Mohon tunggu...
Mahendra
Mahendra Mohon Tunggu... Administrasi - Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Selanjutnya

Tutup

Politik

Uang: Jokowi, Prabowo Pun Tertipu Puluhan Tahun (Bag. 10)

17 Juli 2014   13:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:05 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Nofie Iman (2013)—yang kini menempuh studi Ph.D di London School of Economics ini—bangsa Indonesia mengidap dua masalah besar:

Pertama, kegagalan sistem meritokrasi maksudnyasistem yang memungkinkan berlomba-lomba dalam kebaikan. Sistem meritokrasi tidak salah, yang salah ada pada sebagian orang malah mengambil jalan potong, tanpa melewati proses yang wajib dilewati. Contoh sederhana, melanggar lampu lalu-lintas.

Benar lah apa yang diutarakan Nofie Iman, seperti ter-confirm puluhan tahun yang lalu oleh pendapat Mohammad Hatta (Wakil Presiden RI pertama), “karena pengaruh ‘iklim’ segala rupa maka orang bekerja sekira-kira sajalah untuk mencapai yang sebanyak-banyaknya [di Barat maupun di Indonesia] (Hatta, 1983:23).”

Kedua, konsumerisme yang akut, lihat saja gadget anak remaja, gaya anak remaja, atribut fisik menjadi penilaian keberhargaan seseorang, bukan karena pengalaman atau pendidikannya, bukan pula karena jiwanya.

Kombinasi antara konsumerisme akut dengan kegagalan sistem meritokrasi menurutNofie Iman, kita akan mendapatkan sebuah lingkaran setan yang susah dipadamkan.

Kemudian ia memberi nasihat: “Akhirnya yang bisa kita lakukan hanya berhati-hati dan mawas diri. Jaga selalu kesehatan fisik dan mental kemudian lindungi apa yang kita punya.”

Saya bertanya kepada kita semua. Punya kebun? Maka lindungilah. Punya peternakan? Maka lindungilah. Punya emas? Maka lindungilah. Punya perak? Maka lindungilah. Uang kertas yang kita punyai saat ini harus menjadi sesuatu yang disebut dengan ‘efek samping’.

Kita tahu efek samping sering tertera pada bungkus obat-obatan. Obat sakit kepala, obat maag, obat demam, obat pilek, obat batuk sering tertera padanya efek samping. ‘Obat’ bagi kehidupan ini (tanpa bermaksud mengecilkan makna kehidupan) yaitu dengan berkebun/bertani, berternak hewan atau menjaga barang antik yang dimiliki, emas atau perak.

‘Efek samping’ itu kadang dirasa berwujud kadang dirasa tidak berwujud. Obat lah yang sebenarnya berwujud. Jadi jangan terfokus ke uang sebab ia ‘efek samping’, fokus lah ke pertanian, perkebunan, peternakan/perikanan dan penambangan emas/perak sebab ia ‘obat’.

Bersambung…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun