Mohon tunggu...
Emelia Sigit
Emelia Sigit Mohon Tunggu... -

Emelia Sigit, terlahir dengan nama Emelia Peni Dwi Astuti, Alumni FTP-UGM ,Ibu 2 anak laki-laki tinggal di Semarang, seorang Ibu Rumah Tangga,hoby menulis, memilih menjadi penulis lepas untuk berekspresi, lebih suka menulis kejadian nyata , non fiksi dan artikel,,, karena yang "based on true story" selalu menjadikannya sadar untuk tidak bermimpi, mengagumi tulisan fiksi yang kocak dan lucu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilematika Mie Instan

15 April 2014   01:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:40 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak mengenal mie Instan, makanan wajib saat krisis melanda ?

Krisis di pengungsian korban bencana alam, krisis ekonomi suatu negara yang berpengaruh pada daya beli masyarakat, dan krisis keuangan keluarga saat memasuki tanggal tua...! Kondisi krisis yang memaksa konsumen menjatuhkan pilihan pada mie instan karena harganya yang relatif murah dibandingkan bahan makanan lain. Praktis, nikmat dan mengenyangkan tentunya. Namun dibalik manfaatnya, mie instant adalah salah satu produk pangan yang perlu diwaspadai karena mengandung bahan pengawet buatan yang tidak baik bila dikonsumsi terlalu sering.

Sejarah Mie Instan

Sejarah mencatat bahwa mie pertama kali dibuat di Cina kira-kira 2000 tahun lalu. Dari Cina, makanan yang terbuat dari gandum ini berkembang dan menyebar ke seluruh dunia. Teknologi pembuatan mie instan awalnya ditemukan oleh seorang pria Jepang yang bernama Mamofuku Ando lebih dari setengah abad yang lalu. Produk pangan ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1960.

Sebenarnya perkembangan Teknologi Pangan di Indonesia tidak terlalu tertinggal dengan negara lain, hal ini terbukti dengan berhasilnya tim peneliti Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB menduduki  peringkat tiga dunia di "Kompetisi Internasional dalam Pengembangan Teknologi Pangan' di Anaheim, Amerika Serikat, pada Juni 2010 lalu. Mereka berhasil mengusung judul “Healthy Instant Noodle from Corn with High Protein and Rich Iron for Pregnant Women to Prevent Lost Generation in Southeast Asia”. Penelitian mie instan dari bahan jangung ini ternyata memukau tim juri dari kalangan industri, akademisi, badan pemerintah, dan lembaga internasional di bidang pangan dari Amerika Serikat.

Bila teknologi mie instan Indonesia saja sudah merambah pada langkah inovatif dengan melakukan penelitian pembuatan mie instan berbahan baku jagung, maka teknologi mie instan berbahan baku tepung terigu yang telah lama di kuasai produsen Indonesia mestinya tidak kalah dengan negara lain.Namun bila berbicara tentang skala produksi yang besar dan tuntutan harga murah sebagai upaya memenangkan persaingan dagang ditengah-tengah persaingan kemajuan teknologi mie Instan di dunia, tampaknya menuntut konsekwensi produsen mie instan Indonesia untuk membuat produk mereka aman dikonsumsi dan bisa disimpan dalam jangka panjang.

Dilematika mie instanpun dimulai, pembicaraan yang mengarah pada solusi dari beberapa komponen terkait seperti pemerintah, produsen, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan konsumen, menjadi sulit mendatangkan titik temu karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan berbeda. Disinilah arti penting Teknologi Pangan yang secara obyektif  akan  menjembatani dilematika ini, terlepas dari perang dagang dan kepentingan produsen untuk meraup keuntungan.

Teknologi Mie Instan

Secara sederhana teknologi mie instan menggunakan teknologi pembuatan mie tradisional. Bahan baku mie adalah tepung terigu yang terbuat dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Proses umumnya adalah pencampuran tepung dan bahan-bahan tambahan lainnya dengan air, pembentukan lembaran (roll press), pembentukan mie, dan proses pemasakan bahan dengan pengukusan. Dalam tahap ini mie siap dikonsumsi, namun tidak bisa bertahan lama karena masih ada kandungan air didalamnya.

Untuk membuat mie tahan lama proses selanjutnya adalah pengeringan yang bisa dilakukan dengan proses penggorengan (deep frying) atau pengeringan dengan udara panas (air hot drying) bertujuan untuk menekan kadar air hingga tinggal 3%-5% saja, dan terakhir adalah proses pendinginan secara sempurna agar tidak terjadi kondensasi uap air yang dapat menyebabkan timbulnya jamur dan dapat memperoleh tekstur mie yang keras (tidak lembek). Rangkaian proses ini merupakan proses pengawetan secara fisika.

Komponen lain dari mie instan setelah dikemas adalah adalah bumbu instan dan bahan tambahan seperti kecap dan saos. Kecap dan saos sebagai produk makanan yang bersifat cair memang sangat rentan terkontaminasi bakteri dan jamur bila tidak diproduksi dan dikemas dengan sempurna. Untuk tujuan tersebut produsen diperbolehkan menambahkan bahan pengawet tambahan. Pengertian pengawetan bahan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan memiliki daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia makanan.

Salah satu bahan pengawer yang digunakan dalam industri adalah asam benzoateyang mempunyai rumus kimia C7H6O2 (atau C6H5COOH) merupakan asam karboksilat aromatik paling sederhana dari getah kemenyan yang pada abad 16 merupakan satu-satunya sumber asam benzoate. Getah ini diperoleh dengan cara menoreh (melukai) kulit batang pohon genus Styrax, namun karena mahalnya harga getah ini maka sejak ditemukannya stuktur kimia asam benzoat, zat yang memiliki aktivitas anti jamur ini diproduksi secara komersial untuk kepentingan industri.

Saat zat tersebut menjadi bahan sintetis ada konsekwensi yang harus ditanggung, yaitu apabila dikonsumsi dalam jumlah dan jangka waktu tertentu akan menimbulkan efek negatif bagi kesehatan, karena bahan sintetis tidak bisa terurai sempurna didalam tubuh manusia.

Menjadi Konsumen Cerdas

Pemahaman masyarakat tentang teknologi Pengolahan Pangan produk mie instan dan pengetahuan tentang bahan tambahan yang terkandung di dalamnya sangat dibutuhkan untuk membantu masyarakat dalam mensikapi perdebatan tak berujung yang menyangkut keamanan makanan dan minuman yang dikonsumsi untuk keluarga. Selanjutnya keputusan ada pada konsumen, apakah akan mengkonsumsi mie instan atau tidak, memutuskan seberapa sering mengkonsumsinya dan tentunya juga tidak menjadikan mie instan sebagai makanan pokok, karena masih banyak makanan sehat alami yang bisa dikonsumsi.

Mengapa banyak lapisan masyarakat memilih mie instan ? Coba kita bandingkan antara harga makanan di warung berupa 1 porsi Nasi+ sayur+Telor = 8000 rupiah, sementara 1 bungkus mie instan + telor = 5000 rupiah. Bahkan bila ingin lebih hemat lagi dengan memasak sendiri  1 bungkus mie instan hanya mengeluarkan 1500 rupiah sudah kenyang dan nikmat. Kalau seperti ini faktanya, anak kos mana yang tidak bersahabat dengan mie instan ?

Menjadi konsumen cerdas adalah mutlak, prioritas kesehatan sebagai kebutuhan jangka panjang harus dikedepankan dibandingkan nilai ekonomis mengkonsumsi mie instan.Namun di masa krisis tak ada yang bisa menghalangi konsumen untuk bertahan hidup dengan mie instan bukan ?

Akhirnya kita berharap komitment dari Produsen, BPOM sebagai badan yang bertugas mengawasi pemberian bahan tambahan pada produk makanan di Indonesai dan Pemerintah untuk melindungi hak konsumen dengan melakukan proses produksi, pengawasan dan penetapan peraturan yang memihak pada masyarakat luas. Karena walaupun gaya hidup sehat dan produksi makanan organik semakin meningkat namun dalam jangka panjang produk mie instan akan tetap menjadi produk pangan andalan pilihan masyarakat.

Emelia Sigit , Ibu Rumah Tangga , Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian UGM,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun