Empat bulan yang lalu, pada peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia pemerintah kabupaten Merangin mengadakan pawai yang mengundang seluruh intansi atau dihadiri sebagian instansi  se-Kabupaten Merangin pada 18 Agustus 2024. Pemerintah mengumumkan rutenya dari kantor bupati baru ke eks-kantor bupati alias kantor lama.
Instansi SMA IT Permata Hati Merangin pun turut partisipasi. Tantangan yang kami hadapi adalah jumlah peserta tidak mencukupi ketentuan karena sekolah yang masih berjuang ini baru memiliki 12 murid. Saya lupa berapa jumlah minimalnya, seingat saya 30 peserta untuk satu sekolah.
Tantangan kami juga, kepala sekolah tidak bisa hadir karena balitanya sedang sakit sehingga perlu di urus dan terjadi mis komunikasi yang berakibat pada 7 murid tidak hadir karena menganggap bahwa sekolahnya tidak boleh ikut karena syarat jumlah minimal tidak terpenuhi. Pada tanggal 18 Agustus 2024 jam 7 pagi masih ada kebingungan atau keraguan untuk ikut pawai atau tidak di kalangan guru.
"Jadi. kita ikut atau tidak?" Tanya Bu Guru B via grup Whatsapp.
"Seharusnya ikut saja, kemarin sudah diputuskan!" Balas Bu Kepsek.
"Ini Bu masalah barunya!" Jawab Bu Guru B. (Tidak boleh gabung ke sekolah lain karena jumlah murid tidak memenuhi syarat)
"Kalau sudah dispakati ikut, jangan mundur!" Balas Bu Kepsek.
"Menimbang beberapa hal, daripada .... daripada ...." Kata Pak Guru A.
"Iya betul." Kata Bu Guru C.
Tantangan lagi, di rumah saya tinggal sendiri, istri dan anak-anak di rumah mertua karena ada acara keluarga di Bukit Bungkul, Renah Pemenang. Sehingga saya menyiapkan dahulu instalasi mesin pompa air karena 2 hari yang lalu baru saja dikeringkan. Munculah ide untuk membayar keterlambatan saya yaitu menyiapkan tes es. maka saya siapkanlah seduhan teh campuran bunga melati. Pertama saya pastikan dahulu keberishan wadah-wadahnya dengan tisu. kemudian saya menuangkan bubuk teh melati, kemudian gula, kemudian air panas seperempat dari volume toples besar ukuran sekitar 2,5 liter. Kemudian saya aduk rata dan ditambah lagi air matang sampai volumenya 4/5 dari ukuran toples. Saya beli dahulu dua bungkus batu es di toko yang biasa menjual air minum asli masak (dimasak dengan tungku berbahan kayu bakar/arang).
"Bu de ini air masak apa mentah?" Tanya saya ke pemilik toko untuk memastikan kebersihannya.
"Air masak mas!" Jawabnya.
"Saya beli dua Bu De!" Tanya saya.
"Empat ribu mas." Jawabnya.
Setelah semuanya siap, timbul masalah bagaimana membawanya. Saya ketemu tali dari karet benen (ban dalam bekas). Kemudian saya ikatkan untuk membawa toples, spanduk yang tergulung pada 2 tiang. Satu ikatan di ujung terpaut di depan motor. Satu ikatan lagi, di ujung belakang terpaut di besi dekat jok motor di bagian belakang. Jadilah kondisinya saya duduk lebih mengangkang karena kiri kanan depan barang yang di bawa mengambil ruang yang besar. Sedangkan di jok belakang saya mengikatkan 1 dus minuman  mineral putih, juga dengan tali karet benen. Kemudian, tiabalah saya di lokasi star jam 11-an siang yang terik.
Singkat kisah ini, saya merasa masih belum melunasi 'dosa' keterlambatan saya selama 3 jam karena mengurus instalasi mesin pompa air demi anak dan istri nanti sore akan kembali ke rumah saya dari Bukit Bungkul. Keterlambatan saya juga berdasarkan prediksi urutan pawai yang masih menunggu giliran. Saya mengakui saya juga punya saham berupa keterlambatan hadir dalam situasi ini, keinginan besar sekolah (guru dan murid) untuk menghayati perjuangan di balik peringatan Proklamasi Kemerdekan RI melalui pawai. Terbukti semua guru hadir, 1 guru menjaga asrama SMA, dan hanya 7 murid yang tidak hadir.
Hal yang membuat saya senyum setelah shalat zuhur sebagian murid kami dan guru-guru sempat meminum teh yang saya buat walapun tidak habis, hanya habis setengah dari toplesnya. Walaupun Batu es dalam plastiknya sudah mencair sepertiganya, saat dibuka plastiknya dan dimasukkan ke dalam air teh rasanya begitu nikmat. Apalagi diminum di bawah teduh kantor bupati lama saat kondisi begitu teriknya panas matahari dan begitu keringnya kerongkongan. Saat jam istirahat itu, guru dan murid berpencar posisi sehingga tidak semua meminum tes melatih dingin ini. Air mineral yang saya bawa, Alhamdulillah habis semua.
Itulah kisahnya semua yang tidak hadir bukan tidak semangat, karena mereka malu tidak memnuhi syarat untuk ikut pawai. Sedangkansebagian yang hadir mereka mendapati pengalaman berjuang dan tentu menghayati bagaimana perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Begitulah teh yang nama globalnya seindah rupanya (Camellia sinensis), ia mudah dan murah dalam pembuatannya, alih-alih saat dompet saya juga sedang 'tipis', sehingga ia melekat pada kisah-kisah etika kita. Saya juga kadang membuat teh bersama anak yang berusia empat tahun dua bulan, baru-baru ini membuat teh bersama-sama untuk melatihnya motoriknya, menghemat uang jajannya (menghindari beli icecream) dan melatihnya peka terhadap rasa di lidah, serta punya kompetensi  terampil menghidangkan makan atau minuman buat keluarga serta hormat kepada orang tua, suatu yang lebih tinggi dari sekedar nilai kognitif. Pun secara pribadi saya merasa tambahan kepuasan saat mampu 'melukis puisi' mengungkap kenikmatan segelas teh.
Wahai Camellia. Teh menjadi berbeda. Walau yang lain juga punya spesialisasinya. Mudah ditemukan di toko hampir di mana-mana. Hampir semudah menemukan toko beras makanan pokok kita. Ia dihidangkan ketika hangat maupun dinginnya suasana. Musim panas ia nikmat amat kentara. Musim dingin ia nikmat rasa. Betul, cocok di musim kita, tropika. Wajar ia dekat dengan nilai moral kita. Jika pengamat memberi filosofis padanya tiga rupa. Memang tak niskala (abstrak). Ialah nilai kebersihan/higienis, ekonomis, harmoni dengan loka (alam) etika. Tapi bagi saya ada variasi khasnya ia. Ialah pendidikan anak saya. Ia diajari motoriknya, mengaduk, menuang, sensoriknya merasa. Juga wiyata kreatif dengan jeruk nipis jika ingin masam rasa. Mungkin diterima kita filosofinya. Tidak mengapa pro dan kontra. Memang relatif dan perspektif afiat berbeda. Setidaknya ini bagi rasa saya suka-duka. Itulah teh, hebatnya ia. Memberi ruang pada kreativitas saya jiwa, mungkin Anda juga. Wahai Camellia sinensis berinduk asal China. Wahai pemilik nama nan indah teman dekat suka-duka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H