Mohon tunggu...
Mahendra
Mahendra Mohon Tunggu... Administrasi - Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghayati Ayat 21 Surat Ar-Ruum: Tanda Kebesaran Allah dalam Berpasangan

18 Agustus 2019   18:22 Diperbarui: 24 Juni 2021   06:10 6865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Allah berfirman dalam Surat Ar-Ruum ayat 21, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir."

Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (senang) kepadanya. Seandainya Allah menjadikan seluruh anak Adam laki-laki dan menjadikan wanita dari jenis yang lainnya, seperti dari bangsa jin atau jenis hewan, niscaya perasaan saling cinta (mawaddah) dan sayang (rohmah) di antara mereka dan di antara berbagai pasangan tidak akan tercapai, bahkan akan terjadi suatu ketidaksenangan seandainya pasangan-pasangan itu berbeda jenis. 

Kemudian di antara rahmatNya kepada manusia adalah menjadikan pasangan-pasangan mereka dari jenis-jenis mereka sendiri serta menjadikan perasaan saling cinta (mawaddah) dan sayang (rohmah) di antara mereka. Di mana seorang laki-laki mengikat seorang wanita adakalanya dikarenakan rasa cinta atau sayang dengan lahirnya seorang anak, saling membutuhkan nafkah dan sayang di antara keduanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Ibnu Katsir, 2000: 364; Jilid 6).

Manusia mengetahui perasaan mereka terhadap lawan jenis, dan hubungan di antara dua jenis itu membuat saraf dan perasaaan mereka bergerak. Perasaan-perasaan yang berbeda-beda bentuk dan arah antara lelaki dan wanita itu menggerakkan langkah-langkahnya serta mendorong aktivitasnya. Namun, sedikit sekali mereka mengingat tangan kekuasaan Allah yang telah menciptakan bagi mereka dari diri mereka pasangan mereka itu, dan menganugerahkan perasaan-perasaan dan rasa cinta itu dalam jiwa mereka. 

Juga menjadikan dalam hubungan itu rasa tenang bagi jiwa dan sarafnya, rasa tenang bagi tubuh dan hatinya, memberikan kedamaian bagi kehidupan dan penghidupannya, penghibur bagi ruh dan dhamirnya, serta membuat tenang lelaki dan wanita. Redaksi Al-Qur’an yang lembut dan akrab ini menggambarkan hubungan tersebut dengan penggambaran yang penuh sugesti seakan-akan ia mengambil gambaran tersebut dari kedalaman hati dan perasaan (Sayyid Quthb, 2001: 138).

Baca juga: Surah al-Ahzab Ayat 35 Mengajarkan Kita Lebih Baik di Bulan Ramadan

“ … Supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” Sehingga, mereka memahami hikmah Sang Khalik dalam menciptakan dua pasangan tersebut dalam bentuk yang sesuai bagi satu sama lain. Dan memenuhi keperluan fitrahnya: kejiwaan, rasio, dan fisik. Sehingga, ia mendapatkan padanya rasa tenang, damai, dan tenteram. Keduanya menemukan dalam pertemuan mereka rasa tenang dan saling melengkapi, juga cinta dan kasih sayang. Karena susunan jiwa, saraf, dan fisik bersifat saling memenuhi kebutuhan masing-masing terhadap pasangannya. Dan, kesatuan serta pertemuan keduanya pada akhirnya untuk memulai kehidupan baru yang tercermin dalam generasi baru. (Sayyid Quthb, 2001: 138)

“Cenderung dan tenteram kepada pasangan” itu maksudnya merasa betah, demikian menurut Tafsir Jalalain (Jalaludin As-Suyuti dan Jalaludin Al-MahalliI, 2017: 454; Jilid 2).

Ini menjadi “tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” maksudnya tanda-tanda bagi kaum yang berpikir tentang ciptaan Allah Swt (Jalaludin As-Suyuti dan Jalaludin Al-MahalliI, 2017: 454; Jilid 2).

Melawan fitrah berpasangannya manusia bisa menciptakan kebencian, kemacetan, dan pelarian karena penumpukan emosi dalam alam bawah sadarnya seperti memori yang kepenuhan sebuah komputer akan menyebabkan error dan lambat loading. Memerangi fitrah berpasangannya manusia bisa menggelombangkan ketidaktaatan dan pemberontakan, seperti seorang yang diceritakan kepada saya, ia tidak lagi loyal dan setia pada sistem sebuah komunitas.

Empat alasan yang perlu diperhatikan! Pertama, berpasangan berhubungan erat dengan ketenteraman, cinta dan kasih sayang; kedua, pangkal dari berpasangan itu adalah tanda-tanda kekuasaan Allah atau tanda tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir tentang ciptaan Allah; ketiga konsekuensi kaum yang berpikir adalah kebijaksanaan; keempat konsekuensi keimanan adalah ujian yang berat; maka sudahlah, agak dipermudahkanlah urusan saudara, cucu, anak, keponakan, guru, murid atau orang tua dan seterusnya untuk berpasangan melalui pernikahan mengikuti syariat. Syariat tidak mempersulit untuk menikah. Kebalikan itu semua adalah redupnya pemikiran suatu kaum (komunitas) sebab dalam QS Ar-Rum ayat 21 ini Allah Swt menyebutkan pengkhususan tanda-tanda kebesaran Allah, yaitu pada kaum yang berpikir.

Perbuatan yang menyukai menguji saudara, cucu, anak, keponakan, guru, murid maupun orang tua dan seterusnya di luar batas kemampuan (jasad, pikir, dan ruhnya)  sambil senyam-senyum maupun tertawa terhadap mereka, dikhawatirkan malah disemangati oelh kesombongan dan keangkuhan si penguji. Padahal mereka (saudara, cucu, anak, keponakan, guru, murid maupun orang tua dan seterusnya) yang diujinya itu mengakui ke-dhaif-an (kelemahannya) dirinya.

Agaknya menurut sebagian besar golongan muda dalam menuju pernikahan membutuhkan pendekatan dialog bukan pendekatan ketaatan semata. Agaknya sebagian besar golongan muda membutuhkan kecepatan di saat kondisinya menikah menjadi berhukum wajib dan menikah menjadi kebutuhan yang mendesak. Untuk dapat menjaga pandangan justru dengan berpasangan terlebih dahulu atau cara lain dengan berpuasa (shaum).

Karena tingkatan shaum sunnah setiap orang berbeda, ada yang 6 kali setahun (shaum syawal), ada yang 3 kali sebulan (shaum yaumul bidh), 8 kali sebulan (shaum senin kamis), ada pula yang 15 kali sebulan (shaum daud), oleh karena itu tingkat kesabarannya berbeda, sehingga ada yang sangat perlu dipercepat pengurusan nikahnya, ada yang dipercepat, ada yang agak dipercepat, ada yang tidak dipercepat dan tidak pula diperlambat dan terakhir ada yang bisa diperlambat. 

Baca juga: "Wama Indallahi Khoir", 1 Kalimat Motivasi yang Tertuang dalam 3 Surah Al-Quran  

Namun ketika mekanisme pengujian tingkat kesabaran dan sikap berhati-hati serta tanya sana-sini muncul dari golongan tua, juga ditambah lagi dengan munculnya pengujian kesetiaan pada kepemimpinan, maka timbullah pergesekan di dalamnya. Apalagi dua orang yang akan berpasangan sudah saling mengenal, pergesekan itu kian menghangat.

Golongan tua yang telah merasakan pernikahan mengetahu kecocokan di antara dua orang yang akan berpasangan. Mereka menilai sisi-sisi extroverts, sensors, thinkers, judgers, intoverts, intuitives, feelers, dan perceivers dari dua orang yang ingin berpasangan. Memang perjodohan tetap tidak bisa dipaksakan, namun saling melengkapi itu diperlukan. Misalnya orang yang serius, tenang, logis, objektif, praktis dan realistis, cocok berpasangan dengan orang yang spontan, aktif, energic, antusias, penuh variasi, mudah adaptasi dan toleran. 

Orang yang tegas, pendiam, mampu menghadapi perubahan yang mendadak, tenang, problem solver dalam tekanan (stress) sulit, cocok berpasangan dengan orang yang ramah, hangat, energik, optimis, antusias, semangat, lucu,  komunikatif dan adaptif. Contoh ketiga, orang yang perhatian, idealis, perfeksionis, empati, berkomitmen, visioner, oenuh ide, dan kreatif, cocok dengan orang yang tegas, presertiv, jujur, objektif, punya standar tinggi, dominan dan kompetitif.

Mereka, golongan tua telah sampai pada keseimbangan peran pikiran dan perasaan, dan kestabilan mengelola ruhiyah, dan alam bawah sadar. Sederhanya tipe leader cocok berpasangan dengan tipe harmoni (mediator). Tipe entrepreneur cocok berpasangan dengan tipe logician. Atau sebaliknya dan seterusnya, agar leader tidak dengan leader, entrepreneur tidak dengan sesamanya, harmoni (mediator) tidak dengan sesamanya, logician (debater) tidak dengan sesamanya. 

Semua itu dengan pertimbangan agar keduanya saling melengkapi. Tapi mereka golongan tua terkadang dihinggapi malas dalam berolahraga yang berdampak pada jasad yang ingin dan lebih banyak memberi perintah barangkali.  Kadang mereka lebih sedikit mendengarkan sehingga kadang tidak terlihat tanda-tanda open gesture (sikap  terbuka) dan memulai dialog, dalam arti menunggu desakan terlebih dahulu.

Memang golongan tua mengetahui dua orang yang saling cinta sedang sangat hidup perasaaannya dan menurun pikiran atau logikanya. Bagi mereka mungkin waktu yang disediakan utnuk bersabar adalah agar dua orang yang akan menikah mengelola antara perasaan dan logika itu. Maka diarahkanlah mereka agar banyak berdo’a kepada Allah agar benar dalam niat dan prioritas cinta, bahwa Allah cinta yang pertama dan utama, syahadatain adalah cinta pertama dan utamanya, aqidah adalah cinta pertama dan utamanya.

Baca juga: Memaknai Surah An-Naba`

Jadi bagaimana jalan tengahnya? Bagaimana kompromi golongan muda dan golongan tua ini terwujud?

  • Pertama, golongan tua perlu lebih banyak mendengar dan open gesture sedangkan golongan muda perlu meminta pertimbangan.
  • Kedua, golongan tua dan muda sama-sama berusaha mengkonsitenkan ibadah.
  • Ketiga, golongan tua perlu mempercepat urusan yang perlu dipercepat dan tidak semata menjadikan soalan nikah semata soalan ketaatan. Sedangkan golongan muda perlu menjadikan soalan nikah semata bukan soal “aku dan dia” saja tapi juga ditambah dengan soalan visi-misi dan harmoni semua pihak dan ridho Allah Swt, termasuk soalan nazor (melihat calon pasangannya).
  • Keempat. Golongan tua perlu jujur bahwa golongan tua pernah muda dan perlu mempraktikkan bahasa kasih kepada golongan muda apakah dengan hadiah, sentuhan, pelayanan, kata-kata positif, ataukah pendampingan terhadap golongan muda, pun sebaliknya golongan muda perlu mempraktikkan bahasa kasih kepada golongan tua. Golongan muda perlu berkata jujur tentang nazor (melihat calon pasangannya), kondisi hukum menikah bagi dirinya dan tingkat kebutuhannya terhadap menikah atau tingkat kemampuannya menjaga pandangan, pun tingkat kesiapannya menikah, dan tingkat penerimaan calon pasangannya.
  • Kelima, golongan tua maupun golongan muda bagaimana pun juga harus berlisan yang terbaik dan do’a yang terbaik, bukan sebaliknya yang terburuk.
  • Keenam, golongan tua maupun muda harus siap dengan perbedaan pendapat, tapi tidak perlu berpecah belah dan pemaksaan. Karena Q.S. An Nisa ayat 59 menjelaskan ciri-ciri ulil amri minkum (pemimpin di antara mu) yang sebenarnya ditaati adalah yang komitmen untuk selalu mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya). Para pemimpin sejati di antara orang-orang beriman tidak mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Qur’an dan Sunnah Ar-Rasul. Sebab mereka sangat paham dan meyakini pesan Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Hujurat: 1).
  • Ketujuh, golongan muda maupun tua perlu bertawakkal setelah musyawarah mufakat maupun hasil lainnya yaitu tidak mufakat.
  • Kedelapan, Allah lebih tahu apa yang terbaik buat golongan tua maupun golongan muda, sehingga golongan tua maupun muda perlu menanggalkan keserakahan dan pemaksaan mereka masing-masing, dan perlu menanggalkan karakter membangga-bangkan diri mereka masing-masing.

Wallahu'alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun