Mohon tunggu...
Mahendra
Mahendra Mohon Tunggu... Guru - Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Uang: PKS (Penghuni Kolong Senja)

8 September 2014   07:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:20 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktifitas keluarga yang tinggal di kolong jembatan Manggarai, Jakarta, 6 September 2014.

[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Kolong jembatan Manggarai yang ditinggali 3 keluarga di Manggarai, Jakarta, 6 September 2014 (source: Tempo.co) "][/caption]

Bulan September ini—dan nanti hingga November—dahulunya peristiwa besar terjadi di tahun 1945. Ada empat momentum peristiwa yang saling terkait, yakni insiden bendera Hotel Yamato (19 September 1945), rapat raksasa Tambaksari (21 september 1945), pelucutan senjata tentara Jepang (29, 30 September, dan 1 Oktober 1945). Ternyata bukan tantangan dari sisa-sisa kekuatan Jepang saja, tapi juga tantangan dari pihak sekutu yang mulai ingin menjajah Indonesia pasca kekalahan Jepang. Menyusul kemudian, pertempuran tiga hari melawan tentara Sekutu Inggris (28-30 Oktober 1945), dan pertempuran 10 November 1945.

Semuanya itu untuk satu kesimpulan bahwa negara dan rakyat satu tekad, merdeka atau mati. Seandainya konsolidasi itu tidak terjadi maka wajah sejarah Nusantara tiga kali berturut-turut di bawah pendudukan Belanda, Jepang, dan kemudian Sekutu. Dengan mengetahui kesuksesan bertahannya kemerdekaan itu, dan tidak berlanjutnya penjajahan ke tangan Sekutu, menyiratkan bahwa kekuatan rakyat dan negara Indonesia ini tidak bisa diremehkan.

Lalu, Utang Luar Negeri (ULN) bagaimana? Apakah kita menjadi disetir penjajahan dengan gaya baru? Faktanya ULN Indonesia meningkat 7,6% dibanding posisi 2013.

Sastra Indonesia lahir dan berkembang dalam dinamika sosio-kultural yang khas (Mahayana, 2007:1). Pada masa pendudukan Jepang, ada tuntutan agar setiap karya sastrawan dalam bentuk dan jenis apa pun harus mendorong cita-cita peperangan melawan Sekutu dan menjunjung kepentingan politik Jepang. Karya sastra yang mendukung pemerintah Jepang jelas dipublikasikan di media massa pemerintah. Sebaliknya karya sastra yang bertentangan akan disingkirkan (Fitrah, 2007:50).

Nah, sekarang ini, karena perkembangan TI (Teknologi Informasi), tampaknya apapun bisa dipublikasikan. Salah satunya, apa sebenarnya di balik Bank Sentral itu? Apa motifnya memberikan utang (pinjaman)? Tapi, harus hati-hati membahasnya, karena ada kasus seperti Florence Sihombing dan Kemal. Ini bukan menghina Bank, tapi suatu kritisi.

Foto dari Tempo.co ini menggambarkan sisi lain negeri kita. Ini juga bagian dari karya sastra sekaligus fakta. Bukan menebar pesimis. Hanya sebagian kita yang berpandangan pesimis seperti itu.

Bagi sebagian yang lain kita memandang foto itu sebagai gambaran “PERJUANGAN” yakni manifestasi dari gambaran Senja yang unik. Itu PKS (Penghuni Kolong Senja). Sebagian yang lain lagi, memandang foto itu sebagai gambaran kemiskinan yakni tidak lebih dari gambaran gelap Malam. Ada pula pandangan: kemiskinan, kebodohan, kekumuhan, kasihan dan seterusnya. Macam-macam, mungkin karena melihat dapurnya, tempat jemurannya, tidurnya tidak berkasur, dan seterusnya. Kemudian yang lain memandangnya sebagai keoptimisan yakni manifestasi dari gambaran Pagi yang selalu ditunggu kesegarannya. Satu lagi ada yang memandangnya dengan ekspresi datar yang sesungguhnya adalah manifesatasi dari gambaran kekeringan di Tengah Hari (terik Siang).

[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Aktifitas keluarga yang tinggal di kolong jembatan Manggarai, Jakarta, 6 September 2014 (source: Tempo.co)"]

Aktifitas keluarga yang tinggal di kolong jembatan Manggarai, Jakarta, 6 September 2014.
Aktifitas keluarga yang tinggal di kolong jembatan Manggarai, Jakarta, 6 September 2014.
[/caption]

Kita tidur tidak berkasur supaya bangun tidak kesiangan, mereka tidur tanpa kasur karena tidak punyakasur. Memang terasa pegal, tapi menjelang terbiasa saja. Setelah terbiasa, sama saja : mau pakai kasur atau tidak pun, bisa tidur nyenyak. Setidaknya itulah yang sudah saya coba, supaya bangun jarang kesiangan.

Mungkin yang terpampang di foto itu: tempat MCK (Mandi-Cuci-Kakus). Seolah itu simbol bagi rumah mereka. Sebagaimana kebersihan atau kualitas rumah bisa dilihat dari tempat MCK-nya (karena tempat tersembunyi saja bersih, apalagi tempat terbuka, cenderung lebih bersih lagi). Kalau mau lihat kualitas rumah, lihatlah MCK-nya!

[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Seorang warga menjemur pakaian di kolong jembatan Manggarai, Jakarta, 6 September 2014 (source: Tempo.co) "]

Seorang warga menjemur pakaian di kolong jembatan Manggarai, Jakarta, 6 September 2014.
Seorang warga menjemur pakaian di kolong jembatan Manggarai, Jakarta, 6 September 2014.
[/caption]

Disematkan kepada muka mereka MCK. Merdeka Cari Kerja. Anggaplah pekerjaan mereka mengumpulkan sampah-sampah di Sungai (bawah Jembatan Manggarai). Setelah itu mereka jual ke agen. Kenapa mereka disebut Merdeka Cari Kerja? Mereka tidak membuat surat lamaran ke Perusahaan. Mereka tidak mengemis ke bos-bos taipan. Mereka tidak memerlukan Sarjana, dan lain-lain gelar-gelaran. Mereka muka MCK. Merdeka Cari Kerja. Bahkan, mungkin mereka tidak perlu peran Bank sedikitpun.

Berdasarkan informasi terupdate dari Bank Indonesia ( April 2014) Utang Luar Negeri (ULN) Republik yang berjumlah 237.641.326 orang iniadalah USD131,0 miliar (sektor publik ) plus USD145,6 miliar (sektor swasta). USD1 dijual (hari ini) seharga Rp11.829. Berarti utang kita totalnya Rp276.600.000.000 x 11.829 = Rp3.271.901.400.000.000 (Rp3.271,901 triliun). Artinya setiap penduduk Indonesia menanggung beban Rp3.271.901.400.000.000/237.641.326 = Rp 13.768.230. (Rp13 juta-an).

Jika isi rumah yang terdiri dari 3 Keluarga di bawah kolong Jembatan Manggarai ini dijual, adakah dapat melunasi bebannya? Kalau tidak bisa disebut sebagai beban rakyat berarti itu hanya beban negara saja. Kalau tidak bisa disebut sebagai beban negara berarti itu hanya beban rakyat saja. Kalau disebut sebagai beban negara dan rakyat, maka adakah yang merasakan beban itu? Sudahkah negara dan rakyat satu tekad di bulan September ini, sebagaimana dulunya pada perisitiwa Rapat Raksasa di Lapangan Ikada 19 September 1945?

Bagi kita yang memandangnya sebagai "PERJUANGAN", bagaimana? Harus sepakati dulu bahwa riba harus dihapuskan dari muka bumi karena ia bentuk penjajahan! Logikanya begini: Si A mensuplai Rp300 (pengendali, pencetak uang). Dipinjamkan Rp100 ke Si B dan Rp100 pula ke Si C. Si B harus mengembalikan Rp100 plus 5% yakni Rp5. Si C juga, harus bayar Rp100 plus 5% yakni Rp5. Uang yang beredar Rp300. Si B dan Si C tidak berpikir bahwa uang total adalah Rp 310. Bank mencetak uang supaya dipinjamkan, tapi tidak mencetak uang supaya orang bisa membayar bunga (untuk hal ini saya berterimakasih atas penjelasan teman saya sebab saya mengerti bahwa sampai kiamat pun itu utang tidak bisa dilunasi).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun