fredrick pun menceritakan kisah perjalanannya. Tanpa be-kal apa pun ia memang nekat meninggalkan kampung halamannya. Ia mulai dengan ketika terakhir kali mengunjungi gereja Kasih Allah. Pada saat itulah ia bertemu dengan sebuah truk tentara.
Mula-mula ia menyetop truk tentara itu. Ragu-ragu memang. Sebab bisa saja tiba-tiba ia diberondong senapan mesin. Ketika hendak naik ke bagian belakang truk itu, musibah datang. Fredrick terjatuh dari truk. Bagian kepalanya membentur aspal jalanan yang mulai rusak. Dan lehernya terbentur bongkahan batu yang ada di jalan yang berlubang itu.
“Untung saja truk itu mau berhenti. Lalu saya dibawa ke sini,” tutur Fredrick.
Jadi, sebenarnya Fredrick belum pergi jauh. Gereja Kasih Allah itu berada di tenggara rumah sakit ini. Kira-kira 35 kilometer jauhnya. Anehnya, Frans dan kawan-kawan tak terpikirkan untuk mencarinya ke rumah sakit.
“Menurut dokter berapa lama lagi Abang dirawat?” tanya Zaleha.
“Tergantung,” jawab Fredrick datar.
“Maksud Abang?”
“Ya, tergantung hasil pemeriksaan kepala ini,” kata Fredrick menunjuk ke kepalanya. “Kemarin sih sudah dirontgen lagi. Sudah tiga kali,” imbuhnya.
Zaleha kemudian diam. Lama dia bersikap begitu.
“Aduh…!” Tiba-tiba Zaleha berteriak. “Ayo, Bu. Sebentar lagi waktu minum obat. Maaf, Bang. Nanti saya ke sini lagi. Saya antar Ibu dulu!” Zaleha lalu mendorong kursi roda Ibunya.
“Mari, Nak Fredrick!” Ibu Zaleha pun pamit. Fredrick hanya mampu melempar senyum.
Sepeninggal Zaleha dan Ibunya, Fredrick malah jadi gelisah. Bukan karena tidak ada yang menemani. Gelisah justru mendengar semua cerita Zaleha.
Fredrick mencoba mengingat-ingat. Siapa lelaki yang ia bunuh waktu itu? Ia berusaha mengingat. Waktu itu gelap sekali. Jadi, memang wajah orang tersebut tidak terlihat jelas. Kalau dia ternyata Bang Mahmud? Lebih baik dia mati saja. “O … bukan, pasti bukan,” Fredrick meyakinkan dirinya.
Zaleha tadi sempat memperhatikan raut wajah Fredrick Malaiholo. Ia tampaknya terkejut dengar cerita Zaleha. Lebih-lebih cerita tentang Majlis Taklim itu. Zaleha mulai menaruh curiga. Jangan-jangan…. Ah, tidak. Tapi, ia yakin, Fredrick banyak tahu soal itu.
Ibu Zaleha baru saja diberi obat. Selepas berjalan-jalan tadi, lelah juga rupanya ia. Kini Ibu Zaleha berbaring di tempat tidur. Sebentar kemudian terlelap. Zaleha pamit sebentar pada suster jaga di situ. Ia memang ingin mengorek banyak keterangan dari Fredrick.
“Sudah minum obat, Bang?” tanya Zaleha. Baru saja ia sampai di ruang itu.
“Ss ..Sudah!” Fredrick agak gugup.
Zaleha tidak langsung bicarakan soal Majlis Taklim. Dia cerita ke sana-sini. Tentang masa-masa aman dahulu. Tentang persahabatan itu. Fredrick tersenyum mendengarnya. Sesekali malah ia ganti bercerita. Melengkapi kisah yang dituturkan Zaleha.
“Lalu, apa sekarang yang kita peroleh? Tidak ada! Tidak ada yang menang dalam peperangan. Apalagi peperangan fisik,” ujar Fredrick sedikit berfilsafat.
“O ya, Bang! Sudah diperiksa dokter?” Zaleha mengalihkan pembicaraan.
“Sudah!”
“Hasilnya?”
“Ada sedikit memar di bagian otak belakang. Untung saja tidak terjadi pendarahan,” jelas Fredrick.
“Lalu?”
“Ya, cuma itu!”
Bagaimana pun Zaleha masih bersyukur. Tuhan masih mempertemukannya dengan Fredrick. Sahabatnya ketika SMP itu. Lama ia menerawang. Jauh ke masa-masa itu. Masa-masa ketika perbedaan akidah bukan halangan pergaulan. Bahkan saling menghidupi. Tolong-menolong.
“Hei, kok melamun!” Suara Fredrick memecah perjalanan batin Zaleha ke masa lalu.
“Ah … nggak,” ujar Zaleha. “Saya hanya jadi teringat masa-masa dulu,” imbuhnya.
“Kalau kondisi Ibumu sendiri bagaimana, Zaleha?” Tiba-tiba Fredrick balik bertanya.
“Barangkali satu dua hari ini sudah diperbolehkan pulang,” jawab Zaleha.
“Bagus itu. Puji Tuhan!”
“Iya sih, … tapi,” Zaleha tak melanjutkan.
“Tapi apa, Zaleha?” tanya Fredrick.
“Kalau pun besok atau lusa boleh pulang, kami akan pulang kemana? Ke pengungsian? Tidak. Saya tidak ingin Ibu kambuh lagi,” keluh Zaleha.
“Lalu, apa rencana kalian?”
“Di Soasiu, Tidore, Ayah ada famili. Di sana Bang Mahmud tinggal. Waktu kerja di pabrik makanan,” ujar Zaleha.
“Kalian mau ke sana?”
“Entahlah. Menurut kabar, di sana pun kini tidak aman!”
“Begini saja. Aku tawarkan kalian pergi saja ke Berebere. Letaknya di bagian timur pulau Morotai. Dari Tobelo kalian menyeberang ke Tanjung Gila di pulau Morotai. Sesampainya di sana, kalian lanjut ke kota Daruba. Terus ke Sabatai. Menyusuri pesisir selatan dan timur Morotai. Akhirnya akan sampai di Berebere.”
Bak seorang pemandu wisata, Fredrick menerangkan rute perjalanan yang harus ditempuh. Zaleha hanya terbengong-bengong. Meski SMUnya jauh di Laloda, tapi ia ‘kan cuma sekolah. Lalu pulang ke tempat kostnya. Tidak banyak tahu wilayah Halmahera ini.
“Bagaimana?” tanya Fredrick.
“Saya nggak tahu. Bingung. Kenapa harus ke Berebere, Bang?”
“Saya kenal baik seorang Pater di sana. Ada sebuah gereja kecil. Namanya … ah lupa saya. Pokoknya Pater Jan, dia orang Belanda, … orangnya baik!” ujar Fredrick.
Zaleha hanya diam saja.
“Kamu keberatan, Zaleha?”
“Ah…tidak,” jawab Zaleha. “Saya hanya bingung. Tak mungkin saya berangkat berdua Ibu. Dengan apa lagi ke sananya?” imbuh Zaleha.
“Begini saja. Saya dengar beberapa hari lagi ada kapal TNI AL yang akan mengangkut pengungsi. Kebetulan mereka pun akan melayari Morotai. Ya, mudah-mudahan saja saya sudah sembuh. Jadi, kita bisa pergi sama-sama,” ujar Fredrick berbinar-binar.
“Alhamdulillah! Terima kasih Tuhan,” Zaleha mengucap syukur.
***
Zaleha merancang hari esoknya. Dia putuskan untuk jadi relawan kemanusiaan. Itu pasti lebih cocok. Sesuai dengan panggilan nuraninya. Ibunya pun setuju. Penantian kesembuhan Fredrick. Penantian keberangkatan ke Morotai, menjadi hari-hari yang panjang. Zaleha jadi ingat Ayahnya, Rizal dan Bang Mahmud. “Andai mereka masih ada, pertemukanlah kami, ya Allah,” lirih doa Zaleha dalam kalbunya.
Dua hari kemudian. Warga yang ingin mengungsi sudah menunggu di dermaga Tobelo. Menurut informasi, kapal TNI AL akan melalui rute Tanjung Gila, Berebere terus ke Papua.
“Puji Tuhan,” ujar Fredrick. “Jadi kita bisa langsung ke Berebere,” imbuhnya.
Sekitar pukul 10 pagi kapal TNI AL itu merapat. Tidak besar memang. Panjangnya hanya 50-an meter. Ada dua pintu masuk. Satu dekat buritan. Satunya lagi dekat haluan. Rombongan pengungsi mulai menaiki tanggal kapal.
“Alhamdulillah,” ujar Zaleha dan Ibunya. Tepat ketika menjejakkan kaki ke kapal. Mereka naik dari pintu di dekat haluan. Segera Fredrick mencarikan tempat yang nyaman. Perjalanan cukup lama. Mereka harus beristirahat.
Perjalanan baru sekitar satu jam. Kondisi aman. Aparat kepolisian dan prajurit TNI AL siap mengamankan perjalanan. Tiba-tiba saja di bagian buritan timbul kegaduhan.
Di sudut itu, seorang anak manusia dipanggil Yang Kuasa. Awak kapal mendapatinya dalam posisi sujud. Wajahnya masih basah dengan wudlu. Tak ada identitas ditemukan. Hanya ada sepucuk surat di saku baju kokonya yang sudah lusuh. Di situ tertulis, “Buat adikku, Zaleha Marasabessy.”***
***Selesai***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H