Mohon tunggu...
Mahendra
Mahendra Mohon Tunggu... Guru - Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tak Bisa Bedah Puisi Anda, Berarti Puisi Palsu? Enggak Dong!

13 Desember 2024   15:22 Diperbarui: 13 Desember 2024   17:20 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selasih. Sumber: https://www.jamudigital.com/images/news/Berbagai%20Khasiat%20Tanaman%20Selasih.jpg

Menurut penulis (saya), sebenarnya ke-bisa-an atau ke-tidakbisa-an seseorang membedah puisi tidak menentukan apakah puisi tersebut original atau tidak oleh seseorang yang mengaku penulisnya. Puisi itu, maknanya diserahkan kepada para pembaca.

Secara logis puisi itu ringkas, sehingga perlu dibaca ulang untuk memahaminya. Sehingga mungkin seseorang yang membacanya cepat tanpa ulang, menjadi beda tafsir dengan yang membaca berulang dan yang menghayatinya. Puisi yang kalimatnya ringkas, bisa tertafsir menjadi ambigu. Puisi yang kalimatnya ringkas bisa berbeda maknanya bagi setiap pembaca yang berbeda latar belakang pengetahuan, keterampilan dan sikapnya. Sebagai contoh pembaca yang tidak tahu arti lindap, diranda, dian, lunar, nirmala tentu harus membuka kamus terlebih dahulu. Hanya pembaca yang memang sudah tersedia paket internetnya sertasamarphonenya yang bisa cepat membuka kamus online atau kamus aplikasi smartphone yang tidak berbasis online. Jadi, yang mempunyai teknologi berbeda akan berbeda kecepatan pemahamannya.  Akhirnya berpengaruh pada tafsirnya terhadap puisi.

Tafsir yang ambigu juga terjadi jika pembaca hanya membaca sepotong-sepotong atau tidak dikaitkan dengan judul puisi tersebut karena umumnya judul mewakili keseluruhan isi puisi. Jika sepotong puisi tentu berbeda tafsirnya jika membaca puisi yang utuh.

Sebagai contoh ambigunya tafsir saya ambil puisi dari buku Pujangga Baru: Prosa dan Puisi yang terbit tahun 1964 dan cetakan keduanya tahun 1987, berjudul "Sedih" , bertanggal 3 September 1934 karya Muhammad Yamin (Puisi di bawah ini diungkap tanpa komentar terlebih dahulu)

Judul: "Sedih" {tapi versi online judulnya:Bukit Barisan}

Hijau tampaknya Bukit Barisan.

Berpuncak Tanggamu dengan Singgalang;

Putuslah nyawa hilanglah badan

Lamun hati terkenal pulang


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun