Transportasi umum adalah kendaraan saya sehari-hari. Sudah sejak TK, saya menaiki mobil angkot, yang saat itu ongkosnya masih Rp 50 untuk sekali jalan. Kini, ketika sudah bekerja, angkutan umum masih menjadi teman setia, sekalipun tersedia kendaraan pribadi yang bisa setiap saat dipakai di rumah. Sekarang, kondisi transportasi umum sudah ada kemajuan meski belum signifikan. Sudah ada busway Transjakarta. Sudah ada Kopaja yang lebih modern. Sudah banyak bus Feeder Busway yang ongkosnya lumayan merogoh kocek, tapi sepadan dengan kenyamanan yang ditawarkan berupa AC yang lebih dingin, tempat duduk dengan busa tebal dan tidak bau, hingga supir yang ramah. Itu beberapa perubahan yang saya tahu. Untuk moda kereta api, saya kurang tahu persis apa yang berubah, mengingat saya bukan pengguna setia. Letak rumah tidak dekat dengan jalur kereta api. Saat ini, saya mau berbicara khusus mengenai Bus Transjakarta. Menurut saya, sekalipun masih ada kekurangan di sana-sini, angkutan umum ini sangat berguna, dengan catatan, kalau jalurnya tidak "dimakan" oleh kendaraan pribadi. Kondisi busnya sekarang sudah banyak yang baru, berupa bus gandeng. Tapi, coba dilihat, perawatan busnya kurang bagus. Kalau tidak salah hal ini pernah diberitakan di media. Saya sendiri tidak tahu persis bagaimana seharusnya pengelolaan Bus Transjakarta itu. Karena itu, yang saya kerjakan, dan sebaiknya kita semua kerjakan, adalah menjaga kebersihan Bus Transjakarta dan sarana terkait. Kemudian, masalah antrean, ini yang seringkali buat saya jengkel, khususnya di jam-jam yang padat, seperti jam pulang kantor. Antrean dengan alur yang rapi hanya ada di sejumlah shelter saja, seperti di Dukuh Atas. Maklum, di shelter itu, karena shelter transit, jadi ruangnya lebih luas dan banyak petugas. Merekalah yang bekerja lebih keras untuk mengatur jalur antrean.
Di shelter yang lebih kecil dari itu? Jangan berharap bisa rapi! Yang ada adalah serobot sana-sini sehingga bentuknya kalau dilihat dari atas seperti pohon cemara: Melebar hingga mengerucut. Alhasil, aksi dorong-mendorong kerap terjadi. Makian pun bersahutan. "Jangan dorong-dorong." "Aduh, ini kejepit." Makanya, saya tidak heran, sekarang di dalam bus pun terdengar suara mesin yang menyarankan penumpang agar tidak dorong-dorongan. Mungkin lebih efektif, di tempat antrean itu, seperti yang sudah ada di sejumlah shelter, dipasang palang pemisah. Sekalipun terkadang bisa digeser-geser tapi, menurut saya, cukup bisa untuk mengatur antrean. Karena kalau antrean itu tidak beraturan, copet bisa lebih asyik menggondol barang penumpang. Ini baru saya lihat sendiri sekitar dua pekan lalu di shelter Gelora Bung Karno (Koridor I). Sebanyak tiga orang copet berkolaborasi di tengah antrean yang semrawut. Tak berani bertindak sendiri, saya pun mengadukan ke petugas pria yang hanya seorang diri. Para copet akhirnya masuk ke dalam Bus Transjakarta. Dan petugas hanya bisa bilang, "Ya, nanti saya koordinasi dengan (shelter) yang di depan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H