Harian Kompas beberapa hari lalu memberitakan ada sekitar 800.000 orang guru di Indonesia terhambat kenaikan pangkatnya ke golongan IVB gara-gara tak mampu menyusun karya-karya ilmiah (laporan penelitian, modul, artikel dan sebagainya) yang dapat dijadikan sebagai bukti "pengembangan profesi" untuk memenuhi 12 point saja.
Selang beberapa tahun lalu, ketika Universitas Negeri Jakarta/UNJ (Lemlit-nya) menyelenggarakan bimbingan penulisan (pelaporan action research versi PTK/PTS) secara online terungkap bahwa hal tersebut tidak berlangsung secara menggembirakan alias tidak tepat sasaran dan tidak tepat layanan (namanya bimbingan namun miskin dari hal-hal tersebut). Â Begitu juga dengan sebuah organ Depdikbud di bilangan kompleks pendidikan "Rawabunga" Jakarta Timur yang persis melakukan hal yang sama namun tidak online. Â Di sini, agak lebih lumayan karena bimbingan dilaksanakan per tatap muka lengkap dengan panduan penulisan yang baik. Â Hasilnya? Sedikit lebih baik dari apa yang dilakukan Lemlit UNJ tersebut.
Seorang kawan di Dewan Pendidikan DKI Jakarta pernah meminta penulis meladeni pelatihan penulisan untuk para guru tersebut dengan genre yang berbeda, yaitu: "samapi sang guru benar-benar bisa menulis," ujarnya. Saya siap, namun sampai hari ini kawan tadi seperti hilang ditelan bumi.
Apa yang salah dengan semua kemampuan guru tersebut? Sepanjang kegiatan saya "mengamen" dari satu sekolah ke sekolah yang lain, faktor kemauan seringkali bertabrakan dengan birokrasi sekolah yang ribet. Juga tidak jarang faktor kemauan tidak gayung bersambut dengan pelatihan yang tepat dan memadai. Sisi lain, banyak juga (terutama para guru senior) yang pasrah golongannya menjadi IVB secara otomatis saat pensiun nanti. Istilahnya "IV-B Pengabdian," he..he.
Khusus kemampuan menulis itu sendiri, telisik punya telisik, selidik punya selidik, ironisnya juga dialami oleh guru yang notabene mengajarkan pembelajaran Bahasa kepada anak didiknya (Bahasa Indonesia maupun bahasa Asing lainnya). Sungguh dan sangat ironis memang kondisi ini. Guru bahasa saja mengeluhkan keharusan menuliskan laporan penelitian atau karya tulis lainnya sebagai bagian dari 12 point pengajuan kenaikan pangkatnya itu (DUPAK menjadi PAK). Jika guru bahasa saja mengeluh, apalagi guru non bahasa?
Adakah kita mulai berpikir bahwa sesuatu yang keliru, dan salah sedang dan pernah terjadi dalam pembelajaran bahasa secara formal mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi? Bahkan secara non dan informal sejak kita usia pre-school dahulu itu? Suatu kekeliruan laten yang terlanjur atau sengaja dibiarkan untuk terus meracuni kurikulum pembelajaran bahasa (Indonesia dan Asing) di negeri ini! Bertanyalah kita pada rumput yang bergoyang....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H