Mohon tunggu...
Mahendra
Mahendra Mohon Tunggu... Administrasi - Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Selanjutnya

Tutup

Money

Di Balik Krisis Yunani

2 Agustus 2015   21:47 Diperbarui: 2 Agustus 2015   21:47 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="ilustrasi (sumber:ozy.com)"][/caption]

Tidak seperti rayap yang setiap awal musim penghujan mereka melestarikan jenisnya melalui reproduksi, Yunani sudah tiga kali musim kejatuhan, mereka malah di depan pintu kehancuran karena rasio utang dengan PDB-nya lebih dari 100 persen. Utangnya yang jumbo itu juga akibat bunga (interest). Tidak seperti rayap yang lestari, mungkin Yunani akan punah. Yunani menjadi negara maju pertama yang gagal bayar utang (kepada Troika-kapitalis internasional).

Itu karena poorly designed system menurut istilah Prof J.T. Harvey. Itu berkaitan dengan istilah beyond harsh menurut Paul Krugman. Itu berkaitan dengan era yang diisitilahkan Ellen Brown dengan private profit.

Ellen Brown memprotes tujuan banyak orang di era ini. Ia mengkritik orang yang menyatakan “the goal today is to extract private profit at every stage of production and from every necessity of life”. Ia tidak suka dengan tujuan hari ini semata-mata adalah mengekstrak keuntungan pribadi dari setiap tahap produksi dan setiap kebutuhan hidup.

Itu adalah kapitalisme internasional yang telah berkhianat atas amanat dan klaimnya menyejahterakan umat. Yuk, mari kita rethinking seputar krisis utang Yunani! Di mana saya (orang awam) tak setuju dengan klaim kapitalis internasional, Chomsky (intelektual) pun tak setuju.

Oposisi vs pemerintah Yunani

Oposisi di Yunani melalui medianya tampak memenangkan opini bahwa rakyat setuju dengan pinjaman dari Troika (tiga lembaga pemberi utang: UniEropa, IMF-International Monetary Fund, dan ECB-European Central Bank) atau dengan kata lain setuju dengan paket bailout dengan syarat penghematan seperti penyunatan dana pensiun dan peningkatan pajak. Penampakan itu berasal dari sejumlah survey. Kampanye oposisi adalah jika rakyat memilih tidak akan menyebabkan Yunai keluar dari zona Euro.

Ikon pemerintah, perdana menteri yunani Alexis Tsipras, mengambil jalan aman dengan menyerahkan keputusan kepada keputusan rakyat hasil referendum. Sebenarnya ia sendiri berharap penolakan atas paket bailout dari Troika. Itu merupakan awal dari negosiasi demi solusi yang paling tepat. Ia berharap paket bailout dengan sarat yang ringan atau longgar atau tidak memberatkan rakyat Yunani. Di satu sisi ia ingin tetap berada di zona Euro.

Referendum dilakukan sejak pukul 07.00 pagi hingga 19.00 (waktu Yunani) pada 5 Juli 2015. Hasilnya pada puku 21.00 (waktu Yunani) 61 persen memilih ‘Tidak’ yang berarti menolak paket bailout bersyarat, sedangkan sisanya 39 persen memilih ‘Ya’ yang berarti menerima paket bailout bersyarat dari Troika.

Pada 6 juli 2015, pemimpin opoisi Yunani, Antonis Samaras, dari partai New Demokrasi menanggapi hasil referendum dengan mengundurkan diri. Ia kemudian memahami kehendak rakyat Yunani.

Reaksi Rusia

Rusia tidak akan memberikan paket bailout untuk Yunani sebagai solusi sebab hanya akan merugikan Rusia. Rusia seolah berpikir seperti Troika yakni “kami tidak dapat untung” dengan cara bersedekah. Meskipun ada sejumlah pakar Rusia berharap agar Yunani keluar dari zona euro lalu bergabung dengan Serikat Ekonomi Eurosia (EEC).

Reaksi perwakilan Troika

Jerman sebagai yang mewakili Troika menyesalkan hasil referendum. Sebagaimana Kanselir Jerman, Angelina Markel menyatakan bahwa Athena telah merusak dialog dengan mitra di zona Euro dengan menolak desakan penghematan. Karena menurut logikanya, rakyat Yunani akan tunduk dengan desakan tersebut sebab Yunani telah dibantu oleh Troika pada dua kali dari krisis ekonomi sejak tahun 2011 dengan total pinjaman hingga 240 miliar euro. Hingga tersebarlah opini-opini bahwa Yunani akan hancur jika menolak persyaratan Troika.

Pandangan sejumlah rakyat sipil Yunani

“Kami tidak takut tekanan dari Eropa. Kami ingin hidup dengan adil dan bebas di Eropa.”

Jika Yunani tidak bergabung dengan dengan euro yaunani diperkirakan akan meningkatkan ekonominya dengan lebih banyak mencetak mata uangnya, drachma. Hal ini menurunkan nilai drachma di pasar internasional, membuat ekspor Yunani lebih kompetitif. Diperkirakan ada hubungannya dengan penurunan suku bunga domestik, mendorong investasi domestik dan mempermudah Yunani melunasi utangnya.

Pandangan professor ekonomi dan hubungan internasional, Paul Krugman

Paul Krugman yang pernah mendapat penghargaan nobel ilmu ekonomi 2008, dalam sebuah artikel media Inggris Independent.co.uk dengan judul Greek debt crisis: ‘Who will trust Germany after this?’ asks Paul Krugman memperlihatkan kritik pedasnya.

Ia mendukung hashtag tweet #ThisIsACoup (IniAdalahSebuahKudeta). Proposal Euro telah mengkudeta rakyat yunani” Paul Krugman menyebut proposal eurogropu sebagai a list of European demands “madness” (daftar “gila” tuntutan UniEropa). Ia juga menyebut beyond harsh into pure vindictiveness (melampaui kekejaman dendam suci). Ia menanggapi serius proposal Troika berupa bailout ketiga untuk Yunani. Tak hanya itu, Paul Krugman mengkrtik keras dengan menyatakan bahwa teknorat eropa seperti dokter Eropa di abad pertengahan, saat perawatan membuat pasien menjadi lebih sakit, bahkan menyebabkan lebih banyak pendarahan. Ia menegaskan bahwa kemenangan mutlak suara “Tidak” dalam referendum Yunani, merupakan kesempatan bagi negara itu untuk melarikan diri dari jebakan mengerikan UniEropa dan IMF.

Pandangan sejumlah intelektual

Tony Prasetiantono, doktor alumnus National University (Canberra-Asutralia) sekaligus sebagai komisaris independen PermataBank menyatakan bahwa rasio utang Yunani terhadap PDB-nya lebih dari 100 persen itu sangat berbahaya. Perekonomian Indonesia lebih baik dari Yunani dilihat dari utangnya (rasio utang Indonesia terhadap PDB sebesar 25 persen). Selan itu juga karena pemeritah Indonesia menjaga defisit anggaran kira-kira 2 persen. Dilihat dari tingkat pengangguran, Yunani tergolong tinggi yaitu 25,6 persen, sedangkan Indonesia 5,81 persen.

Menurut Enny Sri Hartati dari Institute for Development of Economics and Finance, Doktor alumnus Institut Pertanian Bogor konsentrasi ekonomi pembangunan, menyatakan bahwa secara umum kondisi ekonomi Yunani tidak berdampak langsung terhadap ekonomi Indonesia, selain karena Indonesia tidak mengandalkan pasar ekspor Yunani, kondisi keuangan Indonesia relatif sehat pasca krisis 1998 dan 2008.

Hal ini diamini oleh Ndiame Diop, Ekonom Utama World Bank, memang tidak berdampak langsung, tapi jika krisis Yunani berlarut-larut, maka akan berdampak pada pemulihan Eropa dan dampaknya mungkin ke global (termasuk Indonesia) karena saat ini Eropa masih sangat penting bagi ekonomi global, eropa masih menjadi “mesin” ekonomi dunia saat ini.

Menurut Dirut Bursa Efek Indonesia, Tito Sulistio, krisis Yunani hanya gambaran psikologi market (pasar). Ia menghawatirkan pristiwa di China, market turun 30%. Menurutnya China merupakan emerging market terbesar. Itulah yang menurutnya harus dikhawatirkan.

Menurut Menteri Keuangan, Prof. Bambang Brodjonegoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI, (alumnus Doktoral dari Universitas Illinois-AS), menyatakan bahwa krisis Yunani saat ini serupa dengan krisis 1998, terjadi karena pemerintah tidak menjaga stabilitas fiskal.

Menurut Prof Anwar Nasution, yang juga guru besar FE-UI (alumnus Doktoral dari Universitas Tufts-AS) menyatakan bahwa krisis ekonomi di yunani disebabkan karena besarnya pinjaman luar negeri pemerintah Yunani yang sudah lama hidup besar pasak dari tiang. Di Indonesia, masalahnya berbeda. Utang pemerintah Indonesia dewasa ini masih terkontrol. Masalah keuangan di Yunani saat ini seperti krisis 1997/1998 di Indonesia.

Penyebab pertama sumber kerawanan ekonomi Indonesia adalah utang luar negeri sektor swasta terlalu besar. Umumnya, utang itu merupakan utang dalam bentuk valuta asing berjangka pendek untuk membelanjai investasi berjangka panjang. Sebagian dari investasi itu (seperti real estate, industry pertambangan, manufaktur) hanya menghasilkan pennrimaan dalam bentuk rupiah. Investasi tersebut untuk memanfaatkan tingkat suku bunga murah di singapura. Lebih dari sepertiga likuiditas bursa efek dan pasar obligasi dalam negeri berasal dari pemasukan modal asing jangka pendek. Memungkinkan modal tersebut milik orang Indonesia yang diparkir di singapura dan Hong Kong.

Kedua, harga komoditi primer yang notabene adalah andalan ekspor Indonesia, terus merosot sejak 2011. Industri manufaktur dan PMA (Penanaman Modal Asing) sudah mengalami kemerosotan sejak satu dekade terakhir akibat dari penguatan mata uang dolar, sistem perdagangan dan perizinan yang semakin protektif dan infrastruktur (listrik, jalan dan pelabuhan) yang sangat terbatas. Apa yang dimaksud protektif, misalnya kebijakan pengolahan bijih tambang, adanya larangan ekspor dan tarif ekspor bijih mineral yang mahal, sehingga tak bisa diandalkan sebagai Negara pengekspor. Sehingga pembeli beralih ke negara lain penghasil bijih mineral seperti Asutralia dan Papua New Guinea.

Ketiga, dunia usaha kesulitan melunasi bunga dan pokok utangnya di satu pihak, tingkat suku bunga luar negeri dan dalam negeri semakin meningkat dan rupiah melemah.

Di lain pihak, harga produk semakin melemah. Selanjutnya tunggakan, kredit dan pelemahan rupiah meningkatkan NPL (Non Performing Loan/kredit bermasalah) perbankan dan risiko transaksi devisanya.

Bagaimana dengan pandangan Prof John T. Harvey? Ia merupakan Profesor di Texas Christian University-AS yang domainnya di bidang ekonomi internasional, makroekonomi, sejarah ekonomi, dan pemikiran kontemporer. Professor yang menyukai sejarah perang dunia II ini menilai ada 5 alasan kenapa hasil “tidak” dari referendum Yunani benar. Dengan kata lain ia mendukung keputusan menolak bailout ketiga dari Troika. Ia menulis secara khusus bahwa Jerman dan Perancis yang ‘mengarsiteki’ Troika. Ia juga menilai buruknya sistem euro, mata uang tunggal untuk negara-negara di Eropa.

Pada 8 Juli 2015, dua hari setelah referendum dilakukan, ia meng-upload tulisannya di Forbes, Five Reasons Whay the Greeks Were Right. Lima alasan kenapa Yunani benar, terkait hasil referendum.

Pertama, penghematan bukan solusi untuk setiap masalah ekonomi. Penghematan berupa seperti penyunatan dana pnsiun akan memiskinkan rakyatyunai , mereka tidak mampu membeeli barang dan jasa luar negeri. Justru, mereka mmbutuhkan surplus untuk memenuhi belanjanya. Mata uang drachma akan mendorong hal ini, bukan mata uang eruro. Apapun perdebatannya ini logis (lebih lanjut akan dijelaskan).

Kedua, Program Sosial Yunani tidak berlebihan. Yunani dituduh menggelontorkan dana social berlebihan padahal faktanya hanya 20,6 persen dari PDB. Sedangkan Jerman dan Perancis berturut-turut, 26,7 dan 28,7 persen PDB. Apakah Orang-orang yunani pemalasa dan korup, sesungghnya di Jerman dan Perancis pun ada yang seperti itu. Bukan masalah ini, tapi masalahnya adalah sistem yang dirancang dengan buruk (poorly designed system).

Ketiga, produktivitas tenaga kerja yunani telah meningkat lebih ceat disbanding Jerman. Seperti disebut dalam real world economics issue oleh Miller dan Sciacchitano (2002) bahwa standar hidup orang yunani lebih tinggi begitu juga produktivitasnya.

Keempat, krisis Yunani bukan budget deficit tapi trade deficit. Di Yunani yang terjadi adalah defisit perdagangan. Utang eksternal akan tercipta ketika Yunani lebih banyak membeli barang dan jasa dari Jerman disbanding Jerman membeli dari Yunani. Sehingga terpaksa Yunani harus membiayai dampak kondisi ini dengan asset keuangan dan/atau pinjaman.

Kelima, krisis Yunani adalah pengaturan zona euro. Nilai-nilai yang dianut zona euro: pertama. Impor yang sangat responsif mempengaruhi pendapatan nasional. Ketika perekonomian berkembang, impor meningkat tajam, tapi ketika kontraksi perekonomian, impor jatuh dengan cepat. Contoh dampak krisis keuangan pada pembelian barang dan jasa asing-AS. Jatuh dari 838 milyar dolar pada kuartal III 2008 menjadi 579 milyar dolar pada kuartal II 2009. Ini sebuah penurunan yang tajam dalam waktu ynag singkat. Kedua, defisit perdagangan harus dibiayai dengan menjual aset keuangan dan/atau pinjaman. Utang ini dapat turun melalui proses yang berlawanan, yaitu surplus perdagangan yang menghasilkan kredit. Ketiga, sistem euro tidak memiliki mekanisme otomatis untuk mengurangi defisit perdagangan. Jika setiap Negara memiliki mata uangnya sendiri, maka defisit perdagangan akan menciptakan tekanan yang akan cenderung menyebabkan mata uang mereka mengalami depresiasi, membuat barang dan jasa mereka lebih aktraktif. Nah di Eurozone, setiap orang memiliki mata uang yang sama (euro) dan defisit perdagangan secara teoritis terus terjadi, selamanya atau pasti lebih lama dibandingkan jika mereka mengunakan mata uangnya masing-masing, misal Yunani: drachma).

Ketiga nilai Eurozone ini menciptakan self-destructive trend atau tren merusak diri sendiri ketika suatu Negara bergabung ke zona euro (Eurozone).

Wajar sejumlah media di Yunani menyebut Portugal, Irlandia, Spanyol dan Italia mungkin akan menyusul apa yang dialami Yunani. Mungkin ini juga yang menajdi pertimbangan cerdas Rusia yang tidak mengizinkan Rusia ikut dalam Eurozone.

Bukti ini adalah jebakan, setelah bergabung, PDB riil Yunani rata-rata 3,6%. Sedangkan Jerman 1,3% (tiga kali lebih lambat dari Yunani). Kemudian apa yang terjadi? Impor Yunani melonjak drastis, jauh lebih cepat (dahsyat) dibanding Jerman. Sehingga Terpaksa Yunani berutang yang berujung krisis. Apakah orang Yunani pemalas? Tidak (sebagaimana disebut Miller dan Sciacchitano (2002). Itu hanya karena Yunani memasuki Eurozone. Sebuah jebakan berdampak utang. Jebakan dengan bunga.

Sebagaimana Prof J.T. Harvey, Prof Noam Chomsky Professor di Massachusset Intitute of Technology, (intelektual yang berani melawan arus) juga berpendapat bahwa penghematan (austerity) yang didesak UniEropa untuk Yunani itu tidak tepat. Sebagaimana perkataannya, “as an economic program, austerity, under recession, makes no sense. It just makes the situation worse”. Menurutnya itu tidak masuk akal dan akan memperburuk situasi.

Nah kembali ke jebakan utang dan bunga yang jarang didiskusikan ekonom. Di balik sistem riba ini adalah nafsu kapitalisme internasional, wajar ia diprotes orang-orang intelektual maupun orang umum sekalipun (rakyat seperti di Yunani). Tapi kemudian, saya menemukan Dr. Ellen Brown, Pendiri dan Presiden Public Bank Institute, ‘bercerita’ bunga (interest) dan reformasi perbankan.

Ia menyatakan, “Kita telah mengambil skema finansialisasi yang didasarkan pada modal ekonomi yang rusak, banyak orang telah ‘mengizinkan’ uang yang dibuat secara pribadi (privately) oleh bank dan dipinjamkan kepada pemerintah dan masyarakat dengan bunga, sebagian besar pasokan uang yang diedarkan sekarang dibuat oleh private bank, seperti Bank of England (Bank Sentral di Inggris) baru-baru ini pun mengakuinya.”

“Padahal era manapun menuntut kesejahteraan untuk semuanya. Sementra hidup dengan sistem di mana uang diciptsakaan dari utang dan dimuat dengan muatan kepentingan pribadi yang besar dan kuat. Kita bisa bebas dari sitem yang eksploitatif ini, Order of St Francis yang mengusulkan penghimpun dana atau sebenar-benarnya bank publik yaitu non-riba, bukan private bank, atau bukan bank sentral yang diklaim banyak orang sebagai milik umum. Larangan untuk riba oleh Yesus, itu ada dalam Lukas 06:33.”

Memang masalah selanjutnya, cukupkah pasokan logam mulia sebagai alat bayar dan alat tukar untuk penduduk yang jumlahnya semakin meningkat. Tapi lebih bermasalah lagi jika uang diciptakan begitu saja yang menurut istilah Ellen Brown, diciptakan dari “thin air” merujuk kepada hasilnya yang tipis (helai kertas).

Seolah Ellen Brown meminta saya mengecek ensiklik Paus Fransiskus. Setelah saya temukan langsung dari sumbernya vatikan yaitu ensiklik Juni 2015 yang berjudul “Terpujilah Tuhan” atau “Praised Be” atau “Laudato Si” ditujukan kepada dunia, bukan umat katolik saja.

Memang fokus utamanya climate change. Namun, sebenarnya mencakup lebih dari itu. Di antaranya reformasi dan seruan untuk perbaikan sistem Perbankan. Menurutnya, perlu dialog jujur terkait service of life, terutama kehidupan manusia. Menyimpan uang di bank manapun membuat masyarakat membayar harga, itu menegaskan kembali kekuasan mutlak sistem keuangan. Kekuatan itu tidak memiliki masa depan dan hanya akan menimbulkan krisis baru setelah pemulihan yang lambat. Diperlukan strategi untuk perubahan nyata. Untuk memikirkan kembali proses secara keseluruhan, untuk tidak cukup dengan hanya memasukkan pertimbangan dangkal. Sementara gagal mempertanyakan logika yang mendasari kultur masa kini. Lihat ensikliknya (encyclical letter: Laudato Si langsung dari vatikan, halaman 138 dan 145).

Apa yang dimaksud Paus Fransiskus dengan gagal mempertanyakan logika yang mendasari kultur masa kini? Apa yang dimaksud dengan kalimat while failing to question the logic which underlies present-day culture? Itu tidak lain, saya kira itu adalah bunga (riba). Riba dilarang juga oleh al-Qur'an (30:39; 4:160-161; 3:130; 2:278-279). 

Hikmah: Krisis Utang Yunani

Jika boleh mengambil pengamatan Anis Matta (dalam twitt-nya) maka akan ditemukan hikmah bahwa krisis utang Yunani ini sangat menarik, karena kapitalisme internasional diveto oleh rakyat suatu negara. Referendum yunani mengembalikan prinsip bahwa legitimasi tindakan Negara ada di tangan rakyat. Kekuasaan kapitalisme terbatas, yakni dibatasi oleh kedaulatan rakyat. Kapitalisme bukan kebenaran tunggal. Itu kelihatan sejalan dengan pandangan Paus Fransiskus, Ellen Brown, Paul Krugman, J.T. Harvey, dan Noam Chomsky.

Kadang orang yang Anda percayailahlah yang berpotensi berkhianat. Sistem riba yang beberapa abad Anda percayakan, telah berkhianat atas amanat dan klaimnya mensejahterakan umat manusia. 

 

read more:

Bg. 11

Bg. 10
Bg. 9

Bg. 8

Bg. 7

Bg. 6

Bg. 5

Bg. 4

Bg. 3

Bg. 2

Hakikat Harta

Ensiklik Paus Fransiskus Juni 2015

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun